PendekarCinta. Pendekar Cinta adalah cerita silat karya Tabib Gila yang merupakan suatu trilogi, yang terdiri dari Dendam Kesumat, Rahasia Lukisan Kuno, dan Bidadari dari Thian-San. Tulisan ini adalah tulisan rintisan. Anda dapat membantu Cerita Silat untuk mengembangkannya.
Tarian Sepasang Pendekar DARI delapan penjuru mata angin berlesatan berbagai macam senjata. Semuanya melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Semuanya memiliki ujung yang tajam mengarah kepada titik-titik rawan di tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Semuanya sudah diarahkan dengan perhitungan yang terencana. Tidak hanya delapan ternyata. Sebab, dari tiap arah mata angin melesat tidak hanya satu senjata, tetapi dua, tiga, empat, lima .... Semuanya meluncur berturutan tanpa jeda dalam sekian kejap. Bunyinya mendesing-desing menyibak udara. Setiap desing menebarkan ancaman yang mematikan. Untunglah, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti ini. Jaka Wulung tidak mau menghadapi risiko sekecil apa pun, misalnya salah satu senjata yang datang beruntun itu lolos dari tangkisannya dan mengenai Ciang Hui Ling. Dia pun berharap Ciang Hui Ling mampu juga menepis semua senjata yang mengarah kepada dirinya. Jaka Wulung langsung menerapkan ilmunya sampai taraf yang tinggi. Sejak tadi, dia sudah mengatur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya tak tertahankan lagi mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman. Seperti suara harimau Lodaya .... Grrrhhh! Bersamaan dengan itu, kudi hyang di tangannya bergerak dengan kecepatan sulit diukur, serta tenaga yang di luar kewajaran manusia, menangkis satu per satu senjata mana pun yang mengarah kepada dirinya. Yang terlihat hanyalah ujung kudi hyang yang meliuk-liuk menciptakan garis cahaya yang tampak tidak beraturan. Tang! Ting! Trak! Bunga-bunga api bepercikan ke segala arah. Senjata-senjata itu pun seperti membentur perisai tidak kasatmata, sebagian beterbangan kembali ke arah datangnya semula, sebagian lagi melenting setelah patah di bagian tengah dan jatuh lima-enam langkah di sekeliling Jaka Wulung. Pada saat yang sama, seraya menggerakkan tubuhnya mengikuti setiap senjata yang mengarah kepada dirinya, Ciang Hui Ling memutar pedangnya, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Demikian cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesing- desing, diselingi bunyi benturan yang berdenting-denting, dan dihiasi bunga-bunga api yang bisa membuat mata terpicing-picing. Di bawah berkas-berkas sinar matahari yang makin membias, putaran pedang itu memberikan warna yang indah sekali, sekaligus mengerikan. Jurus Tarian Payung Bunga Matahari. Sebuah keindahan jurus silat sekaligus ketangguhan yang sulit dicari tandingannya. Tidak satu pun senjata yang dilepaskan dari segala arah itu menembus lingkaran payung bunga matahari. Golok, pedang pendek, anak panah, bahkan tombak, seakan-akan membentur sebuah dinding baja. Semua terpantul, melenting, atau terlontar balik untuk kemudian bergeletakan menjadi benda mati belaka. Beberapa kejapan hujan senjata itu memberondong Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dari segenap penjuru hutan. Beberapa kejapan itu pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling melakukan gerak tingkat tinggi yang sangat selaras sehingga sekilas lintas tampak seperti gerak yang biasa ditampilkan para penari mahir. Tentu saja, gerak ilmu silat dan tarian memang seperti dua wajah dalam permukaan keping uang yang sama. Beberapa kejapan, sepasang pendekar belia itu memperlihatkan tarian yang elok tersebut sebelum kemudian berhenti, karena tidak ada lagi senjata yang melesat ke arah mereka. Senjata-senjata berserakan seperti mayat-mayat di Kurusetra. Udara lengang. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri tegak dengan kaki-kaki selebar pundak, dan senjata-senjata tetap tercengkeram dalam genggaman. Keduanya menunggu, kejutan apa lagi yang akan mereka hadapi. Angin seperti mati dan langit yang mulai kelabu menebarkan tabir sunyi. Akan tetapi, kesunyian itu segera pecah oleh gelombang tawa yang melanda dari empat arah mata angin. Gelombang tawa itu susul-menyusul disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat kuat. Apa yang terdengar oleh indra telinga memang hanyalah suara tawa biasa. Tapi, yang tertangkap oleh indra perasa adalah bunyi dentuman yang menghantam- hantam, seperti palu godam. Hantaman yang bergelombang itu meresap jauh hingga ke dalam tubuh, masuk ke simpul-simpul saraf, mengikuti aliran di pembuluh darah, meliuk-liuk lalu merajam-rajam selaput jantung. Orang biasa yang mendengar tawa seperti itu tidak akan mampu bertahan lama karena jantung mereka akan berdenyut cepat, sangat cepat, di luar sadar mereka, lalu riwayat mereka akan segera berhenti dengan darah yang tertumpah dari mulut mereka. Mereka akan tewas tanpa menyadari apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi, dua orang yang berdiri di tengah lahan kosong di tengah hutan itu adalah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, dua pendekar belia yang sudah memiliki bekal ilmu yang cukup untuk mengarungi dunia kejam persilatan. Jaka Wulung tidak percuma mendapat julukan Titisan Bujangga Manik. Dia sadar bahwa gelombang tawa yang dilepaskan dua atau tiga orang sekaligus itu bukanlah tawa sewajarnya. Karena itu, sejak awal dia segera membangun pertahanan di segala simpul saraf dan pembuluh darah yang pasti akan mendapat serangan gelombang tawa. Serangan gelombang tawa itu seakan-akan pecah seperti gelombang laut yang pecah dibelah karang. Pecah berkeping-keping menjadi gelombang yang lemah, lalu lenyap, seolah-olah butir air yang sirna diserap pasir gurun. Akan tetapi, mendadak Jaka Wulung merasakan satu gelombang lain yang menebar dari belakangnya, menembus bajunya dan meraba permukaan kulit punggungnya. Gelombang pengerahan tenaga untuk melawan gelombang tawa. Ciang Hui Ling menghadapi saat-saat genting ketika upayanya untuk menahan gelombang tawa nyaris tiba pada titik kekalahan. Tubuhnya bergetar nyaris tidak terkendalikan. Jaka Wulung tersadar bahwa ketika mengetahui serangan gelombang tawa itu tidak mampu melumpuhkannya, dua atau tiga penyerang itu mengarahkan serangannya lebih terpusat kepada Ciang Hui Ling. Sekian gelombang tawa bersatu menjadi satu, saling menguatkan, menimbulkan serangan gelombang yang sangat mematikan! Tanpa bersentuhan pun, Jaka Wulung merasakan betapa tubuh Ciang Hui Ling bergetar makin lama makin hebat. “Bertahanlah, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Tanpa membalikkan badannya, Jaka Wulung mendekati Ciang Hui Ling, menempelkan punggungnya ke punggung gadis itu. Rapat. Terasa punggung Ciang Hui Ling basah oleh keringat. Jaka Wulung lekas memusatkan tenaga dalamnya, menyalurkannya keluar dari titik-titik simpul saraf di punggungnya, menembus pakaian keduanya, lalu meresap masuk ke tubuh Ciang Hui Ling melalui titik-titik simpul saraf di punggung gadis itu. Ciang Hui Ling segera merasakan hawa yang sejuk, tapi memiliki kekuatan yang dahsyat untuk melawan gelombang tawa yang nyaris mencabik-cabik jantungnya. Terjadi pertempuran tak kasatmata yang dahsyat antara gelombang tawa yang kekuatannya berlipat dengan tenaga bantuan Jaka Wulung ke tubuh Ciang Hui Ling. Perlahan-lahan, denyut jantung Ciang Hui Ling mereda menuju bilangan yang sewajarnya. Detik demi detik pula gelombang tawa dari lawannya melemah, seakan-akan membentur lapisan dinding peredam suara. Kini, Ciang Hui Ling sudah bisa kembali bernapas seperti biasa. Sejalan dengan itulah, gelombang suara tawa itu pun perlahan-lahan mereda, lalu lenyap, menyisakan udara yang kembali dilapisi sunyi. Kesunyian yang tetap mencekam. Dalam hitungan tidak sampai delapan, dari arah timur, tepatnya dari arah sebelah kiri Jaka Wulung, muncul tiga orang lelaki. Secara bersamaan, Jaka Wulung memutar tubuhnya ke kiri, sedangkan Ciang Hui Ling memutar tubuh ke kanan. Keduanya kini sama-sama menghadapi kemunculan tiga lelaki itu dan bersiap menghadapi kemungkinan baru. Akan tetapi, ketiga orang itu berjalan tegak dengan langkah yang biasa- biasa saja. Pelan dan penuh dengan rasa percaya diri. Pedang panjang menggantung di pinggang masing-masing. Salah seorang dari mereka, yang kelihatan paling tua dan menjadi pemimpin di antara mereka, melangkah paling depan. Dua yang lainnya mengapit di kiri dan kanan, agak ke belakang, seperti dua pengawal seorang pangeran. Ketiganya sama-sama memiliki tubuh tinggi tegap, dengan wajah-wajah yang mirip satu sama lain, dengan kumis yang sama-sama tebal menghias wajah tampan mereka, disertai tatapan tajam kepada Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Tampan tapi menyeramkan. Busana yang mereka kenakan terbuat dari bahan kain yang bermutu tinggi meskipun warna birunya sudah memucat. Begitu pula dengan corak ikat kepala mereka. Dari situ pun sudah jelas bahwa ketiga lelaki itu adalah lelaki bangsawan, boleh jadi keturunan keraton. Lima langkah di hadapan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, ketiga orang itu berhenti. Lelaki yang paling tua, berusia sekitar empat puluh tahun, memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memandang Ciang Hui Ling beberapa kilas dengan kening berkerut. Lelaki itu kembali menatap tajam Jaka Wulung. Jaka Wulung balas menatap lelaki itu. Lelaki itu mengejapkan mata sebelum berdeham. “Hmmm ..., inikah bocah yang mengaku dirinya Titisan Bujangga Manik?” Suaranya terdengar bergetar, seperti keluar dari tabung yang bocor. Mungkin ada masalah pada pita suaranya. Jaka Wulung masih menatap lelaki itu tanpa berkedip. Lalu, katanya dengan suara yang hampir berbisik, “Apakah aku mengenal Ki Dulur?” Lelaki itu menggeretakkan giginya. “Kau sungguh sombong, Bocah.” Kali ini, Jaka Wulung-lah yang mengerenyitkan dahinya. “Maaf, Ki Dulur, rasanya ini bukan persoalan sombong atau tidak. Seperti yang mungkin Ki Dulur lihat, aku hanyalah seorang bocah, belum banyak mengenal dunia, belum bisa memilah mana sikap sombong dan mana sikap yang rendah hati.” “Oho, kau juga pandai bersilat lidah.” “Tentu saja, Ki Dulur. Bukankah lidahku tidak bertulang?” Jaka Wulung merasa sudah kepalang tanggung. Lelaki itu menggeretakkan giginya lagi. Kali ini lebih keras sehingga berbunyi seperti ranting patah. “Kau membuatku marah, Bocah,” ucapnya, dengan suara yang tambah bergetar. Jaka Wulung tertawa pelan. “Aneh,” katanya kemudian. “Mestinya akulah yang marah, Ki Dulur. Ada urusan apakah antara kami berdua dan kelompok Ki Dulur sehingga kami dijebak sampai di sini?” Lelaki itu tertawa. Suaranya sumbang. Dan dari suara tawanya itu, Jaka Wulung menduga kuat bahwa gelombang tawa yang menyerangnya tadi bukanlah berasal dari lelaki di hadapannya. Siapa ketiga lelaki ini? Dan siapa orang-orang yang berada di belakang mereka yang masih bersembunyi di kedalaman hutan di sekitar tempat itu? Apakah guru mereka? Jaka Wulung makin meningkatkan kewaspadaan. “Bocah, kau sadar bahwa kalian sudah terjebak. Tak ada jalan keluar bagi kalian dari tempat ini, sehebat apa pun ilmu kalian.” Lelaki itu berhenti sebentar. Lalu katanya, “Hanya satu cara supaya kami berbaik hati memberi jalan bagi kalian untuk pergi dengan selamat.” Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Menunggu kata-kata selanjutnya dari bibir lelaki itu. “Berikan kantongmu.” Kata-kata lelaki itu pastilah jelas terdengar oleh siapa pun yang berada di sekitar lahan kosong di tengah hutan itu, termasuk oleh orang biasa yang tidak punya kemampuan lebih. Namun, Jaka Wulung, pendekar belia yang daya tangkap telinganya jauh melebihi manusia kebanyakan, justru tidak sepenuhnya percaya bahwa dua kata itulah yang memang benar-benar diucapkan lelaki itu. “Apa kata Ki Dulur?” tanya Jaka Wulung. Lelaki itu kelihatan tidak bisa menahan dirinya. “Kukira kata-kataku sangat jelas, Bocah.” “Hmmm ...,” Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rupanya, Ki Dulur sekalian ini perampok yang keliru memilih sasaran.” “Jangan banyak bacot, Bocah. Kami bukan perampok. Cepat serahkan kantongmu.” “Oh, kata-kata Ki Dulur tambah kasar saja. Rupanya begitulah kata-kata khas para perampok, begal, dan sebagainya.” “Persetan dengan kata-katamu,” kata lelaki itu seraya mencengkeram gagang pedangnya. “Jangan sampai kami berbuat kasar kepada kalian!” Jaka Wulung mengerutkan kening, lalu kembali menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia menoleh kepada Ciang Hui Ling. “Selain terjebak di tempat antah-berantah, Lingling, kita juga terjebak dalam penalaran yang aneh. Bukankah kita sudah sejak tadi diperlakukan secara kasar?” “Para perampok selalu punya penalaran sendiri,” sahut Ciang Hui Ling. “Ya, penalaran para perampok.” “Diaaam!” Lelaki itu menarik pedang dari pinggangnya, lalu mengacungkan ujungnya lurus ke wajah Jaka Wulung. “Cepat lemparkan kantongmu!” Jaka Wulung masih berdiri bingung. Di luar sadarnya, dirabanya kantong kainnya di pinggang. Apa yang membuat kantongnya menarik perhatian orang-orang itu? Mengapa demi kantong itu, dia sampai digiring hingga jauh dari masyarakat ramai, dan dijebak hingga di dalam hutan? Kantong kain kecil itu hanyalah berisi sepasang baju dan celana pengganti, beberapa keping uang yang tidak seberapa, pisau pangot, beberapa lempir daun lontar .... Jaka Wulung mulai bisa meraba apa yang mereka incar. “Cepat lemparkan!” Pendekar belia itu mengerutkan keningnya. “Maaf, Ki Dulur, tak ada barang berharga dalam kantongku ini. Aku hanya membawa beberapa keping uang ” “Kami tidak butuh uangmu. Kami ingin kitab yang kau bawa!” Kata-kata lelaki itu membenarkan dugaan samar yang sempat terlintas di kepala Jaka Wulung. Namun, Jaka Wulung pura-pura terkejut dengan mulut ternganga. “Kitab?” Tangannya mengusap-usap kain kantongnya. “Kitab apa?” “Sudahlah, tidak perlu berkelit.” “Aku cuma bertanya, kitab apa? Lagi pula, bagaimana Ki Dulur menyimpulkan bahwa aku membawa kitab yang Ki Dulur inginkan dalam kantong ini?” “Kalau kau mengaku Titisan Bujangga Manik, kalau kau benar-benar murid Resi Bujangga Manik, atau setidaknya murid Resi Darmakusumah, kau tentu tahu di mana keberadaan kitab-kitab yang pernah dicuri dari Keraton Pajajaran, terutama Kitab Siliwangi.” Tiba-tiba, ingatan Jaka Wulung melayang pada cerita Resi Darmakusumah, gurunya, mengenai pengalamannya tatkala menyelamatkan tiga kitab yang tersisa dari puluhan kitab pusaka Kerajaan Sunda, ketika Keraton Pakuan Pajajaran dibumihanguskan oleh pasukan Banten. Ketiga kitab itu adalah Patikrama Galunggung, yang ditulis oleh Prabu Darmasiksa, naskah Bujangga Manik, karya eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik, dan satu lagi kitab tanpa judul, yang oleh kalangan keraton disebut Kitab Siliwangi, yang konon ditulis oleh Prabu Siliwangi sendiri. Ketika baru saja menyelamatkan tiga kitab itulah, Resi Darmakusumah dicegat oleh sekelompok orang yang juga mengincar kitab-kitab itu. “Ah, Ki Dulur pastilah Munding Wesi bersaudara,” kata Jaka Wulung. []
Mataharisudah bergeser menuju lengkung langit belahan barat. Perahu melaju pelan, menembus arus Ci Liwung yang tenang. Jaka Wulung mendayung di tepi kanan, sedangkan Ciang Hui Ling di kiri. "Jaka." Jaka Wulung menoleh. Ciang Hui Ling menatap Jaka Wulung, tapi tidak lekas mengatakan apa pun. Jaka Wulung masih menunggu.
Terjebak di Tanah Antah-berantah SEBUAH segitiga berujung tajam menancap dalam hingga melesak hampir separuhnya pada kulit sebatang pohon. Sebagian malah melesak ke batangnya. Batang pohon kiara itu tergolong keras. Jadi, bisa dibayangkan betapa kuatnya tenaga yang dilepaskan orang yang melontarkan senjata rahasia itu. Kalau saja Jaka Wulung tidak menubruk Ciang Hui Ling, gadis itu tentu akan menjadi mangsa yang empuk. Segitiga itu menancap di pohon dengan ketinggian sekitar pundak Jaka Wulung. Jadi, senjata itu mengarah ke leher Ciang Hui Ling, salah satu sasaran yang mematikan di tubuh manusia. Sekali menancap di leher seseorang, jalan napas akan langsung terputus. Jaka Wulung menarik segitiga berujung tajam itu dari kulit dan batang kiara. Dibutuhkan pengerahan tenaga yang cukup besar bagi sang pendekar belia untuk menarik segitiga maut itu. Senjata rahasia adalah sesuatu yang dibenci Jaka Wulung. Dia sudah merasakan “senjata rahasia” berupa pistol. Bahkan, luka di lengannya masih terasa sedikit ngilu. Menurut pemikiran sederhana Jaka Wulung, senjata rahasia adalah ciri orang pengecut. Apa pun jenisnya, sumpit, jarum, dan sebagainya. Mereka memanfaatkan kelengahan lawan. Mereka menghindari sikap kesatria untuk berhadapan langsung dalam pertempuran yang adil. Jaka Wulung mencoba menerka asal segitiga maut itu dari arah lemparannya. Tentu saja, dari arah selatan, dari sebuah gerumbul perdu yang rapat. Ada beberapa gerumbul di sekitar tempat itu. Juga pepohonan besar meskipun tumbuh tidak terlalu rapat. Namun, gerumbul yang satu itu diam tak bergerak. Dedaunannya seakan-akan merupakan patung belaka. Dan kediaman itu justru mencurigakan karena angin di sekitarnya berembus cukup kencang untuk menggoyang gerumbul-gerumbul yang lain. Ada orang di balik gerumbul itu, yang sengaja menahan rerantingnya supaya tidak menimbulkan gerakan sekecil apa pun pada daun-daunnya. Sungguh ilmu yang pantas dikagumi. Sekaligus sebuah kesalahan besar. Jaka Wulung menjentikkan jemarinya. Segitiga bersisi tajam itu pun meluncur mendesing mengarah ke gerumbul yang mencurigakan di depannya. Jaka Wulung sengaja melakukan serangan untuk mendahului kemungkinan serangan gelap dari orang di balik gerumbul itu. Menyerang adalah pertahanan terbaik. Dia juga sengaja mengarahkan segitiga maut itu agak ke bawah. Akan tetapi, sebelum segitiga itu mengenai sasarannya, seseorang di balik gerumbul itu sudah lebih dulu meloncat keluar, lalu melarikan diri dengan cepat ke selatan. Siapa pun orang itu, dia mampu menghindari jentikan segitiga maut, senjata yang tadi dia lemparkan sendiri, dari tangan Jaka Wulung. Jelas, bisa disimpulkan bahwa orang itu memiliki ilmu yang tidak bisa dianggap ringan. Siapa dia? Hanya pakaian putih dan ikat kepala hitam yang bisa dilihat dari belakang. Orang itu sudah melesat jauh dari gerumbul yang dia tinggalkan. Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling sejenak saja, sebelum meloncat dan melesat mengejar orang itu. Ciang Hui Ling tidak perlu berpikir lama untuk juga melenting dan mencoba mengikuti gerakan Jaka Wulung. Sambil berlari, Jaka Wulung berkata pelan, “Maaf, Lingling, kita tampaknya harus melupakan dulu urusanmu.” Ciang Hui Ling menoleh dan menjawab, “Ini juga urusanku, Jaka. Senjata itu mengarah kepadaku, lagi pula ....” Ciang Hui Ling menghentikan kata- katanya. Jaka Wulung menoleh. Menunggu kata-kata lanjutan gadis itu. “ Urusanmu urusanku juga.” Jaka Wulung tersenyum, “Ayo!” Pepohonan di sekitar tempat itu makin lama makin rapat, dan Jaka Wulung serta Ciang Hui Ling mesti berhati-hati mengejar orang itu. Jaka Wulung kemudian bahkan menyilakan Ciang Hui Ling berada sedikit di depan. Bagaimanapun, Ciang Hui Ling, yang sudah bertahun-tahun tumbuh di sepanjang Ci Liwung, jauh lebih mengenal tempat itu dibandingkan dengan Jaka Wulung, yang lebih banyak mengandalkan naluri. Di bawah didikan Tan Bo Huang, Ciang Hui Ling memang tumbuh menjadi anak yang tidak suka bermanja-manja di sekitar pondok. Dia kerap menelusuri sepanjang tepi Ci Liwung, baik ke arah hilir hingga muara maupun arah hulu hingga jauh ke dalam hutan. Tidak jarang, dia melakukannya sendirian, tanpa setahu Tan Bo Huang, yang kerap membuat sang guru itu kelimpungan karena cemas akan keselamatan murid sekaligus putri sahabatnya. Sebab, kadang Ciang Hui Ling terlampau meremehkan keadaan. “Awas, Lingling!” Sebuah benda logam tipis berkilat melesat mengarah menuju mereka. Benda itu berputar dengan cepat sehingga yang tampak adalah sebuah bundaran yang kabur. Ziiing! Orang yang mereka buru melepaskan senjata mautnya, segitiga logam bersisi tajam. Orang itu tampaknya merasa bahwa ilmu lari cepatnya masih kalah tatarannya dibandingkan dengan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Karena itu, berbekal senjata mautnya berupa segitiga bersisi tajam, sang buruan berupaya supaya tidak tertangkap. Setidaknya, dia bisa menunda waktu sebelum muncul bantuan. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling terpaksa menahan langkah untuk menghindari ancaman maut itu. Segitiga logam bersisi tajam itu lewat mendesing hanya sejengkal-dua jengkal dari wajah mereka. Jika sudah begitu, jarak antara Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dengan buruan mereka menjadi renggang lagi. Beberapa kali orang itu melepaskan senjata mautnya sembari berlari tanpa menoleh ke belakang, dan tiap kali itu juga, senjatanya tetap mengincar titik berbahaya Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Jelas bahwa orang itu memiliki naluri yang sangat peka, yang hanya dimiliki orang yang sangat terlatih, dan hal itu memberinya waktu yang lapang untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali pula, langkah lari cepat Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling harus tertahan. Dan hal itu, lama-kelamaan menjengkelkan Jaka Wulung. Dia pun bersiap mengambil napas untuk melipatgandakan tenaga lari cepatnya. Akan tetapi, pada saat itulah, si orang buruan mendadak berbelok secara tajam menjauh dari tebing sungai, mengarah ke timur, menuju kerimbunan hutan yang makin rapat. Siapa sebenarnya orang itu? Apa tujuannya menyerang dia dan Ciang Hui Ling? Jaka Wulung merasa tidak memiliki persoalan dengan orang-orang yang menggunakan senjata rahasia berupa segitiga logam bersisi tajam. Pada saat mereka tiba di Pelabuhan Kalapa, sempat terjadi kehebohan ketika seseorang tewas akibat senjata maut itu. Tapi, mereka tidak terlalu memedulikan peristiwa itu karena mereka berpikir bahwa kejadian itu tidak berkaitan dengan diri mereka. Lalu, mengapa kini yang menjadi sasaran adalah mereka sendiri? Dari kelompok atau perguruan manakah orang itu berasal? Jaka Wulung yakin bahwa orang itu tidaklah sendirian. Sangat mungkin bahwa orang itu hanya salah satu anggota kelompok besar dengan tujuan yang belum diketahui secara pasti. Apa yang dilakukan oleh orang itu tampaknya sudah direncanakan dengan matang. Dari kelompok apakah orang itu berasal? Dari perguruan manakah? Kalau benar bahwa dia berasal dari sebuah kelompok tertentu, apakah mereka juga yang melakukan pembakaran terhadap pondok Tan Bo Huang dan membawa pergi pendekar gagah berjulukan Naga Kuning dari Ci Liwung itu? Kalau benar bahwa mereka kelompok yang mampu membawa, apalagi membinasakan, Tan Bo Huang, tentu mereka adalah kelompok yang sangat kuat. Memiliki pemikiran yang seperti itu, Jaka Wulung menjadi berdebar- debar. Jika benar dugaannya, tentu dia dan Ciang Hui Ling sedang menuju sarang buaya yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, Jaka Wulung makin berhati-hati dan waspada. Segera dia kerahkan kepekaan naluri dan pancaindranya hingga tataran yang tinggi untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka sudah makin jauh dari titik awal keberangkatan dari pondok Tan Bo Huang. Jauh ke selatan. Tidak hanya itu, mereka sudah jauh dari daerah tepi Sungai Ci Liwung. Jauh ke timur. Begitu jauhnya sehingga Ciang Hui Ling sendiri lama-kelamaan sadar bahwa dia belum pernah merambah daerah itu. Daerah yang baginya masih antah-berantah. Jalan yang mereka tempuh terus menanjak meskipun tidak terlalu curam kemiringan tanahnya. Perdu dan pepohonan makin rapat. Matahari yang mulai condong ke barat menimpa punggung mereka. Akan tetapi, bahkan sinar matahari pun lama-kelamaan tidak lagi terasa menyengat karena lebih banyak terhalang oleh batang dan dedaunan hutan. Makin lama, mereka pun makin terseret jauh ke dalam hutan lebat. Barangkali, inilah sebab mengapa sungai itu dinamakan Ci Liwung. Kata liwung, yang dilekatkan dengan kata luwang menjadi luwang-liwung, berarti hutan belantara. Mereka kini berada di hutan belantara. Bagi Jaka Wulung, hutan belantara bukanlah tempat yang asing. Semenjak kecil, dia terbiasa tersaruk-saruk di rimba, bahkan sampai tersasar di Bukit Baribis, bertemu dengan Ki Jayeng Segara dan murid-muridnya, dan yang kemudian mengubah jalan hidupnya ketika dia nyaris tewas karena jatuh ke jurang Ci Gunung, sebelum diselamatkan Resi Darmakusumah. Akan tetapi, Ciang Hui Ling, kendatipun bukan jenis anak penakut, belum terbiasa masuk terlalu jauh ke kedalaman hutan. Karena itu, kini Jaka Wulung-lah yang berada di depan. Kini, orang yang mereka buru bahkan sudah tidak kelihatan lagi. Jejak yang ditinggalkannya, baik berupa jejak kaki di tanah maupun reranting patah, nyaris tidak lagi bisa dikenali. Tahu-tahu, mereka sudah berada di sebuah tanah yang lapang, sebidang lahan selebar kira-kira tiga puluh langkah, berumput tebal dan dikelilingi pepohonan hutan yang rapat. “Jaka, tampaknya kita terjebak.” “Ya, berhati-hatilah, Lingling.” Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri beradu punggung, memandang sekitar dengan tatapan setajam mata elang. Selain bebunyian dedaunan dan angin lemah, tidak terdengar suara lain. Nyaris sunyi. Sunyi yang mencengkeram jantung. Sungguh aneh, hutan itu sama sekali tidak memperdengarkan bunyi binatang apa pun. Seakan-akan binatang pun enggan menyambut kedatangan mereka. Hening. Hening yang menjebak. Tiba-tiba di keheningan itu mendesing sesuatu, dari arah Ciang Hui Ling menghadap. Dengan cepat, Ciang Hui Ling menghunus pedangnya untuk menangkis benda yang meluncur ke arahnya. Secara naluriah, dia tidak ingin menghindar karena itu berarti akan menyebabkan sesuatu itu akan meluncur dan mungkin saja mengenai Jaka Wulung yang berada di belakangnya. Terdengar suara denting yang keras disertai letikan bunga-bunga api ketika pedang Ciang Hui Ling berbenturan dengan benda itu. Ciang Hui Ling merasakan genggaman tangannya bergetar ketika terjadi benturan. Benda itu memantul dan jatuh sekitar lima langkah dari Ciang Hui Ling. Sebatang tombak pendek dan tipis terbuat dari baja! “Bagus, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, hanya beberapa jenak. Dari arah Jaka Wulung menghadap, melesat sebuah benda yang berkilau keperakan. Jaka Wulung memiliki pikiran yang sama, yakni dia tidak berniat menghindar karena benda itu tentu akan mengarah kepada Ciang Hui Ling di belakangnya. Karena itu, dengan cepat, dia menarik senjatanya, kudi hyang, yang sangat jarang dia gunakan, kecuali pada saat- saat sangat terdesak—sebuah benda pusaka yang secara ajaib dia terima dari leluhur yang paling dihormati bangsa Sunda, Prabu Niskala Wastukancana. Terdengar dentang yang lebih keras dan bunga api yang lebih menyilaukan, meskipun saat itu siang masih benderang, ketika kudi hyang Jaka Wulung berbenturan dengan benda berkilau keperakan itu. Benda itu memantul, berbalik arah dan melesat ke arah semula. Sebilah pedang pendek, pikir Jaka Wulung. Terdengar suara gemeresik di balik gerumbul, beberapa puluh langkah di depan Jaka Wulung. Tapi, tidak terdengar pekik atau teriak kesakitan. Si pelempar pedang itu tentu berhasil menghindari serangan balik yang dilakukan Jaka Wulung. Hening lagi. Tapi, udara seakan-akan bergetar oleh tegangan yang ditimbulkan oleh kesunyian. Pedang ramping Ciang Hui Ling teracung di depan dadanya. Tangan kirinya mengepal. Kudi hyang melintang di depan dada Jaka Wulung. Telapak tangan kirinya lurus dengan jemari yang rapat. Pada saat yang bersamaan, meluncur empat macam benda dari empat arah yang berbeda. Masing-masing dari arah depan Jaka Wulung, dari arah kanan dia, dari arah depan Ciang Hui Ling, dan dari arah kanan gadis itu. Pada saat yang sama pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling menggerakkan senjata mereka menyambut masing-masing dua benda yang melesat ke arah mereka. Terdengar empat kali suara denting dan empat semburan bunga api ketika senjata mereka berbenturan dengan empat senjata yang dilepaskan dari empat penjuru. Dua senjata memantul oleh pedang Ciang Hui Ling, sama-sama terlontar ke udara, lalu hampir berbarengan jatuh bergeletakan sekitar dua langkah di depannya. Sebilah golok dan pedang pendek. Dua senjata lainnya terpental oleh entakan kuat kudi hyang Jaka Wulung. Sebatang trisula, senjata berujung tiga, melenting jauh dan menembus segerumbul perdu. Sebatang tombak pendek patah nyaris di titik tengah, bagian pangkalnya jatuh di tanah, tapi bagian ujungnya melesat kembali mengarah ke asal datangnya benda itu, menembus kedalaman hutan, tanpa suara. Hening lagi di tempat itu. Bayang-bayang perdu makin memanjang di bagian timur. “Hati-hati, Lingling, ini baru pemanasan,” bisik Jaka Wulung. “Ya,” Ciang Hui Ling mengangguk. Ketegangan merambat di udara. Dari kening Ciang Hui Ling, menetes sebutir air bening. Keringat yang hangat. “Bersiaplah,” bisik Jaka Wulung lagi.[]
Ceritasilat pendekar mabuk merupakan hasil karya suryadi ini merupakan salah satu cerita silat yang cukup banyak diminati oleh penggemar cerita silat nusantara. Dia kemudian ditemukan seorang janda yang merawatnya dengan kasih sayang yang tulus, namun tanpa sadar dia mengeluarkan api yang membakar seluruh rumah yang membuat ibunya meninggal.
Ren Woxing berkata kepada Linghu Chong, “Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, kau langsung naik ke sini, sungguh bagus sekali! Bagus sekali!” Ia lalu berpaling kepada Xiang Wentian dan bertanya, “Mengapa orang-orang keempat perguruan yang lain hingga kini masih belum datang juga?” “Hamba akan mendesaknya lagi!” jawab Xiang Wentian. Ia lantas mengangkat tangan kiri sebagai isyarat. Segera delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak tersebut dan berteriak bersama, “Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang perkasa dan bijaksana memberikan titah agar semua ketua dan murid Perguruan Taishan, Hengshan, Huashan, dan Songshan segera menghadap ke puncak ini. Para ketua balai diperintahkan untuk mendesak mereka secepatnya, jangan sampai lalai!” Kedelapan orang tua itu masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Suara mereka serentak berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Sesaat kemudian terdengarlah suara balasan dari berbagai penjuru, yaitu berpuluh-puluh orang menjawab bersamaan, “Kami menerima titah! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan sepanjang masa!” Suara jawaban ini jelas berasal dari para ketua balai tersebut. Ren Woxing lalu berkata dengan tersenyum, “Ketua Linghu, silakan duduk di sebelahku sini.” Linghu Chong melihat di sebelah barat telapak tangan batu itu berbaris lima buah kursi, dan pada setiap kursi tampak dilapisi kain sutra dengan warna-warna yang berbeda, yaitu hitam, putih, hijau, merah, dan kuning. Masing-masing kain sutra tersebut bersulamkan gambar sebuah puncak gunung. Kursi yang disediakan untuk Linghu Chong dilapisi kain sutra berwarna hitam yang bersulamkan gambar Puncak Jianxing, yaitu puncak utama Gunung Henshan. Ini menunjukkan betapa rapi Sekte Matahari dan Bulan mempersiapkan segala sesuatunya. Dalam urutan Serikat Pedang Lima Gunung, yang biasanya disebut pertama kali adalah Perguruan Songshan, sedangkan Perguruan Henshan selalu disebut paling akhir. Namun, kini tempat duduk ketua Perguruan Henshan justru diputar balik menjadi yang paling dekat dengan Ren Woxing, kemudian disusul Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan, hingga akhirnya Perguruan Songshan diletakkan pada urutan paling belakang. Jelas Ren Woxing sengaja hendak merendahkan Zuo Lengchan. Mengingat Zuo Lengchan, Yue Buqun, Tuan Besar Mo, dan Pendeta Tianmen sudah meninggal semua, maka Linghu Chong merasa tidak perlu segan-segan lagi. Ia pun membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, aku akan duduk di sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas duduk di kursi berlapis sutra hitam yang disediakan untuknya. Suasana di Puncak Menyongsong Mentari sunyi senyap. Tidak seorang pun yang datang ke tempat itu. Selang agak lama Xiang Wentian kembali memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi. Namun demikian, tetap saja tiada seorang pun yang datang. Xiang Wentian berkata, “Orang-orang ini benar-benar tidak tahu diri. Sudah sekian lama mereka masih juga belum datang memberikan sembah pada Ketua. Lekas perintahkan orang-orang kita naik lebih dulu kemari!” Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau, gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai perkumpulan sungai dan laut, dipersilakan naik ke atas Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap Ketua!” Baru saja kata “Ketua” selesai diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung itu bergema suara jawaban, “Kami menerima perintah!” Begitu dahsyat suara ini hingga bergemuruh dan menggetarkan lembah pegunungan tersebut. Linghu Chong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu. Dari suara gemuruh tersebut dapat diperkirakan paling tidak diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya suasana begitu sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak ini. Jelas sebelumnya mereka sengaja disembunyikan oleh Ren Woxing dengan tujuan muncul secara tiba-tiba untuk membuat gentar pihak Serikat Pedang Lima Gunung supaya tidak berani melakukan perlawanan. Dalam sekejap saja ribuan orang telah muncul dan membanjir menuju Puncak Menyongsong Mentari dari berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, namun sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara rapi dan teratur. Sepertinya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya. Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, dan masing-masing memiliki kedudukan semacam ketua perkumpulan, ketua pulau, ketua gunung, dan sebagainya. Sementara itu, anak buah mereka tetap menunggu di lereng gunung. Sekilas pandang Linghu Chong melihat dalam barisan itu terdapat Lan Fenghuang, Zu Qianqiu, Lao Touzi, Ji Wushi, Sima Da, dan Huang Boliu. Meskipun tidak tinggal di Tebing Kayu Hitam, namun mereka berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Sewaktu Linghu Chong memimpin para jagoan silat golongan hitam menyerbu Biara Shaolin waktu itu, orang-orang ini ikut mengambil bagian, bahkan menjadi orang-orang penting yang ikut mengatur siasat. Begitu melihat Linghu Chong duduk di kursi kehormatan, orang-orang itu memandang sekilas dengan sedikit tersenyum. Sedikit pun mereka tidak berani bersuara, apalagi menyapa. Xiang Wentian lantas mengangkat tangan kanan dan menggambar setengah lingkaran di udara. Serentak beribu-ribu orang itu pun berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, sang juruselamat yang mahabijaksana. Semoga Ketua Suci panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya!” Orang-orang ini masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga teriakan mereka pun disertai tenaga dalam pula. Teriakan satu orang saja bagaikan teriakan sepuluh manusia biasa. Begitu mereka mengucapkan “semoga Ketua panjang umur dan seterusnya” serentak anak buah masing-masing yang tersebar di segenap penjuru ikut berteriak. Akibatnya tentu luar biasa. Suasana di tempat itu pun bergemuruh seakan-akan menggetarkan langit dan mengguncangkan bumi. Ren Woxing duduk diam dengan tenang di tempatnya. Setelah sanjung puji yang diteriakkan orang-orang itu benar-benar selesai, barulah ia mengangkat sebelah tangan dan berkata, “Saudara-saudaraku telah bekerja keras, sekarang silakan bangun!” “Terima kasih, Ketua Suci!” seru beribu-ribu orang itu sambil bangkit bersama-sama. Melihat ini Linghu Chong berpikir, “Sewaktu datang ke Tebing Kayu Hitam dulu aku benar-benar ingin muntah melihat sanjung puji anggota Sekte Matahari dan Bulan terhadap Dongfang Bubai. Tak kusangka, setelah Ren Woxing menjadi ketua, keadaan benar-benar semakin buruk. Mereka bahkan menambahkan sebutan “ketua suci” segala. Aku seperti melihat para sarjana dan perwira kerajaan datang menghadap dan merendahkan diri demi menyembah kaisar. Aku hanyalah seorang pendekar biasa. Kalau aku sampai melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini, apakah aku masih pantas disebut laki-laki sejati?” Saat berpikir demikian tiba-tiba perutnya merasa kesakitan, pandangan menjadi gelap, kepala terasa pusing pula, dan hampir saja ia jatuh pingsan. Lekas-lekas ia pun memegang tepi kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah demi menahan rasa sakit yang luar biasa itu. Sejak mempelajari Jurus Penyedot Bintang, ia telah bersumpah tidak akan menggunakan ilmu kejam tersebut. Namun, ketika terperangkap di dalam jala yang dilemparkan Yue Buqun tadi, terpaksa ia menggunakan ilmu itu untuk menghisap tenaga dalam sang guru. Akibatnya justru menyiksa diri sendiri seperti ini. Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai mengeluarkan suara rintihan. Tampak butir-butir keringat berjatuhan di keningnya, sekujur tubuh gemetar, otot wajahnya berkerut-kerut, pertanda betapa berat penderitaan yang ia rasakan. Setiap orang dapat melihat hal ini dengan jelas. Zu Qianqiu dan yang lain tampak memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa khawatir. Ren Yingying berjalan mendekati dan berkata lirih, “Kakak Chong, aku ada di sisimu!” Andaikan mereka berada di tempat yang sepi tentu ia sudah memegang tangan sang kekasih untuk memberikan semangat. Namun, di bawah tatapan beribu-ribu pasang mata, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata tersebut, itu pun dengan wajah merah menahan malu. Linghu Chong lantas menoleh dan memandang Ren Yingying sekejap. Ia merasa agak terhibur dan rasa sakitnya sedikit berkurang. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Ren Woxing di Hangzhou dahulu, bahwa setelah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap bermacam-macam tenaga dalam milik orang lain ke dalam tubuh sendiri, maka pada suatu hari kelak himpunan hawa murni tersebut pasti akan bergolak hebat. Setiap kali penyakit ini kambuh tentu akan semakin hebat daripada sebelumnya, dan ini berarti tubuh pun akan semakin tersiksa. Itulah sebabnya mengapa Ren Woxing menyerahkan urusan agama kepada Dongfang Bubai. Ia merasa penyakitnya itu sering kambuh dan sangat menyiksa. Dengan mengambil cuti dari jabatannya, ia berusaha mencari cara untuk bisa memusnahkan gangguan berbagai macam hawa murni liar tersebut. Akibatnya, kesempatan ini justru dimanfaatkan Dongfang Bubai untuk memberontak dan mengurungnya di bawah Danau Barat. Selama terpenjara di dasar Danau Barat di daerah Hangzhou itulah, Ren Woxing akhirnya berhasil melatih cara memusnahkan gabungan hawa murni liar yang mengamuk di dalam tubuhnya. Ia lantas menawarkan diri kepada Linghu Chong untuk mengajarkan ilmu tersebut dengan syarat pemuda itu harus masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Namun, Linghu Chong dengan tegas menolak tawaran Ren Woxing tersebut, karena sejak kecil ia telah dididik untuk membenci Sekte Matahari dan Bulan sebagai aliran sesat dan tidak boleh bergaul dengan agama iblis tersebut. Seiring berjalannya waktu, Linghu Chong menyaksikan sendiri bagaimana Zuo Lengchan dan Yue Buqun yang selama ini menamakan diri sebagai guru besar dari aliran lurus bersih, namun perbuatan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang aliran sesat. Kini baginya, perbedaan antara golongan hitam dan golongan putih menjadi rancu dan tidak jelas lagi. Terkadang timbul pula pikiran dalam benaknya, andaikan Ren Woxing kembali mengharuskannya masuk agama sebagai syarat untuk menikahi Ren Yingying, tentu ajakan tersebut akan diterimanya tanpa membantah. Dasar watak Linghu Chong memang suka apa adanya, segala macam persoalan tidak pernah dianggapnya sungguh-sungguh. Baginya apakah harus masuk agama atau tidak sama, sekali bukan persoalan penting. Namun, tempo hari sewaktu ia menyaksikan secara langsung bagaimana para anggota Sekte Iblis menjilat dan memuja Dongfang Bubai dan kemudian Ren Woxing secara berlebihan, seketika timbul rasa muak di dalam hatinya. Sebagai seorang bebas merdeka, ia sama sekali tidak sudi diperbudak dan mengucapkan sanjung puji dengan merendahkan diri seperti pengemis. Hari ini, ia pun melihat betapa Ren Woxing mengagungkan diri sendiri. Lagaknya jauh lebih hebat dan berkuasa daripada seorang kaisar maharaja. Padahal, dulu ia sangat menderita sewaktu terkurung di dasar Danau Barat. Kini setelah berkuasa, ia memperlakukan segenap kaum kesatria dunia persilatan dengan sedemikian hina, sedemikian rendahnya, seolah-olah mereka bukan manusia. Ketika Linghu Chong larut dalam lamunannya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berseru, “Lapor kepada Ketua Suci, murid-murid Perguruan Henshan telah tiba!” Linghu Chong terkejut seketika. Ia melihat Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain bahu-membahu naik ke atas puncak tersebut. Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang juga ikut di belakang mereka. Segera seorang tetua Sekte Matahari dan Bulan berseru, “Kawan-kawan sekalian, silakan memberi hormat kepada Ketua Suci!” Yang bicara ini tidak lain adalah Bao Dachu. Melihat Linghu Chong juga ada di sana, Yiqing dan yang lain sadar bahwa Ren Woxing adalah calon mertua ketua mereka itu. Meskipun mereka berpikir bahwa golongan hitam dan putih tidak seharusnya berdampingan, namun demi menghargai sang ketua, tiada salahnya sebagai kaum muda memberi hormat kepada angkatan tua. Maka, Yiqing pun memimpin saudara-saudaranya berjalan mendekati telapak tangan batu raksasa tersebut, lantas membungkukkan tubuh dan berkata, “Kami dari Perguruan Henshan memberi salam hormat kepada Ketua Ren!” “Berlutut dan menyembah!” bentak Bao Dachu. “Kaum biarawati seperti kami hanya menyembah kepada Sang Buddha, menyembah kepada Boddhisatwa, dan menyembah kepada guru,” sahut Yiqing lantang. “Kami sama sekali tidak menyembah manusia biasa.” “Ketua Suci bukan manusia biasa,” seru Bao Dachu. “Beliau seorang nabi, seorang dewa, seorang buddha, seorang boddhisatwa!” Yiqing lantas berpaling ke arah Linghu Chong. Tampak pemuda itu menggeleng kepala. Maka, Yiqing pun kembali berkata lantang, “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja kami semua. Yang pasti murid-murid Perguruan Henshan tidak menyembah manusia biasa!” “Ucapan bagus, ucapan bagus!” seru Biksu Bujie sambil bergelak tawa. Xiang Wentian langsung membentak gusar, “Kau berasal dari perguruan mana? Untuk apa kau datang kemari?” Rupanya Xiang Wentian melihat adanya bibit keributan karena murid-murid Perguruan Henshan tidak mau menyembah kepada Ren Woxing. Apabila orang-orang Henshan ini sampai diperlakukan kasar, tentu rasanya tidak enak kepada Linghu Chong. Oleh karena itu, ia sengaja membentak Biksu Bujie untuk mengalihkan perhatian Ren Woxing sehingga melupakan sikap membantah murid-murid Henshan tadi. Bujie pun menjawab dengan tertawa, “Aku seorang biksu liar, tidak diterima biara besar, tidak diterima biara kecil. Maka itu, aku tidak memiliki aliran atau perguruan yang jelas. Hanya saja, aku mendengar di Gunung Huashan ini sedang berkumpul banyak orang. Kedatanganku kemari hanya untuk melihat keramaian.” “Pertemuan ini hanya untuk dihadiri orang-orang Sekte Matahari dan Bulan dan Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini. Lekas kau segera turun gunung saja!” kata Xiang Wentian. Ucapannya ini boleh dikata sudah cukup sopan demi untuk menjaga perasaan Linghu Chong. Ia sadar kedatangan Biksu Bujie adalah bersama dengan orang-orang Perguruan Henshan, tentu sedikit-banyak memiliki hubungan baik dengan mereka. Maka, ia pun tidak mau mempersulit biksu besar tersebut. Tak disangka Bujie malah menjawab, “Gunung Huashan ini bukan milik Sekte Iblis kalian. Aku mau datang ke sini, peduli apa dengan kalian? Kecuali orang-orang Perguruan Henshan, tidak seorang pun berhak mengusir aku.” Istilah “Sekte Iblis” merupakan nama ejekan bagi Sekte Matahari dan Bulan. Kaum persilatan pada umumnya tidak berani mengucapkan istilah ini secara terang-terangan di hadapan anggota sekte, kecuali kalau memang sengaja hendak mencari permusuhan. Namun, pada dasarnya sifat Biksu Bujie memang tidak memiliki pantangan. Apa yang ia pikirkan, itu pula yang ia ucapkan. Apalagi ketika Xiang Wentian mengusirnya, seketika hatinya menjadi kesal. Tanpa pikir panjang ia langsung membantah tanpa menghiraukan siapa yang sedang dihadapinya. Sedikit pun dirinya tidak merasa gentar. Dengan menahan gusar Xiang Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Adik Linghu, siapa sebenarnya biksu sinting ini? Ada hubungan apa dengan perguruan kalian?” Linghu Chong sendiri sedang merasa kesakitan. Perutnya terasa seperti disayat-sayat puluhan pisau. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Biksu Bujie … biksu besar ini ….” Sementara itu, Ren Woxing benar-benar murka begitu mendengar Bujie berani menyebut “Sekte Iblis” tadi. Ia khawatir Linghu Chong lebih dulu mengatakan bahwa biksu besar tersebut memiliki hubungan baik dengan Perguruan Henshan. Jika itu sampai terjadi tentu akan sukar untuk membunuhnya. Maka, sebelum Linghu Chong selesai menjawab, segera ia membentak, “Bunuh saja biksu sinting itu!” Delapan orang tua berseragam kuning segera menjawab, “Kami menerima perintah!” Serentak mereka menerjang maju dan mengerubut Bujie. “Hei, kalian hendak main keroyok rupanya?” teriak Bujie. Selanjutnya ia tidak sempat bicara lagi karena harus menghadapi serangan kedelapan orang itu. “Tidak tahu malu!” teriak si nenek, ibu Yilin. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan sang suami. Dengan punggung menempel punggung mereka bertarung melayani serangan musuh. Kedelapan orang tua berseragam kuning itu adalah delapan tetua agama yang rata-rata berilmu tinggi. Masing-masing ilmu silat mereka setara dengan Bujie. Namun, karena jumlah yang tidak seimbang, yaitu delapan melawan dua, maka dalam waktu singkat saja kedelapan orang itu sudah berada di atas angin. Melihat ini Tian Boguang tidak bisa tinggal diam. Segera ia mengangkat golok dan ikut menerjang ke dalam pertempuran. Disusul kemudian Yilin juga melolos pedang dan membantu ayah-ibunya. Dua di antara kedelapan tetua itu lantas memisahkan diri untuk menghadapi mereka. Tentu saja ilmu silat Tian Boguang dan Yilin kalah jauh menghadapi kedua tetua itu. Dengan ilmu goloknya yang cepat Tian Boguang masih cukup lumayan bisa mempertahankan diri, sementara Yilin dalam waktu singkat sudah terdesak kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar. Andai saja si tetua tidak menghormati Linghu Chong, tentu Yilin sudah tewas sejak tadi. Linghu Chong semakin merasa kesakitan melihat kejadian itu. Ia menunduk dan mendekap perut dengan tangan kiri, sementara tangan kanan melolos pedang sambil berseru, “Hentikan … hentikan!” Dengan menahan sakit ia menerjang maju ke dalam pertempuran. Begitu pedangnya berkelebat, sekaligus delapan gerakan dilancarkan. Serentak empat orang tetua terpaksa mundur. Kembali ia melancarkan delapan serangan dan memaksa keempat lainnya mundur pula. Semua gerakan ini berasal dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang selalu mengarah ke tempat mematikan di tubuh lawan. Bagaimanapun hebatnya kedelapan tetua itu, namun masing-masing sudah mendengar betapa lihai ilmu pedang Linghu Chong sehingga tiada seorang pun yang berani menyerang lebih lanjut. Sambil setengah berjongkok, Linghu Chong berkata dengan suara terputus-putus, “Ketua … Ketua Ren, harap sudi memandang diriku dan ... membiarkan mereka ….” Karena terlalu sakit pada bagian perutnya, sehingga kata “pergi” pun tidak sanggup ia ucapkan. Ren Woxing paham saat itu berbagai macam hawa murni dalam tubuh Linghu Chong sedang kambuh dan bergolak lagi. Ia sadar pemuda ini adalah kekasih idaman putrinya, dan ia sendiri juga suka dan sayang kepadanya. Selain itu, dirinya tidak mempunyai anak laki-laki. Kelak, ia bahkan mengharapkan Linghu Chong bisa mewarisi jabatan ketua sekte dari tangannya. Berpikir demikian Ren Woxing lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Ketua Linghu yang memintakan ampun bagi kalian, maka aku memberi kelonggaran.” Segera Xiang Wentian melompat maju. Kedua tangannya bekerja cepat. Berturut-turut ia menotok Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang dan Yilin. Betapa cepat gerakan tangannya sungguh luar biasa. Meskipun si nenek terkenal gesit ternyata tidak dapat meloloskan diri dari tangan Xiang Wentian itu. Linghu Chong terkejut dan berseru, “Kakak … Kakak Xiang ….” “Jangan khawatir,” segera Xiang Wentian menjawab dengan tertawa. “Ketua sudah menyatakan memberi ampun kepada mereka.” Ia lalu berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Majulah ke sini delapan orang!” “Kami menerima perintah Pelindung Kiri Xiang!” sahut delapan orang laki-laki berseragam hijau sambil melangkah maju ke depan. “Empat laki-laki dan empat perempuan!” kata Xiang Wentian. Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan ganti maju ke depan. Xiang Wentian lantas berkata, “Keempat orang ini berbicara tidak pantas. Dosa mereka sungguh besar dan sudah seharusnya dihukum mati. Tapi Ketua Suci sangat bijaksana dan bermurah hati. Dengan memandang wajah emas Ketua Linghu, mereka pun tidak diberi hukuman. Maka itu, gotong saja mereka turun gunung. Sesampainya di bawah lepaskan totokan mereka dan bebaskan semua.” Kedelapan orang itu membungkuk hormat dan berkata, “Kami siap melaksanakan perintah!” Xiang Wentian lantas melanjutkan dengan suara lirih, “Mereka adalah teman baik Ketua Linghu, jadi kalian jangan berbuat kasar.” “Baik!” jawab mereka serentak. Kedelapan orang itu lantas bekerja cepat. Setiap dua orang menggotong satu orang meninggalkan puncak tersebut. Melihat Bujie sekeluarga sudah lolos dari maut, Linghu Chong dan Ren Yingying merasa lega. Masing-masing menghela napas panjang dan bersyukur dalam hati. Segera Linghu Chong berkata, “Terima ... terima kasih!” Namun setelah itu ia tidak mampu berdiri tegak. Karena sakit di perutnya bertambah parah tanpa kuasa ia pun jatuh terjongkok di atas tanah. Demi untuk memukul mundur kedelapan tetua tadi, Linghu Chong telah melancarkan enam belas serangan dalam sekejap mata. Tentu saja hal ini membutuhkan tenaga yang tidak sedikit dan membuat penderitaannya semakin bertambah parah. Kini bukan hanya perut yang terasa seperti ditusuk-tusuk pisau, bagian dada juga terasa ikut sakit luar biasa. Diam-diam Xiang Wentian merasa khawatir, namun wajahnya tampak biasa-biasa saja. Sambil pura-pura tertawa ia bertanya, “Adik Linghu, apakah kau sedang tidak enak badan?” Hampir setahun yang lalu Linghu Chong pernah membantu Xiang Wentian bertempur menghadapi kepungan para kesatria dari golongan hitam dan putih. Setelah lolos dari maut, keduanya pun saling mengangkat saudara. Meskipun untuk selanjutnya kedua orang ini jarang bertemu, namun hubungan batin di antara mereka tetaplah abadi. Segera Xiang Wentian memegang tangan Linghu Chong dan memapahnya duduk kembali di atas kursi tadi. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam untuk membantu Linghu Chong menolak pergolakan hawa murni liar di dalam tubuh pemuda itu. Padahal Linghu Chong jelas-jelas memiliki Jurus Penyedot Bintang. Ini berarti Xiang Wentian membiarkan tenaga dalamnya terhisap keluar. Jika hal ini diteruskan bisa-bisa Xiang Wentian kehilangan semua ilmu silatnya. Maka itu, Linghu Chong pun mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan, Kakak Xiang! Aku … aku sudah sembuh!” Sementara itu, Ren Woxing sedang bertanya kepada anak buahnya, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya Perguruan Henshan saja yang hadir dalam pertemuan ini. Para anggota dari keempat perguruan yang lain ternyata berani membangkang perintah. Oleh sebab itu, kita tak perlu segan lagi kepada mereka!” Pada saat itulah Shangguan Yun datang dengan langkah cepat ke atas puncak tersebut. Setibanya di depan telapak batu raksasa ia lantas menyembah dan berkata, “Lapor kepada Ketua Suci, di dalam gua Tebing Perenungan, hamba menemukan sekitar dua ratus mayat. Di antaranya terdapat ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan. Selain itu banyak pula tokoh-tokoh penting Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan ikut menjadi korban. Sepertinya mereka mati karena saling bunuh satu sama lain.” “Hah?” sahut Ren Woxing terkejut. “Bagaimana dengan ketua Perguruan Hengshan? Apakah Tuan Besar Mo juga terbunuh?” “Hamba telah memeriksa semuanya dengan teliti,” jawab Shangguan Yun. “Namun, hamba tidak menemukan Tuan Besar Mo di sana. Hamba juga tidak menemukan jejaknya di segenap penjuru Gunung Huashan.” Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama terkejut sekaligus gembira. Keduanya saling pandang dan berpikir, “Paman Guru Mo datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Beliau pasti bisa menghindarkan diri dari marabahaya di gua tadi. Kemungkinan besar ketika kekacauan itu terjadi, Beliau membaur bersama mayat dan menahan napas, kemudian keluar dari gua setelah keadaan benar-benar aman.” Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Dua orang pejabat sementara ketua Perguruan Taishan, yaitu Yuqingzi dan Yuyinzi juga tewas di dalam gua.” Ren Woxing merasa kurang senang mendengarnya. Ia bertanya, “Siapa lagi ... siapa lagi?” “Bahkan di luar gua juga ditemukan sesosok mayat ….” lanjut Shangguan Yun. “Mayat siapa?” tukas Ren Woxing penasaran. “Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti bahwa mayat itu adalah ketua Perguruan Huashan,” jawab Shangguan Yun. “Dia adalah Yue … Tuan Yue alias Si Pedang Budiman yang baru-baru ini terpilih sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.” Shangguan Yun sadar bahwa kelak Linghu Chong akan menjadi ahli waris sang ketua. Oleh karena itu, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun dengan kasar, mengingat pemuda itu pernah menjadi murid Perguruan Huashan. Begitu Ren Woxing mendengar Yue Buqun juga mati, perasaannya semakin kecewa. Ia lantas bertanya, “Siapa … siapakah yang telah membunuhnya?” Shangguan Yun menjawab, “Ketika sedang memeriksa keadaan di dalam gua, hamba mendengar ada suara beberapa orang bertempur di luar. Begitu hamba memeriksa, ternyata ada sekelompok murid-murid Huashan sedang bertempur mati-matian melawan sekelompok murid Taishan. Kedua pihak saling mencaci maki menuduh pihak lawan telah membunuh guru mereka. Kedua pihak tersebut bertempur dengan sengit dan sama-sama kehilangan banyak korban. Tidak sedikit yang terluka dan tewas. Hamba berhasil menawan sisa-sisa dari mereka dan membawa orang-orang itu kemari untuk menunggu keputusan Ketua Suci.” “Jadi, Yue Buqun dibunuh oleh orang Perguruan Taishan?” ujar Ren Woxing setengah bergumam. “Memangnya di dalam Perguruan Taishan ada jago sehebat itu yang mampu membunuh Yue Buqun?” Dari kalangan murid-murid Henshan tiba-tiba Yiqing berseru lantang, “Tidak benar! Yue Buqun telah dibunuh oleh adik seperguruan kami dari Perguruan Henshan!” “Siapa adikmu itu?” tanya Ren Woxing. “Dia adalah Adik Yilin, salah seorang yang baru saja dibawa turun gunung tadi,” jawab Yiqing. “Yue Buqun telah menewaskan Biksuni Ketua dan Bibi Guru Dingyi. Setiap murid dalam perguruan kami membencinya sampai ke tulang sumsum. Hari ini, atas berkah Sang Buddha, arwah kedua biksuni sepuh telah meminjam tangan Adik Yilin yang berilmu silat biasa-biasa saja untuk menghukum penjahat itu.” “Oh, ternyata begitu!” kata Ren Woxing. “Jaring Langit begitu luas, seorang pun tak akan lolos. Dosa tak berampun, hutang harus dibayar.” Nada ucapannya ini terdengar sangat hambar dan penuh rasa kecewa. Xiang Wentian dan para tetua agama juga saling pandang dengan perasaan kurang senang. Kedatangan Sekte Matahari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah dipersiapkan dengan rencana matang dan pengaturan sangat rapi. Semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buah masing-masing, serta segenap perkumpulan dan perguruan yang tersebar di berbagai tempat juga dikerahkan seluruhnya. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung dalam sekaligus. Apabila kelima perguruan tersebut berani melawan, maka mereka akan ditumpas dan dimusnahkan tanpa ampun. Sasaran selanjutnya tentu saja menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang. Baru setelah itu Sekte Matahari dan Bulan akan berjaya dan menguasai dunia persilatan. Tentu tidak ada lagi suatu golongan atau perguruan yang mengaku sebagai aliran lurus berani melawannya lagi. Semboyan “merajai dunia persilatan” akan terbangun kuat melalui pertemuan di Puncak Menyongsong Mentari saat ini. Tak disangka, tokoh-tokoh terkemuka dari keempat perguruan, yaitu Zuo Lengchan, Yue Buqun, Yuqingzi, dan Yuyinzi telah tewas, sementara Tuan Besar Mo menghilang entah ke mana. Selain itu, murid-murid keempat perguruan tersebut yang tersisa juga tinggal sedikit. Ini berarti rencana mahabesar yang telah diatur rapi oleh Ren Woxing tidak berguna lagi. Semakin dipikir semakin gusar rasa hati Ren Woxing. Ia pun berseru, “Bawa ke sini kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa itu!” “Baik!” jawab Shangguan Yun. Ia lantas berbalik dan melangkah cepat ke bawah puncak untuk memanggil mereka. Sementara itu, pergolakan hawa murni di dalam tubuh Linghu Chong sudah mulai reda. Ketika mendengar Ren Woxing menyebut “kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa”, hatinya merasa kurang senang. Meskipun Ren Woxing tidak bermaksud memaki dirinya, namun bagaimanapun juga Perguruan Henshan adalah bagian dari Perguruan Lima Gunung tersebut. Tidak lama kemudian, terdengar suara bentakan dan makian. Tampak dua orang tetua agama sedang memimpin anak buahnya menggiring sekitar tiga puluh orang murid Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan naik ke puncak tersebut. Di antara kelima perguruan, Huashan memiliki jumlah murid yang paling sedikit. Kini jumlah itu semakin banyak berkurang. Sementara itu, sebagian besar para kesatria terkemuka dari Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan juga sudah mati terbunuh di dalam gua. Dengan demikian ketiga puluh orang yang tersisa ini adalah jago-jago kelas bawah dan sama sekali tidak terkenal, bahkan sebagian tampak sedang terluka. Kalau saja bukan karena dibimbing orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, tentu mereka akan sangat kesulitan naik ke puncak tersebut. Ren Woxing sangat kesal melihat ini semua. Tanpa menunggu rombongan itu mendekati tempatnya, ia pun membentak gusar, “Untuk apa aku menginginkan kawanan anjing ini dibawa kemari? Sudah, bawa saja mereka turun ke sana! Bawa mereka turun!” “Baik, Ketua Suci!” jawab kedua tetua tadi serentak. Mereka lantas menggiring kembali rombongan tawanan tersebut menuju ke bawah. Ren Woxing terus saja mencaci maki untuk beberapa saat. Tiba-tiba ia bergelak tawa dan berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung telah banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan. Langit tidak mengampuni dosa mereka. Lihatlah, kita tidak perlu keluar tenaga, tidak perlu turun tangan, tahu-tahu mereka sudah saling bunuh dan mampus semua. Mulai hari ini nama Serikat Pedang Lima Gunung sudah terhapus di dunia persilatan.” Serentak para tetua Sekte Matahari dan Bulan membungkuk dan berseru, “Ini semua berkat perbawa Ketua Suci yang bersinar terang, sehingga kawanan tikus celurut itu musnah dengan sendirinya.” Xiang Wentian berkata pula, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang berdiri tegak. Semua ini berkat kepemimpinan Ketua Linghu yang bijaksana. Untuk selanjutnya, Perguruan Henshan dan Sekte Suci kita menjadi sahabat, senapas seirama. Saling merasakan kebahagiaan bersama-sama. Untuk itu, selamat kepada Ketua Suci karena telah mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada bandingannya sebagai pembantu utama.” Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Benar sekali, benar sekali. Ucapan Saudara Xiang sama sekali tidak salah. Nah, Adik Linghu, mulai hari ini kau bisa membubarkan Perguruan Henshan. Para biksuni dan murid perempuan dari perguruanmu itu kalau mau ikut ke Tebing Kayu Hitam tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka. Namun, kalau mereka ingin tetap tinggal di Gunung Henshan juga tidak menjadi soal. Para jagoan yang pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan juga boleh dijadikan sebagai pasukan pengawal Wakil Ketua. Hahahahaha!” Dengan terbahak-bahak ia menengadah ke langit. Suara gelak tawanya itu terasa menggetarkan lembah pegunungan dan menimbulkan gema yang tidak ada habisnya. Mendengar istilah “wakil ketua” serentak semua orang tekesiap. Namun, sejenak kemudian mereka lantas bersorak-sorai dengan suara riuh bergemuruh. Dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, “Pendekar Linghu menjadi wakil ketua sekte suci kita, sungguh bagus sekali! Sungguh bagus sekali!” “Selamat untuk Ketua Suci yang mendapatkan seorang pembantu hebat!” “Selamat untuk Ketua Suci! Selamat untuk Wakil Ketua!” “Hidup Ketua Suci! Hidup Wakil Ketua!” Rupanya para anggota Sekte Matahari dan Bulan yang bersorak gembira itu terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah anggota sekte yang tinggal di Tebing kayu Hitam. Mereka mengetahui bahwa Linghu Chong adalah calon menantu Sang Ketua Suci dan kini ditunjuk pula sebagai wakil ketua. Kelak dapat dipastikan pemuda itu akan menggantikan kedudukan Ren Woxing sebagai pemimpin agama. Mereka kenal watak Linghu Chong sangat ramah dan mudah bergaul. Kelak bila ia naik takhta menjadi ketua tentu semua anak buahnya akan merasa lebih aman. Saat ini setiap saat mereka selalu khawatir jangan-jangan ada yang main fitnah untuk saling menjatuhkan, atau takut membuat marah Ketua Ren dan dihukum mati. Golongan kedua adalah para jago silat yang dahulu pernah dipimpin Linghu Chong menyerbu Biara Shaolin, dan juga pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan. Bisa dikatakan mereka telah memiliki ikatan batin cukup kuat dengan pemuda itu, sehingga sorak-sorai mereka pun tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Sementara itu, golongan ketiga adalah mereka yang pernah menerima budi baik Ren Yingying. Dengan diangkatnya calon suami Sang Gadis Suci sebagai wakil ketua tentu saja mereka merasa senang dan ikut bersorak. Dengan latar belakang yang berbeda ketiga golongan tersebut sama-sama bergembira merayakan pengangkatan Linghu Chong sebagai wakil ketua dengan setulus hati. Xiang Wentian juga lantas berkata, “Selamat untuk Wakil Ketua! Marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas bergabungnya dirimu ke dalam agama suci kita. Setelah itu kita minum lagi arak bahagia atas perkawinanmu dengan Nona Besar. Ini namanya kebahagiaan berganda! Kebahagiaan berganda!” Akan tetapi, perasaan Linghu Chong sendiri ternyata sedang bingung. Dalam hati ia memberontak dan berharap urusan ini tidak boleh sampai terjadi. Namun demikian, ia tidak tahu bagaimana cara untuk menolaknya. Apabila ia sampai menolak kehendak Ren Woxing, itu berarti perjodohannya dengan Ren Yingying juga akan gagal dan berantakan. Bukan mustahil Ren Woxing juga akan sangat murka dan membunuhnya pula. Sebenarnya ia sendiri tidak takut mati. Namun, membayangkan murid-murid Perguruan Henshan ikut menjadi korban membuat hatinya menjadi bimbang. Ia merasa bingung apakah harus menolak dengan tegas ataukah menerima kedudukan itu untuk sementara waktu, sampai murid-murid Henshan terhindar dari bahaya. Perlahan ia berpaling ke arah murid-murid Henshan tersebut. Tampak sebagian dari mereka ada yang berwajah gusar, ada yang menunduk lesu tak bersemangat, ada pula yang bingung kehilangan akal. Tidak seorang pun dari mereka yang tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba terdengar Shangguan Yun berseru lantang, “Di bawah kepemimpinan Ketua Suci dan dengan bantuan Wakil Ketua yang bijaksana, kita hancurkan Perguruan Shaolin, kita musnahkan Perguruan Wudang, Kunlun, dan Emei, kita basmi pula Partai Pengemis. Semuanya dapat kita lakukan dengan mudah. Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Hidup Wakil Ketua, hidup sembilan ribu tahun, bahagia untuk selamanya!” Sebenarnya perasaan Linghu Chong sedang kusut dan sukar menentukan sikap. Namun, begitu mendengar sanjung puji Shangguan Yun, seketika pikirannya menjadi terbuka. Ia merasa bila dirinya menerima kehendak Ren Woxing sebagai wakil ketua, maka setiap hari tentu akan mendengar sanjung puji muluk-muluk yang memuakkan itu. Meskipun sanjung puji untuknya tidak sebanyak yang diterima Ren Woxing, tetap saja dalam hati ia merasa geli. Tanpa terasa ia pun tertawa sendiri. Suara gelak tawanya itu terkesan menghina, penuh dengan nada mengolok-olok. Hal ini dapat dirasakan oleh setiap orang yang berpikiran jernih. Seketika suasana di puncak Puncak Menyongsong Mentari menjadi sunyi senyap. “Ketua Linghu,” sahut Xiang Wentian membuka suara, “Ketua Suci telah mengangkatmu sebagai wakil ketua. Itu berarti kedudukanmu dalam dunia persilatan hanya di bawah seorang saja, dan di atas ratusan ribu orang. Atas kemurahan hati Ketua Suci tersebut, lekaslah berterima kasih kepada Beliau.” Seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. Tanpa ragu-ragu ia pun bangkit dan berseru lantang menghadap ke atas, “Ketua Ren, ada dua persoalan ingin kusampaikan.” “Silakan bicara,” sahut Ren Woxing dengan tersenyum. “Yang pertama, aku telah menerima tugas berat untuk memimpin Perguruan Henshan berdasarkan wasiat ketua terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian. Aku merasa tidak dapat membawa kemajuan apa-apa bagi Perguruan Henshan, namun yang pasti juga tidak mungkin membubarkan Perguruan Henshan dan membawanya masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Kalau sampai itu terjadi, tentu aku akan sangat malu bertemu muka dengan Biksuni Dingxian di alam sana. Yang kedua adalah urusan pribadi. Aku mohon Ketua Ren sudi merestui putri kesayanganmu sebagai istriku.” Sewaktu mendengarkan Linghu Chong menguraikan persoalan pertama, setiap orang merasa khawatir jangan-jangan Ren Woxing murka dan urusan bisa menjadi runyam. Namun, begitu mendengar persoalan kedua ternyata lamaran untuk Ren Yingying, seketika semua orang saling pandang dengan tersenyum. Ren Woxing sendiri bergelak tawa dan berkata, “Masalah pertama mudah untuk diselesaikan. Kau bisa menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada salah seorang biksuni, dan setelah itu kau sendiri masuk ke dalam agama suci kami. Mengenai Perguruan Henshan untuk selanjutnya bergabung dengan agama suci kami atau tidak, bisa dirundingkan belakangan. Tentang persoalan kedua, bahwasanya kau dan Yingying sudah cocok satu sama lain, siapa pula yang tidak tahu soal hubungan kalian berdua ini? Baiklah, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi? Hahahahaha!” Serentak orang-orang Sekte Matahari dan Bulan mengikuti sang ketua bergelak tawa sambil bersorak sorai dengan gembira. Linghu Chong berpaling ke arah Ren Yingying. Dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya. Setelah semua orang berhenti tertawa, barulah Linghu Chong melanjutkan perkataan dengan suara lantang, “Terima kasih banyak atas maksud baik Ketua yang telah mengajakku masuk ke dalam agama suci kalian, bahkan memberikan jabatan sedemikian tinggi dan terhormat. Namun, aku sudah terbiasa hidup bebas, tidak taat pada peraturan. Kalau aku masuk ke dalam agama suci kalian tentu akan banyak membuat runyam urusan penting Ketua. Oleh karena itu, setelah kupikirkan masak-masak, kukira lebih baik Ketua menarik kembali keputusan tadi.” Ren Woxing gusar luar biasa dan berkata bengis, “Jadi, kau menolak masuk ke dalam agama suci kami?” “Benar sekali!” sahut Linghu Chong. Jawaban ini diucapkannya dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun. Seketika semua orang tercengang mendengarnya. Sebagian dari mereka tampak berubah pucat membayangkan apa yang akan terjadi. Kembali Ren Woxing berkata, “Dalam tubuhmu terhimpun bermacam-macam hawa murni milik orang lain. Baru saja penyakitmu itu kambuh. Kelak, setiap setengah tahun atau tiga bulan sekali tentu akan kambuh lagi, bahkan lebih hebat daripada yang kau rasakan saat ini. Adapun cara untuk memusnahkan pergolakan hawa murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu, hanya aku seorang di seluruh dunia yang mengetahuinya.” Linghu Chong menjawab, “Mengenai hal ini Ketua sudah menyinggungnya ketika berada di Wisma Meizhuang di Kota Hangzhou dulu. Tadi aku memang sudah merasakan betapa sakitnya saat bermacam-macam hawa murni itu bergolak di dalam tubuh. Benar-benar sangat tersiksa dan rasanya lebih baik mati saja daripada menderita seperti tadi. Namun, sebagai seorang pengelana di dunia persilatan, persoalan hidup atau mati, senang atau susah adalah hal biasa. Seharusnya ini tidak perlu dipersoalkan lagi.” “Hm, lancang benar mulutmu!” sahut Ren Woxing. “Hari ini segenap Perguruan Henshan kalian sudah berada dalam genggamanku. Bisa saja aku memerintahkan tak seorang pun boleh turun gunung dalam keadaan hidup. Bagiku, hal ini semudah membalik telapak tanganku sendiri.” “Dengan kepandaian Ketua Ren yang mahasakti, aku percaya apapun yang Ketua katakan pasti bisa terlaksana,” sahut Linghu Chong tegas. “Namun demikian, meskipun Perguruan Henshan kami terdiri dari kaum wanita secara keseluruhan, menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Ketua hendak membunuh kami semua, biarlah kita berhadapan lebih dulu. Sampai napas penghabisan Perguruan Henshan tetap pantang menyerah.” Segera Yiqing mengangkat tangan sebagai isyarat. Serentak murid-murid Henshan yang lain langsung berbaris di belakang Linghu Chong. “Kita semua hanya mematuhi perintah Ketua Linghu,” seru Yiqing. “Mati pun kami tidak gentar.” “Benar, sampai mati tetap pantang menyerah!” sahut para murid lainnya bersama-sama. Zheng E lantas berteriak, “Meskipun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kami hanya sedikit, ditambah lagi kami juga sudah masuk perangkap, kami tetap tidak takut. Biarlah dunia persilatan mengetahui bagaimana Perguruan Henshan menghadapi musuh tanpa gentar. Meskipun tertumpas habis, paling tidak kami telah meninggalkan nama yang harum.” Ren Woxing menjadi gusar mendengar sindiran ini. Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak, kemudian berseru, “Jika aku membunuh kalian hari ini, tentu aku akan dituduh telah menjebak dan mencelakai kalian secara licik. Baiklah, Linghu Chong, kau boleh memimpin anak buahmu pulang ke Gunung Henshan. Satu bulan lagi aku pasti akan akan mendatangi kalian secara langsung. Apabila saat itu tiba, maka seorang pun tidak akan kuampuni. Kalau sampai di atas Gunung Henshan masih tersisa seekor ayam atau burung, anggap saja aku ini orang yang tidak becus!” Serentak orang-orang Sekte Matahari dan Bulan bersorak menanggapi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Bunuh habis semua orang Perguruan Henshan. Bantai habis semua ayam dan burung tanpa kecuali!” Dengan kekuatan dan kebesaran Sekte Matahari dan Bulan saat ini, menyerbu Puncak Jianxing hanyalah persoalan mudah. Tidak peduli bagaimanapun persiapan dan pertahanan Perguruan Henshan kelak, semuanya pasti dapat dibasmi habis oleh sekte besar tersebut. Sejak dahulu kelima perguruan pedang telah bersatu membentuk Serikat Pedang Lima Gunung untuk menghadapi Sekte Matahari dan Bulan yang mereka sebut sebagai Sekte Iblis itu. Kelima perguruan selalu bahu-membahu dan saling membantu. Jika salah satu mendapat kesulitan, maka keempat perguruan yang lain segera datang memberikan bantuan. Dalam seratus tahun terakhir ini permusuhan dengan Sekte Matahari dan Bulan berjalan seimbang, tidak ada yang kalah juga tidak ada yang menang. Kini, dari kelima perguruaan hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang masih berdiri tegak, tentu saja sulit melawan kekuatan Sekte Matahari dan Bulan. Mengenai hal ini jelas disadari oleh setiap murid Henshan. Ancaman Ren Woxing hendak membabat habis orang-orang Henshan, bahkan seekor ayam pun tidak akan diampuni jelas bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, di dalam benak Ren Woxing sebenarnya ada maksud dan tujuan lain. Ia berpikir meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat lihai, namun seorang diri mana mungkin sanggup terus bertahan? Yang justru menjadi pertimbangan Ren Woxing sebenarnya adalah Perguruan Shaolin dan Wudang. Menurut perhitungannya, setelah Linghu Chong pulang ke Gunung Henshan, tentu ia akan meminta bantuan kepada dua perguruan besar itu, yang pastinya akan mengirimkan jago-jago pilihan untuk membantu. Dalam keadaan demikian Ren Woxing justru tidak langsung menyerang ke Gunung Henshan, melainkan secara mendadak ia berganti haluan menyerbu Perguruan Wudang. Ia juga akan memasang tiga perangkap di antara jalur Gunung Shaoshi menuju Gunung Wudang. Jarak antara kedua gunung tersebut hanya beberapa puluh kilo saja. Apabila Perguruan Wudang menderita kesulitan, tentu Biara Shaolin yang akan dimintai bantuan. Padahal, saat itu sebagian jago pilihan dari Shaolin telah dikirim ke Henshan, maka sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Wudang. Dalam keadaan demikian pihak Sekte Matahari dan Bulan akan memutar haluan untuk menyerbu Gunung Shaoshi lebih dulu dan membakar habis Biara Shaolin. Setelah itu, perangkap yang telah dipasang di tengah jalan serentak dijalankan untuk memotong barisan musuh. Dengan digempur dari depan dan belakang, tentu para biarawan Shaolin yang hendak menolong Perguruan Wudang akan binasa seluruhnya. Setelah semuanya berjalan, barulah Gunung Wudang benar-benar dikepung, namun tidak langsung diserang. Ia sengaja menunggu jago-jago Shaolin dan Wudang yang sedang berkumpul di Henshan menerima berita buruk dan lekas-lekas berangkat ke Gunung Wudang. Perjalanan dari Henshan menuju Wudang menempuh jarak ribuan kilo tentu akan sangat melelahkan mereka. Dalam keadaan letih tersebut, mereka pun disergap oleh orang-orang sekte di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Setelah para jago itu ditumpas, maka menyerang markas Wudang dan Henshan bisa dikatakan hanyalah persoalan mudah. Betapa tajam otak Ren Woxing yang penuh tipu muslihat ini sungguh jarang terdapat di dunia persilatan. Dalam sekejap saja ia sudah mengatur siasat cemerlang untuk menumpas Perguruan Shaolin dan Wudang, dua perguruan terbesar saat itu. Maka, penolakan Linghu Chong terhadap tawarannya meskipun menimbulkan perasaan malu di hadapan anak buah sendiri ternyata ada manfaaatnya juga. Karena kejadian ini telah membuat Sekte Matahari dan Bulan memiliki alasan untuk menyerang Gunung Henshan sekaligus menghancurkan Perguruan Shaolin dan Wudang dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian semboyan “merajai dunia persilatan untuk selamanya” akan segera terwujud satu bulan yang akan datang. Sementara itu, Linghu Chong berpaling kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut denganku?” Sejak tadi kedua mata Ren Yingying sudah berkaca-kaca. Tak mampu menahan perasaan lagi, air matanya pun jatuh bercucuran di pipi. Gadis itu menjawab, “Jika aku ikut denganmu ke Gunung Henshan, itu berarti aku tidak berbakti kepada orang tua. Namun, jika aku mengingkari dirimu, itu berarti aku tidak setia. Bakti dan kesetiaan sukar diraih bersama. Kakak Chong, Kakak Chong, mulai hari ini janganlah kau memikirkan diriku lagi, karena ….” “Karena apa?” tanya Linghu Chong. “Karena hidupmu tidak akan lama lagi,” jawab Ren Yingying. “Jika kau mati, maka aku pun tidak mau hidup lebih lama sehari saja darimu.” Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Ayahmu sudah merestui pernikahan kita. Beliau seorang pemimpin sekte besar yang mahabijaksana, yang merajai dunia persilatan, mana mungkin tidak menepati ucapannya sendiri? Bagaimana kalau sekarang juga kita mengadakan upacara menyembah langit dan bumi, sehingga resmi menjadi suami-istri?” Ren Yingying tercengang. Meskipun ia sudah hafal watak Linghu Chong sebagai pemuda petualang yang berani berkata berani berbuat, namun tidak pernah menyangka bahwa kekasihnya itu akan bicara sedemikian terus terang di hadapan banyak orang. Seketika wajahnya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Bagaimana … bagaimana kita bisa melakukannya?” Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Kalau begitu biarlah kita berpisah sekarang saja.” Ia sendiri memahami isi hati Ren Yingying. Pada saat dirinya terbunuh oleh serangan Ren Woxing ke Gunung Henshan kelak, tentu si nona akan ikut bunuh diri mengikuti ke alam sana. Hal ini sudah pasti akan terjadi begitu saja dan sukar untuk dicegah. Namun, kalau Ren Yingying mau meninggalkan adat istiadat dan bersedia menikah dengannya di Puncak Menyongsong Mentari hari ini juga, dengan demikian mereka berdua dapat menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru di Gunung Henshan. Meskipun sebulan kemudian mereka tewas oleh serangan Sekte Matahari dan Bulan, namun rasanya tidak ada penyesalan di dalam hati. Namun demikian, hal ini terlalu luar biasa dan menyimpang dari tradisi umum. Linghu Chong memang tidak peduli dengan nama baiknya, namun Ren Yingying yang sangat pemalu sudah pasti tidak bersedia melaksanakannya. Jika si nona sampai menuruti ajakan tersebut tentu ia akan menanggung nama buruk sebagai seorang putri yang durhaka dan tidak berbakti kepada orang tua. Karena berpikiran demikian, Linghu Chong pun tertawa. Kemudian ia memberi hormat kepada Ren Woxing, Xiang Wentian, dan para tetua sekte di tempat itu sambil berkata, “Linghu Chong akan menyambut kunjungan kalian di Puncak Jianxing dengan penuh penghormatan.” Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan melangkah pergi. “Tunggu dulu!” tiba-tiba Xiang Wentian berseru. “Ambilkan arak! Adik Linghu, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya. Mungkin kelak tidak ada kesempatan lagi.” “Bagus, bagus!” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Kakak Xiang memang kawan sejati, benar-benar memahami kegemaranku!” Kedatangan Sekte Matahari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah diatur dengan rapi, termasuk juga membawa segala macam perbekalan yang dianggap perlu. Maka, begitu Xiang Wentian mengajak Linghu Chong minum, segera anak buahnya mengusung beberapa guci arak ke hadapannya. Begitu tutup guci dibuka, isinya pun lantas dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak bicara Xiang Wentian dan Linghu Chong saling bersulang dan mengadu mangkuk, lalu sama-sama menghabiskan isinya ke dalam mulut. Tiba-tiba di antara banyak orang, tampil ke muka seorang tua bertubuh cebol gemuk. Ia tidak lain adalah Lao Touzi, yang segera berseru, “Tuan Muda Linghu, budi kebaikanmu dahulu tidak pernah kulupakan seumur hidup. Izinkan aku bersulang satu mangkuk denganmu.” Usai berkata demikian ia lantas mengisi dua mangkuk dan menyerahkan salah satunya kepada Linghu Chong. Setelah bersulang, keduanya pun menghabiskan isi mangkuk masing-masing. Padahal, Lao Touzi hanyalah seorang jago silat biasa yang berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Kedudukannya sudah tentu tidak bisa disejajarkan dengan Xiang Wentian. Begitu Linghu Chong dengan tegas menolak masuk ke dalam sekte, maka secara terang-terangan pemuda itu telah memusuhi Ren Woxing pula. Namun kini, seorang Lao Touzi ternyata berani menyuguhkan arak kepada Linghu Chong, pertanda ia juga berani melawan kehendak Ren Woxing. Bukan mustahil sebentar lagi ia akan dihukum mati dan jiwanya pun melayang. Namun demikian, ia ternyata lebih mengutamakan rasa setia kawan daripada nyawa sendiri, jelas tidak lagi memikirkan bahaya yang sebentar lagi bisa datang menimpa. Melihat keberanian Lao Touzi itu, diam-diam para jago lainnya merasa kagum. Maka, Zu Qianqiu, Ji Wushi, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain satu per satu maju pula ke depan untuk bersulang dengan Linghu Chong. Sama sekali Linghu Chong tidak menolak setiap suguhan mereka. Setiap mangkuk yang datang selalu ia minum isinya sampai habis sehingga lama-lama berjumlah puluhan mangkuk. Namun, para jago yang ingin bersulang dengannya itu masih saja berbaris tiada putus-putusnya. Sungguh terharu perasaan Linghu Chong melihat betapa mereka sangat menghargai dirinya. Ia berpikir, “Begini banyak kawan-kawan yang menghormatiku, sungguh tidak sia-sia aku hidup di dunia ini. Namun, kenapa aku harus membunuh mereka di medan perang kelak?” Segera ia pun mengangkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang, “Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian! Sayang sekali kekuatanku terbatas. Hari ini aku tidak sanggup minum lebih banyak lagi. Biarlah lain hari jika kawan-kawan ikut menyerbu ke Puncak Jianxing, aku akan menunggu kalian di kaki gunung dengan arak-arak enak. Di sanalah kita bisa minum sepuas-puasnya, dan setelah itu baru kita bertempur mati-matian!” Usai berkata, ia lantas meneguk habis isi mangkuk terakhirnya itu. “Ketua Linghu sungguh seorang terbuka yang suka berterus terang!” seru para jago itu bersamaan. “Benar,” sahut seseorang menambahkan. “Kalau kita sudah kenyang minum sampai mabuk, barulah kita bertempur secara serabutan. Ini pasti menarik!” Linghu Chong lantas membuang mangkuknya. Dengan berjalan sempoyongan ia pun turun ke bawah gunung diikuti Yihe, Yiqing, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya. Pada saat para jago silat itu sedang minum arak bersama Linghu Chong, ternyata Ren Woxing hanya tersenyum-senyum tanpa bicara. Meskipun ia agak tersinggung, namun otaknya sedang berputar menyusun rencana matang untuk menggempur Perguruan Shaolin dan Wudang satu bulan lagi. Terutama pula ia memikirkan bagaimana caranya harus pura-pura menyerang Gunung Henshan untuk memancing pihak Shaolin dan Wudang mengerahkan bala bantuan. Ia berpikir rencananya itu harus diatur sedemikian rapih sehingga tidak menimbulkan rasa curiga pihak lawan yang juga tidak kalah cerdiknya itu. Maka, ketika Linghu Chong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, rencana dalam benaknya juga sudah selesai disusun, hanya tinggal menunggu pelaksanaannya saja. Selain itu, ia juga berpikir, “Kawanan bangsat ini berani bersulang dengan Linghu Chong di hadapanku. Perbuatan mereka harus diganjar hukuman yang setimpal. Biarlah ini kucatat sebagai hutang, karena aku masih membutuhkan tenaga mereka. Kelak jika Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan sudah kutumpas habis, maka orang-orang yang bersulang dengan Linghu Chong itu tinggal menunggu nasib saja.” Tiba-tiba terdengar Xiang Wentian berseru, “Kawan-kawan sekalian, dengarkanlah aku! Bahwasanya Ketua Suci sebenarnya sudah mengetahui betapa bodohnya Linghu Chong yang tidak mengetahui maksud baik Beliau. Namun, Ketua Suci masih mencoba untuk membujuknya dengan ramah. Meskipun Ketua Suci berjiwa besar dan menyukai pemuda berbakat, namun sesungguhnya Beliau masih menyimpan suatu maksud yang mendalam, yang tidak bisa dipahami oleh orang kasar semacam Linghu Chong. Hari ini, kita telah menumpas Perguruan Songshan, Taishan, Huashan, dan Hengshan tanpa susah payah. Untuk selanjutnya, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan lebih termasyhur, lebih berjaya, dan lebih ditakuti.” “Benar! Hidup Ketua Suci! Semoga panjang umur dan merajai dunia persilatan selamanya!” teriak banyak orang dengan suara bergemuruh. Setelah suara ramai orang-orang itu reda, Xiang Wentian melanjutkan, “Di dunia persilatan sekarang ini tinggal Perguruan Shaolin dan Wudang saja yang masih menjadi ancaman bagi agama suci kita. Untuk ini, Ketua Suci sengaja mengatur siasat bagus, dan pilihannya itu jatuh kepada Linghu Chong. Melalui bocah itu, kita akan menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas Perguruan Wudang. Perhitungan Ketua sungguh mahajitu, rencananya diatur sangat rapih. Beliau sudah menduga Linghu Chong pasti menolak masuk ke dalam agama suci kita dan ternyata itu benar-benar terjadi. Bocah itu telah menolak bujukan Ketua Suci. Mengenai kita bersulang dengan Linghu Chong tadi, sebenarnya itu juga merupakan salah satu siasat Ketua Suci.” “Oh, ternyata begitu!” seru banyak orang. Mereka lalu beramai-ramai berteriak lagi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua Suci panjang umur seribu tahun, merajai dunia persilatan selamanya!” Xiang Wentian sudah hidup puluhan tahun bersama Ren Woxing, sehingga cukup mengenal kepribadian sang ketua tersebut. Karena terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir panjang ia telah bersulang arak perpisahan dengan Linghu Chong, dan hal ini tentu tidak disukai oleh Ren Woxing. Mengingat hubungan baiknya dengan sang ketua, maka hukuman tidak mungkin jatuh kepadanya. Tak disangka, orang-orang seperti Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan sebagainya juga ikut-ikutan bersulang dengan Linghu Chong. Jelas perbuatan mereka itu akan mendatangkan bencana bagi jiwa mereka sendiri. Maka itu, ia lantas mengarang suatu rangkaian kata sanjung puji untuk menutupi kejadian tadi. Ia berharap dengan ucapannya itu bisa membuat Ren Woxing tidak sampai kehilangan muka, sementara Lao Touzi dan yang lain juga tidak sampai kehilangan nyawa. Dengan ucapan Xiang Wentian tadi, perbuatan mereka bersulang dengan Linghu Chong justru terkesan mengangkat derajat kepemimpinan Ren Woxing. Mendengar itu, Ren Woxing sangat senang hatinya. Diam-diam ia berpikir, “Saudara Xiang sudah hidup bersamaku selama puluhan tahun. Tidak sia-sia aku mengangkatnya sebagai pelindung kiri agama, karena ia memang sangat mengerti isi hatiku. Ah, meskipun ia tahu aku hendak menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas habis Perguruan Wudang, namun rincian siasat yang akan kulaksanakan sama sekali tidak ia ketahui. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, dan tidak seorang pun yang akan kuberi tahu secara terperinci.” Sejenak kemudian terdengar Shangguan Yun berkata, “Ketua Suci mahabijaksana. Segala urusan besar di dunia ini sudah lama berada dalam perhitungan Beliau. Apa pun yang Beliau katakan pasti tidak salah. Apa pun yang Beliau perintahkan pasti segera kita laksanakan.” Bao Dachu menambahkan, “Benar sekali! Asalkan Ketua Suci mengacungkan salah satu jari kepada kita, pasti kita akan segera bertindak. Apa pun perintah Beliau pasti kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sekalipun harus menyeberangi lautan api, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga kita tak akan menolak.” Qin Weibang menyahut, “Demi Ketua Suci, mati seribu kali jauh lebih baik daripada hidup tanpa tujuan.” Seorang lagi berkata, “Saudara-saudara sama-sama mengetahui, beberapa hari terakhir ini telah menjadi hari yang paling indah dalam hidup kita, karena dapat menyaksikan secara langsung wajah emas Ketua Suci. Dengan melihat wajah Ketua Suci yang bercahaya membuat kita bertambah pintar dan bertambah kuat, jauh lebih baik daripada berlatih selama sepuluh tahun.” “Ketua Suci menerangi seluruh jagad, membuat agama suci kita semakin dekat di hati rakyat jelata. Kebaikan hati Ketua Suci bagaikan hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan bahan makanan untuk umat manusia. Semua orang berbahagia dan bersyukur untuk Ketua Suci.” “Para kesatria dari zaman dulu hingga sekarang, para nabi dan orang suci sekalipun tidak ada yang mampu menandingi kebesaran Ketua Suci. Kong Fuzi memang bijaksana, tapi mana mampu ia menghadapi ilmu silat Ketua Suci yang perkasa. Guan Yu memang memiliki tenaga malaikat, namun Ketua Suci jauh lebih cerdas darinya. Zhuge Liang ahli dalam siasat perang, namun tidak mungkin ia mampu menghadapi pedang Ketua Suci yang mahasakti.” Serentak segenap anggota sekte berteriak, “Kong Fuzi, Guan Yu, Zhuge Liang, tidak seorang pun dapat dibandingkan dengan Ketua Suci.” Bao Dachu berkata, “Setelah agama suci kita merajai dunia persilatan, maka kita bersihkan semua patung Kong Fuzi dan Guan Yu dari setiap kuil. Kita dirikan patung Ketua Suci menggantikan tempat mereka.” Shangguan Yun berseru lantang, “Semoga Ketua Suci panjang umur, berjaya selalu. Anak-anak kita, cucu-cucu kita sampai delapan belas turunan, semuanya akan mengabdi dengan setia kepada Ketua Suci.” Serentak segenap anggota sekte bersorak gemuruh, “Hidup Ketua Suci, semoga Ketua Suci panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!” Ren Woxing mendengar sanjung puji anak buahnya itu dengan perasaan puas dan senang. Meskipun ucapan mereka terlalu berlebihan dan tidak masuk akal, namun Ren Woxing berusaha mencari pembenaran untuknya. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang mereka katakan tidak salah. Ilmu silat Zhuge Liang jauh di bawahku. Apalagi kampanye penaklukannya juga tidak semuanya membawa hasil, mana mungkin ia bisa dibandingkan denganku? Guan Yu pernah membunuh enam jenderal musuh. Ia memang perkasa, namun mana mungkin bisa menghindari Jurus Penyedot Bintang andalanku? Kong Fuzi selama hidupnya hanya memiliki murid tidak sampai tiga ribu orang, sementara aku memiliki anak buah sebanyak tiga puluh ribu lebih. Ia memimpin muridnya berlari ke segala arah menghindari banjir dan kekurangan pangan tanpa bisa berbuat apa-apa, sedangkan aku memimpin puluhan ribu anak buahku menjelajahi jagad raya ke mana aku suka tanpa ada masalah sedikit pun. Kepandaian dan kebijaksanaan Kong Fuzi tidak bisa menandingi aku.” Sorak sorai para anggota sekte masih terus bergemuruh, menggema di lembah pegunungan itu. Langit terasa ikut bergetar, bumi terasa ikut berguncang. Tidak hanya yang berada di Puncak Menyongsong Mentari saja yang berteriak-teriak, bahkan para anggota yang berjaga di pos-pos penjagaan di segenap penjuru pegunungan juga ikut bersorak ramai. Dengan wajah berseri-seri Ren Woxing lantas bangkit dari tempat duduknya. Melihat sang ketua telah berdiri, semua orang serentak berlutut dan memberikan sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Puncak Menyongsong Mentari itu berubah menjadi hening dan sunyi senyap. Sinar matahari pagi menerpa wajah dan sekujur badan Ren Woxing. Ia tampak sangat berwibawa bagaikan seorang dewa turun dari kahyangan. Ren Woxing lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Jika aku bisa hidup selamanya seperti hari ….” sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia mencoba mengerahkan tenaga dan mengatur napas untuk mengucapkan kata “hari ini”, namun otot dada terasa kejang dan mulut pun sukar beruara. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke dalam kerongkongan. Akan tetapi, kepalanya lantas pusing dan mata pun berkunang-kunang. Cahaya matahari pagi itu membuat pandangannya terasa sangat silau. Sementara itu, Linghu Chong turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk. Sampai lewat tengah malam barulah ia sadar kembali. Begitu bangun ternyata dirinya sudah berada di tengah ladang luas, sementara para murid Perguruan Henshan tampak duduk di kejauhan untuk menjaganya. Kepalanya terasa sangat pusing. Begitu teringat untuk selanjutnya mungkin tiada harapan lagi berjumpa dengan Ren Yingying, seketika hatinya merasa sangat berduka. Sesampainya di kaki gunung, rombongan Linghu Chong bertemu Biksu Bujie dan istrinya, serta Yilin dan Tian Boguang. Bersama-sama mereka pun berjalan menuju ke Gunung Henshan. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di Puncak Jianxing dengan selamat. Hal pertama yang mereka lakukan adalah bersembahyang di depan altar ketiga biksuni sepuh karena kematian mereka telah terbayar lunas. Biksuni Dingjing tewas dikeroyok anak buah Zuo Lengchan, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dibunuh secara licik oleh Yue Buqun. Dalam waktu singkat entah siang entah malam, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan datang menyerbu Gunung Henshan. Setelah pertempuran berakhir, tentu Perguruan Henshan akan musnah selamanya. Karena kekalahan sudah jelas di depan mata, hal ini membuat murid-murid Henshan menjadi tidak khawatir lagi. Mereka menganggap tidak ada gunanya berlatih lebih keras karena masing-masing merasa tetap tidak mungkin bisa memenangkan pertempuran. Maka, murid-murid Henshan itu pun menjadi malas berlatih ilmu pedang tidak seperti biasanya. Sebagian dari mereka yang taat kepada agama tetap menjalankan sembahyang dengan baik. Sementara itu, mereka yang putus asa dan beriman tipis lebih suka bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan tersebut. Biasanya tata tertib di Henshan sangat ketat, namun kali ini mereka benar-benar merasa santai dan mendapat kelonggaran. Beberapa hari kemudian, di Puncak Jianxing tiba-tiba datang sepuluh orang biksu yang dipimpin langsung oleh ketua Biara Shaolin, Mahabiksu Fangzheng. Saat itu Linghu Chong sedang asyik minum arak seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi di biara induk. Begitu menerima laporan kedatangan Mahabiksu Fangzheng, seketika ia merasa terkejut bercampur senang. Lekas-lekas ia pun berlari menyambut keluar. Mahabiksu Fangzheng tersenyum melihat penampilan Linghu Chong dan berkata, “Pada umumnya seseorang yang tergopoh-gopoh menyambut tamu masih tetap mempunyai waktu untuk memakai sepatu. Namun, begitu mendengar kedatangan kami, Ketua Linghu sampai lupa memakai sepatu. Penghormatan Ketua Linghu kepada kami terlalu berlebihan.” Linghu Chong membungkuk dan berkata, “Begitu mendengar Kepala Biara datang, Linghu Chong selalu terlambat dalam memberi penyambutan. Sungguh, saya merasa sangat tidak enak hati.” Ia kemudian memberi hormat pula kepada seorang biksu tua di belakang Fangzheng, dan berkata, “Rupanya Biksu Fangsheng juga ikut serta.” Fangsheng hanya tersenyum dan membalas hormat. Linghu Chong lantas memberi hormat kepada delapan biksu lainnya yang rata-rata sudah berusia tua dan berjanggut putih. Begitu memperkenalkan diri, ternyata mereka juga berasal dari angkatan “Fang”, jelas satu golongan dengan Fangzheng dan Fangsheng. Linghu Chong lantas mempersilakan kesepuluh biksu itu masuk ke dalam biara induk dan duduk di atas kasur samadi. Biara ini dulunya merupakan tempat sembahyang Biksuni Dingxian yang selalu terawat dengan baik tanpa debu sedikit pun. Namun, sejak Linghu Chong tinggal di situ, keadaannya menjadi kotor dan berantakan. Tempat ibadah itu kini penuh dengan guci dan cawan arak berserakan. Dengan wajah merah padam Linghu Chong berkata, “Saya sungguh ceroboh telah membuat tempat suci ini menjadi sedemikian kotor. Mohon para Biksu yang mulia jangan marah.” “Kedatangan kami kali ini adalah untuk membahas urusan penting, maka itu Ketua Linghu tidak perlu segan-segan,” jawab Fangzheng sambil tersenyum. “Konon kabarnya Ketua Linghu telah menolak kedudukan sebagai wakil ketua Sekte Matahari dan Bulan demi membela Perguruan Henshan. Bahkan, Ketua Linghu juga tidak memikirkan diri sendiri dan rela berpisah dengan Nona Ren. Padahal, semua orang telah mengetahui betapa kalian adalah pasangan serasi. Dalam hal ini, segenap kawan dari golongan putih sangat kagum terhadap sikap Ketua Linghu.” Seketika Linghu Chong tercengang dan berpikir, “Padahal persoalan ini sudah kurahasiakan, bahkan aku juga melarang segenap murid Henshan untuk menceritakan peristiwa ini dengan maksud untuk mencegah datangnya bala bantuan dari Perguruan Shaolin dan Wudang. Tapi Mahabiksu Fangzheng ternyata telah mengetahui semuanya.” Segera ia pun menjawab, “Kepala Biara terlalu memuji, saya menjadi malu. Tentang hubungan saya dengan Ketua Ren memang banyak hal-hal yang sukar dijelaskan. Selain itu, saya juga terpaksa harus mengingkari kebaikan Nona Ren. Perbuatanku yang tidak tahu diri ini malah mendapat pujian dari Kepala Biara, dan bukannya dicela. Sungguh-sungguh saya tidak berani menerimanya.” Fangzheng berkata, “Menurut kabar yang tersiar, dalam waktu dekat Ketua Ren akan memimpin langsung segenap anak buahnya datang menyerbu ke Gunung Henshan ini. Kini Perguruan Lima Gunung telah runtuh, dan yang tersisa dari Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan hanyalah nama belaka. Tinggal Perguruan Henshan saja yang masih tegak berdiri, namun tidak mendatangkan bantuan dari mana pun. Ketua Linghu juga tidak mengirim orang untuk menyampaikan berita kepada kami. Jangan-jangan Perguruan Shaolin kami hanya dianggap sebagai kumpulan orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setia kawan terhadap sesama kaum persilatan, bukan begitu?” “Sama sekali kami tidak berani berpikiran demikian,” ujar Linghu Chong cepat. “Masalahnya segala urusan yang timbul saat ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah salah bergaul dengan gembong-gembong Sekte Iblis. Menurut pendapatku, barangsiapa berbuat maka biarlah ia sendiri yang bertanggung jawab. Membuat susah segenap anggota Perguruan Henshan saja sudah membuatku tidak enak, apalagi sampai menyusahkan Kepala Biara dan Pendeta Chongxu. Jika Perguruan Shaolin dan Wudang mengirimkan bala bantuan dan sampai jatuh banyak korban di dalamnya, tentu dosaku akan semakin besar. Dosa ini tidak akan terbalas meskipun harus mati sepuluh ribu kali.” “Ucapan Ketua Linghu ini kurang tepat,” ujar Fangzheng dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun yang lalu pihak Sekte Iblis ingin menumpas Perguruan Shaolin, Wudang, dan Serikat Pedang Lima Gunung. Saat itu bahkan kami sendiri belum lahir. Jadi, ini sama sekali bukan kesalahan pribadi Ketua Linghu saja.” Linghu Chong mengangguk dan menjawab, “Benar. Mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya golongan putih dan golongan hitam tidak mungkin hidup bersama. Aliran sesat dan aliran lurus kita sudah terlibat pertempuran sekian lamanya, sehingga permusuhan di antara kedua pihak sangat mendalam. Menurut pendapatku yang bodoh ini, kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat dihentikan. Ternyata meskipun hubunganku dengan Ketua Ren sedemikian baiknya, tetap saja pada akhirnya kami harus bertemu di medan perang.” “Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan dapat dihentikan, hal ini sebenarnya tidak salah,” ujar Fangzheng. “Pertarungan antara anggota aliran lurus kita melawan para anggota Sekte Matahari dan Bulan sebenarnya juga tidak memiliki alasan yang kuat. Masalahnya hanyalah pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai dunia persilatan, sehingga masing-masing pun ingin saling menumpas pihak lawan. Tempo hari Pendeta Chongxu dan saya, beserta Ketua Linghu telah berbicara di Kuil Gantung untuk membahas niat Ketua Zuo dari Songshan yang hendak melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Kita sama-sama mengkhawatirkan ambisinya yang besar itu, ingin merajai dunia persilatan.” Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, Fangzheng melanjutkan, “Konon Sekte Matahari dan Bulan memiliki semboyan yang menyatakan, Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya’. Kalau Ketua Ren sudah punya niat seperti itu, tentu tidak akan pernah ada kedamaian lagi di dunia persilatan. Dalam dunia persilatan terdapat berbagai macam perguruan, aliran, partai, ataupun perkumpulan, yang masing-masing memiliki keanekaragaman. Menyatukan itu semua di bawah satu bendera jelas bertentangan dengan hukum alam.” Linghu Chong menjawab, “Ucapan Kepala Biara sangat benar.” “Ketua Ren menyatakan dalam bulan ini ia akan menyapu bersih seluruh penghuni Gunung Henshan, bahkan ayam dan burung juga tidak diberi ampun. Sekali ia berkata demikian, sudah pasti ia laksanakan pula. Oleh karena itu, sekarang ini para jago terbaik dari Perguruan Shaolin, Wudang, Kunlun, Emei, dan Kongtong telah berkumpul di kaki gunung Henshan ini.” “Hah, benarkah demikian?” seru Linghu Chong terkejut sampai melonjak dari duduknya. “Para tokoh terkemuka dari berbagai perguruan telah datang membantu, namun sedikit pun saya tidak tahu? Aih, sudah sepantasnya saya yang tidak becus ini mendapat hukuman.” Rupanya ancaman serangan dari Ren Woxing itu bukannya membuat Perguruan Henshan bersiaga, tetapi justru menyerahkan diri pada nasib. Linghu Chong telah menarik orang-orangnya yang berjaga dan meronda di segenap penjuru pegunungan, untuk kemudian memberi mereka kebebasan menikmati sisa waktu. Akibatnya, ia sama sekali tidak mengetahui kalau bala bantuan dari berbagai perguruan golongan putih telah datang dan berkumpul di kaki gunung. Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Para biksu yang mulia, silakan beristirahat lebih dulu, saya akan memimpin para murid untuk menyambut para tamu agung tersebut.” Fangzheng mengangguk dan menjawab, “Segenap perguruan aliran lurus ibarat berada dalam satu kapal yang sama. Bersama-sama kita bahu membahu menghadapi ombak dan badai yang datang menerjang. Tidak perlu terlalu banyak adat, kami sudah membawa perbekalan secukupnya.” “Baik,” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia lantas bertanya, “Kalau boleh tahu, kapan dan dari mana Kepala Biara mendengar kabar bahwa Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu Gunung Henshan?” “Seorang sesepuh telah mengirimkan surat kepada kami yang berisi kabar mengenai hal ini,” jawab Fangzheng. “Sesepuh?” sahut Linghu Chong menegas. Jelas-jelas ia tahu kedudukan Mahabiksu Fangzheng di dunia persilatan sudah sangat tinggi. Lantas, siapa pula yang lebih tua tingkatannya daripada dia? Dengan tersenyum Fangzheng menjawab, “Sesepuh ini adalah tokoh terkenal dari Perguruan Huashan. Beliau pernah mengajarkan ilmu pedang mahasakti kepada Ketua Linghu.” “Ah, ternyata Kakek Guru Feng!” seru Linghu Chong senang. “Benar sekali, memang Sesepuh Feng Qingyang orangnya,” kata Fangzheng. “Sesepuh Feng telah mengirim enam orang sobat ke Biara Shaolin untuk memberitahukan tentang apa yang dialami Ketua Linghu di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu agak bertele-tele dan tidak jelas. Namun, setelah mendengarkan dengan sabar selama dua jam, akhirnya saya dapat memahaminya dengan jelas.” “Enam Dewa Lembah Persik, benarkah mereka?” tanya Linghu Chong. “Mereka memang Enam Dewa Lembah Persik,” sahut Fangzheng tersenyum. Linghu Chong berkata, “Ketika berada di Gunung Huashan, sebenarnya saya ingin menyampaikan salam hormat kepada Kakek Guru Feng. Namun, mendadak muncul berbagai macam urusan. Sampai meninggalkan gunung pun saya tetap tidak sempat berkunjung kepada Beliau. Tak disangka, ternyata Beliau mengetahui segala hal yang terjadi di sana.” “Sesepuh Feng memang tidak suka menonjolkan diri. Beliau bagaikan naga sakti dari kahyangan yang terihat kepalanya tapi tak terlihat ekornya. Beliau bisa melihat kita sementara kita tidak mengetahuinya,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Meskipun Beliau mengasingkan diri di lembah pegunungan, namun begitu Perguruan Huashan tertimpa musibah, mana mungkin Beliau tinggal diam begitu saja? Pada saat itu sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik juga menyusul ke Gunung Huashan dan bermain-main di sana. Mereka lantas ditangkap dan disekap selama beberpa hari oleh Sesepuh Feng. Setelah jera, mereka akhirnya dapat disuruh pergi ke Biara Shaolin menyampaikan surat dari Beliau.” Linghu Chong pun merenung, “Rupanya Enam Dewa Lembah Persik ditawan beberapa hari oleh Kakek Guru Feng. Mereka suka menjaga gengsi, tidak mungkin mau menceritakan kejadian memalukan ini kepadaku. Bisa-bisa mereka justru membual telah menangkap Kakek Guru Feng segala. Biarlah nanti aku bicara melantur untuk memancing mereka sehingga menceritakan semuanya dengan lengkap.” Ia lantas bertanya, “Menurut isi surat tersebut, apakah ada perintah Kakek Guru Feng kepada saya?” “Sesepuh Feng dengan sangat rendah hati mengaku telah mendengar ancaman Sekte Matahari dan Bulan terhadap Perguruan Henshan. Oleh karena itu, Beliau sengaja mengirim kabar kepada saya. Sesepuh Feng mengatakan bahwa Ketua Linghu adalah murid kesayangan Beliau. Tindakan Ketua Linghu yang dengan tegas menolak ajakan Sekte Iblis itu sangat membuat hati Sesepuh Feng berkenan. Maka itu, Beliau pun menyuruh saya untuk menjaga Ketua Linghu dengan baik. Padahal ilmu silat Ketua Linghu sepuluh kali lebih hebat daripada saya. Beliau mengatakan menjaga’ segala, sungguh terlalu berlebihan.” “Tapi Kepala Biara telah menjaga diri saya bukan hanya sekali dua kali saja,” ujar Linghu Chong dengan membungkuk dan berterima kasih. “Ah, Ketua Linghu jangan mengolok-olok,” sahut Fangzheng. “Setelah mengetahui berita ini, meskipun Sesepuh Feng tidak memerintah juga saya tetap berangkat ke Gunung Henshan demi mengingat hubungan baik kedua perguruan dan persahabatan kita pula. Apalagi persoalan ini menyangkut hidup dan mati segenap kaum persilatan golongan putih. Apabila Perguruan Henshan benar-benar dimusnahkan oleh Sekte Matahari dan Bulan, mana mungkin Shaolin dan Wudang tidak mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami lantas menyebarkan kabar ini kepada berbagai aliran dan perguruan agar berkumpul di kaki Gunung Henshan. Kita bertempur mati-matian menghadapi Sekte Matahari dan Bulan di sini.” Sebenarnya Linghu Chong sudah putus asa sejak turun meninggalkan Puncak Menyongsong Mentari. Melihat betapa hebat kekuatan Sekte Matahari dan Bulan itu, jelas Perguruan Henshan tidak akan mampu melawan. Maka itu, ia hanya dapat menunggu hari kedatangan Ren Woxing untuk kemudian bersama segenap murid Perguruan Henshan melawan mati-matian sampai titik darah penghabisan. Murid-murid Henshan juga ada yang mengusulkan agar meminta bantuan kepada Perguruan Shaolin dan Wudang. Akan tetapi, Linghu Chong menganggap itu semua tidak ada gunanya, sebab kekuatan Shaolin dan Wudang juga terbatas. Karena hasil akhirnya sudah dapat ditebak, ia pun berpikir untuk apa ikut mengorbankan Perguruan Shaolin dan Wudang segala? Sebenarnya dalam lubuk hati Linghu Chong ada perasaan enggan bertempur melawan Ren Woxing dan Xiang Wentian. Namun, setelah harapan menikah dengan Ren Yingying telah musnah, tanpa terasa timbul pikirannya yang putus asa. Ia merasa hidup ini tiada gunanya lagi, bahkan lebih baik mati secepat-cepatnya. Kini begitu mengetahui kedatangan Mahabiksu Fangzheng adalah atas permintaan Feng Qingyang, seketika semangatnya bangkit kembali, meskipun dalam hati masih enggan untuk benar-benar bertempur melawan pihak Sekte Matahari dan Bulan. Mahabiksu Fangzheng melanjutkan, “Ketua Linghu, sebagai pengikut Sang Buddha kami wajib memiliki watak welas asih. Sesungguhnya kami juga bukan orang yang suka main kekerasan, dan kami pun berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan damai. Namun, kalau kita mengalah selangkah, maka Ketua Ren akan maju satu langkah, sehingga persoalan ini tidak akan menemukan titik terang. Ketua Ren sudah berniat membasmi kita secara habis-habisan, dan itu pasti akan dilakukannya, kecuali kalau kita mau menyembah kepadanya dengan menyanjung puji, Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan, Amitabha!’” Linghu Chong merasa geli mendengar ucapan Fangzheng yang bercampur aduk antara semboyan kaum Sekte Iblis dengan pujian Agama Buddha itu. Ia lantas menjawab dengan tertawa, “Benar sekali. Hanya mendengar sebutan Ketua Suci merajai dunia persilatan’ saja sudah membuat sekujur tubuh ini merinding. Saya kuat minum arak tiga puluh mangkuk tanpa berhenti. Tapi, begitu mendengar sanjung puji tersebut seketika saya menjadi mabuk kepayang dan mata berkunang-kunang.” “Sanjung puji anggota Sekte Iblis memang berlebihan dan sangat muluk-muluk,” ujar Fangzheng. Setelah terdiam sejenak ia lantas melanjutkan, “Diam-diam Sesepuh Feng telah melihat bagaimana Ketua Linghu menahan sakit luar biasa di bagian perut saat di Puncak Menyongsong Matahari kala itu. Beliau lantas menyuruh Enam Dewa Lembah Persik menyampaikan semacam rumus ilmu tenaga dalam mahatinggi kepada saya, untuk kemudian disampaikan kepada Ketua Linghu. Sungguh aneh, Enam Dewa Lembah Persik yang biasanya bertele-tele, ternyata bisa menyampaikan rumus tenaga dalam tersebut dengan sangat baik. Saya tidak bisa membayangkan entah bagaimana caranya Sesepuh Feng memaksa mereka menghafalkan itu semua. Maka itu, mohon Ketua Linghu masuk ke dalam agar saya dapat menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam tersebut.” Dengan penuh rasa hormat Linghu Chong lantas membawa Mahabiksu Fangzheng ke dalam sebuah kamar yang sunyi. Kini hanya mereka berdua yang berada dalam ruangan tersebut. Linghu Chong sendiri merasa seperti sedang berhadapan dengan Feng Qingyang secara langsung. Maka, dengan berlutut ia pun menyembah sambil berkata, “Budi baik Kakek Guru Feng kepada saya sungguh tak terukur besarnya.” Fangzheng tidak menolak penghormatan itu. Ia menjawab, “Sesepuh Feng menaruh harapan besar terhadap Ketua Linghu. Maka, hendaknya kau dapat melatih ilmu tenaga dalam ini dengan baik sesuai rumus yang saya sampaikan ini.” “Baik,” jawab Linghu Chong. “Saya berjanji akan mempelajari ilmu ini dengan sungguh-sungguh.” Fangzheng pun mulai menguraikan kalimat-kalimat rumus ilmu tenaga dalam tersebut kepada Linghu Chong. Ternyata rumusan ini tidak terlalu panjang, yaitu tidak sampai melewati seribu kata. Setelah selesai menguraikannya, Fangzheng meminta Linghu Chong menghafalkannya. Ia pun mengulangi uraiannya itu sampai lima kali, sehingga Linghu Chong benar-benar hafal di luar kepala. Mahabiksu Fangzheng lantas berkata, “Ketua Linghu telah menghafal semuanya dengan baik. Meskipun rumus ini tidak panjang, namun memiliki makna yang teramat luas dan mendalam, lain daripada yang lain. Kita adalah sahabat, maka itu jangan tersinggung jika saya berkata bahwa ilmu pedang Ketua Linghu memang sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu tenaga dalam sepertinya kurang sempurna.” “Saya hanya paham sedikit saja mengenai ilmu tenaga dalam,” jawab Linghu Chong. “Saya tidak tersinggung, justru ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari Kepala Biara.” Fangzheng berkata. “Meskipun intisari ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng ini agak berbeda dengan ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin, namun semua ilmu silat di dunia ini pada dasarnya berbeda-beda tapi tetap satu juga. Maka itu, apabila Ketua Linghu memang tidak keberatan, saya akan memberikan penjelasan seperlunya mengenai intisari ajaran Sesepuh Feng ini sesuai dengan pemahaman saya.” Linghu Chong menyadari kalau Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh papan atas di dunia persilatan. Mendapat petunjuk darinya sama saja seperti mendapatkan pelajaran langsung dari Feng Qingyang. Dalam hal ini Linghu Chong pun berpikir, “Kakek Guru Feng meminta Mahabiksu Fangzheng mewakilinya, tentu karena biksu agung ini memang memiliki tenaga dalam yang mahatinggi.” Berpikir demikian membuat dirinya tanpa ragu-ragu lantas menerima dengan baik tawaran Fangzheng itu seraya berkata, “Saya akan mendengarkan dengan penuh khidmat segala petunjuk dari Kepala Biara.” “Ah, jangan terlalu mengolok-olok seperti itu,” ujar Fangzheng. Ia lantas menyampaikan penjelasan terhadap rumus ilmu tenaga dalam itu secara terperinci, kalimat demi kalimat. Ia juga memberikan tambahan pelajaran mengenai ilmu pernapasan dan ilmu memindahkan tenaga, serta tata cara samadi yang baik. Semula Linghu Chong hanya menghafalkan rumus ilmu tenaga dalam tadi di luar kepala secara mati tanpa memahami maksudnya. Namun, setelah mendapat penjelasan secara terperinci dari Fangzheng barulah ia menyadari bahwa setiap kalimat dalam rumus tersebut mengandung bermacam-macam filsafat yang sangat luas. Ia sendiri seorang pemuda cerdas dan berbakat. Namun, intisari ilmu tenaga dalam itu ternyata cukup membuatnya memeras otak selama setengah hari. Untunglah Mahabiksu Fangzheng dengan sabar senantiasa mendampingi dan memberikan penjelasan secara terperinci sehingga membuat pemuda itu mendapatkan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah ia capai sebelumnya. Sambil menghela napas panjang Linghu Chong berkata, “Kepala Biara, selama bertahun-tahun saya malang melintang di dunia persilatan dengan gegabah, karena tidak menyadari kebodohan diri sendiri. Saya merasa sungguh malu saat memikirkan hal itu. Meskipun hidup saya tidak akan lama lagi karena serangan Ketua Ren, namun saya tetap bersyukur karena mendapatkan pelajaran berharga dari Kakek Guru Feng melalui Kepala Biara ini. Pepatah mengatakan lebih baik menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari daripada hidup selamanya dalam kegelapan.” “Menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari tentu tidak akan menyesal,” sahut Fangzheng membetulkan. “Benar sekali, maksud saya adalah seperti itu,” ujar Linghu Chong. “Saya meniru pepatah tadi dari mendiang Guru. Mendengarkan penjelasan dari Kepala Biara hari ini benar-benar membuat saya bagaikan seorang buta melihat cahaya. Meskipun tidak ada waktu lagi untuk melatihnya, saya tetap bersyukur.” Fangzheng berkata, “Bermacam-macam perguruan aliran lurus telah berkumpul di kaki Gunung Henshan ini. Apabila Sekte Matahari dan Bulan benar-benar menyerbu kemari, maka kita beramai-ramai menghadapinya dengan segenap tenaga. Rasanya belum tentu kita akan kalah. Maka dari itu, janganlah Ketua Linghu patah semangat. Ilmu tenaga dalam ini akan sempurna dalam beberapa tahun. Namun, Ketua Linghu harap melatihnya dengan tekun secara teratur sehari demi sehari. Sedikit demi sedikit tentu membawa kemajuan bagi Ketua Linghu. Dalam waktu singkat ini kita tidak mengalami suatu urusan, maka itu silakan Ketua Linghu mulai berlatih saja. Selagi saya datang mengusik tempatmu yang terhormat ini, marilah kita saling bertukar pikiran.” “Saya sungguh berterima kasih atas budi kebaikan Kepala Biara,” kata Linghu Chong. “Saat ini mungkin Saudara Chongxu juga sudah datang,” ujar Fangzheng. “Marilah kita keluar untuk melihatnya!” “Hah, ternyata Pendeta Chongxu juga datang secara pribadi?” sahut Linghu Chong sambil lekas-lekas berdiri. Keduanya lantas keluar kembali ke ruang utama tadi. Ternyata di ruang tersebut sudah menyala beberapa api lilin, jelas hari sudah mulai gelap. Tak disangka, sudah enam jam lamanya mereka berdua berada di dalam kamar samadi untuk mempelajari ilmu tenaga dalam tersebut. Tampak di ruangan utama itu duduk tiga orang pendeta Agama Tao sedang berbicara dengan Biksu Fangsheng. Salah seorang di antaranya tidak lain adalah Pendeta Chongxu sendiri. Melihat Fangzheng dan Linghu Chong keluar dari kamar samadi, dengan cepat Chongxu dan kedua rekannya bangkit memberi hormat. Linghu Chong langsung berlutut membalas hormat sambil berkata, “Jauh-jauh Pendeta Chongxu sudi datang membantu kesulitan yang dihadapi Perguruan Henshan. Saya dan segenap murid-murid Henshan sungguh sangat berterima kasih dan entah bagaimana bisa membalas budi baik Pendeta ini?” Lekas-lekas Chongxu membangunkan Linghu Chong dan berkata sambil tertawa, “Sudah cukup lama kami berada di sini. Begitu mengetahui Kepala Biara sedang mengajarkan ilmu tenaga dalam kepada Adik Linghu di kamar samadi, maka kami tidak berani mengganggu sama sekali. Ilmu tenaga dalam mahasakti yang Adik Linghu pelajari itu tentu bisa untuk membuat Ren Woxing terkejut setengah mati.” “Ilmu tenaga dalam ini terlalu luas dan mendalam. Dalam waktu singkat mana mungkin saya mampu memahaminya dengan baik?” jawab Linghu Chong. “Saya dengar para tokoh terkemuka dari Perguruan Emei, Kunlun, dan Kongtong juga hadir. Saya hendak turun gunung untuk menyambut mereka. Para sesepuh itu perlu diundang kemari untuk berunding bagaimana cara untuk menghadapi musuh. Bagaimana pendapat Pendeta atas hal ini?” Chongxu menjawab, “Mereka memang sudah datang, tapi sengaja bersembunyi di tempat rahasia agar tidak diketahui oleh mata-mata si iblis tua bermarga Ren itu. Kalau mereka beramai-ramai diundang kemari, mungkin keberadaan mereka akan diketahui musuh. Sewaktu datang ke sini pun kami bertiga juga dalam penyamaran. Bahkan, murid-murid Wudang juga tidak tahu tentang keberangkatan kami ini.” Linghu Chong langsung teringat pada pertemuan pertamanya dengan Pendeta Chongxu. Waktu itu sang pendeta menyamar sebagai kakek tua penunggang keledai, yang didampingi dua orang petani membawa sayur dan kayu bakar. Padahal, ketiganya adalah ahli pedang papan atas dalam Perguruan Wudang namun menyamar sebagai rakyat jelata. Kali ini Linghu Chong mengamati dengan seksama kedua pendeta yang mengiringi Chongxu. Ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang dulu menyamar sebagai pendamping ketua Perguruan Wudang itu pula. Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyapa, “Pendeta berdua sungguh mahir dalam menyamar. Kalau saja Pendeta Chongxu tidak menyinggungnya, tentu saya tetap tidak mengenali Pendeta berdua.” Dahulu kedua pendeta itu menyamar sebagai petani gunung. Yang lebih tua membawa kayu bakar, sedangkan yang lebih muda membawa sayur-mayur. Saat itu mereka terlihat kumal dan sakit-sakitan, namun kini tampak sehat dan bersih. Hanya sinar mata mereka saja yang masih dikenali oleh Linghu Chong. Chongxu lantas memperkenalkan kedua pendeta pendampingnya itu, “Yang lebih tua ini adalah adik seperguruanku, namanya Adik Qingxu, sedangkan yang lebih muda ini adalah muridnya, bernama Keponakan Chenggao.” Linghu Chong dan ketiga pendeta Wudang tersebut lantas bergelak tawa teringat kejadian di jalanan Hubei waktu itu. “Ilmu pedang Ketua Linghu sungguh mahasakti!” ujar Qingxu dan Chenggao memuji. Chongxu berkata, “Ilmu pedang adik dan keponakanku ini biasa-biasa saja, tapi mereka pernah merantau selama belasan tahun di benua barat. Di sana mereka berhasil memperoleh kepandaian istimewa. Yang satu mahir memasang pesawat rahasia, dan yang satunya ahli dalam membuat bahan peledak.” “Wah, ini benar-benar kepandaian yang jarang ada di dunia,” ujar Linghu Chong. “Adik Linghu,” kata Chongxu kemudian. “Aku sengaja membawa mereka kemari sebenarnya untuk maksud dan tujuan tertentu. Aku berharap mereka berdua bisa membantu kita mengerjakan suatu tugas penting.” Linghu Chong tidak paham dan menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting?” “Benar. Secara lancang aku telah membawa sesuatu kemari. Silakan Adik Linghu memeriksanya,” ujar Chongxu sambil tangannya merogoh ke dalam saku baju. Dengan penuh tanda tanya Linghu Chong berdebar-debar ingin mengetahui barang apa sebenarnya yang akan dikeluarkan dari saku baju pendeta tua itu. Namun, Chongxu lantas berkata dengan tertawa, “Barang yang aku bawa sebenarnya bukan benda kecil sehingga tidak muat di dalam saku bajuku. Nah, Adik Qingxu, silakan kau suruh mereka membawanya masuk kemari.” Berbeda dengan Mahabiksu Fangzheng yang tunduk pada adat dan menjaga tata krama, Pendeta Chongxu ini lebih terbuka dan sesekali bercanda. Begitu menerima perintah, Qingxu segera berjalan keluar. Tidak lama kemudia ia masuk kembali dengan membawa empat orang yang berdandan sebagai petani desa. Keempatnya berkaki telanjang dan masing-masing membawa satu pikulan sayur. Qingxu lantas memperkenalkan Linghu Chong dan Mahabiksu Fangzheng pada keempat orang itu. Mereka pun membungkuk menyampaikan salam hormat. Sebaliknya, Linghu Chong dan Fangzheng juga membalas hormat. Linghu Chong sadar keempat orang ini pasti jago-jago pilihan dari Perguruan Wudang, sehingga dengan rendah hati ia membungkuk pula di hadapan mereka. “Keluarkan dan rakitlah!” ujar Qingxu memberi perintah. Keempat orang itu segera membongkar sayuran dalam pikulan mereka. Di bawah tumpukan sayu-mayur tersebut rupanya ada beberapa bungkusan. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata berisi benda-benda kecil sebangsa paku, mur, baut, pegas, dan potongan-potongan kayu. Mereka berempat lantas bekerja dengan sangat cekatan. Benda-benda kecil tersebut lantas dirakit dan dihubungkan satu sama lain. Dalam waktu singkat terciptalah sebuah kursi megah dari benda-benda kecil itu. Linghu Chong terheran-heran dan berpikir, “Untuk apa kursi megah ini dirakit di sini? Di dalamnya terpasang bermacam-macam pesawat pegas, apakah mungkin digunakan untuk berlatih tenaga dalam?” Selesai kursi selesai dirakit, keempat orang itu lantas mengeluarkan dari dalam bungkusan yang lain sebuah bantal dan sarung kursi, untuk kemudian dipasang pada sandaran kursi megah tersebut. Seketika suasana ruang biara itu menjadi gilang-gemilang oleh cahaya yang menyilaukan mata. Ternyata sarung kursi ini terbuat dari sutra kuning yang halus dan bersulamkan gambar sembilan ekor naga emas. Gambar sembilan naga yang melingkar-lingkar itu tampak sedang menyongsong terbitnya bola matahari berwarna merah membara di garis samudera. Di kedua tepi sarung kursi tersulam pula tulisan kaligrafi yang bernada sanjung puji semboyan Sekte Matahari dan Bulan, antara lain “Kejayaan untuk Ketua Suci, sang pelindung rakyat jelata” juga “Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan”. Gambar sembilan naga emas itu tersulam dengan bagus sekali seolah benar-benar hidup. Tulisan-tulisan di tepinya juga sangat indah, bahkan dihiasi pula dengan bermacam-macam mutiara dan batu permata berwarna-warni. Ruangan biara yang biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana itu, kini tiba-tiba cemerlang oleh kilauan cahaya benda-benda berharga tersebut. Linghu Chong bersorak memuji. Teringat olehnya bahwa Qingxu pernah mempelajari ilmu tentang pesawat rahasia di benua barat, seketika ia pun paham maksud dan kegunaan dari kursi indah tersebut. “Ini adalah kursi perangkap,” ujarnya mencoba menebak. “Begitu melihat kursi kebesaran ini, Ketua Ren pasti langsung tertarik dan segera mendudukinya. Maka, sekali pesawat pegas dalam kursi ini bekerja, tentu jiwanya akan melayang seketika.” Perlahan Chongxu menjawab, “Tapi Ren Woxing sangat pintar dan cerdik. Tindakannya juga sangat cepat. Sedikit saja dia merasa tempat duduknya kurang enak pasti akan curiga dan segera melompat bangun. Maka itu, sukar juga untuk membinasakannya. Yang penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang terhubung dengan bahan peledak berkekuatan besar di suatu tempat rahasia.” Mendengar itu, serentak raut muka Linghu Chong dan para biksu Shaolin berubah. Fangzheng lantas menyebut, “Amitabha!” Chongxu berkata, “Keistimewaan pesawat rahasia di dalam kursi ini adalah tidak seketika langsung bekerja. Apabila diduduki begitu saja juga tidak akan terjadi apa-apa. Namun, setelah diduduki kira-kira seminuman teh barulah pesawat itu bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Ren Woxing seorang yang sangat cerdik dan mudah curiga. Jika mendadak ia melihat ada sebuah kursi bagus di sini tentu tidak akan langsung duduk di atasnya. Pasti dia menyuruh anak buahnya untuk mencoba lebih dahulu. Jika memang tidak terjadi apa-apa, barulah ia berani duduk. Di atas kursi ini tersulam gambar sembilan naga menyongsong matahari, serta tertulis semboyan-semboyan yang memuja ketua, tentu anak buahnya itu tidak berani duduk lama-lama. Sementara itu, Ren Woxing begitu duduk tentu akan merasa nyaman dan enggan pula meninggalkan kursi kebesaran ini.” “Pemikiran Pendeta sungguh sangat rapih,” puji Linghu Chong. “Selain itu Adik Qingxu juga telah mengatur perangkap lain,” kata Chongxu. “Kalau Ren Woxing ternyata curiga dan tidak mau duduk di atas kursi ini, tentu ia akan menyuruh anak buahnya untuk membongkar paksa. Nah, begitu salah satu baut pada kursi ini dilepas, seketika sebuah pesawat rahasia lain akan langsung bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Kali ini Keponakan Chenggao membawa sepuluh ribu kilo bahan peledak. Jika benar-benar diledakkan, jangan-jangan pemandangan indah di pegunungan kalian yang permai ini terpaksa ikut hancur pula.” Linghu Chong menjadi ngeri membayangkan hal itu. Ia berpikir, “Bahan peledak sebanyak sepuluh ribu kilo, sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur. Yang jelas Ketua Ren pasti akan binasa. Akan tetapi, Yingying dan Kakak Xiang juga sulit terhindar dari maut.” Melihat raut muka Linghu Chong agak pucat, Chongxu paham dan berkata, “Sekte Iblis telah menyatakan dengan tegas hendak membasmi Perguruan Henshan habis-habisan. Setelah itu mereka tentu akan menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang kami. Korban yang lebih besar pasti akan jatuh dan bencana tentu sukar dihindari. Kalau sekarang kita menggunakan siasat ini untuk menghadapi Ren Woxing, meskipun agak keji, namun tujuan kita adalah untuk membinasakan iblis sesat itu demi menyelamatkan jiwa puluhan ribu kaum persilatan pada umumnya.” “Amitabha!” ujar Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Memang begitulah jalan hidup welas asih. Terpaksa mengorbankan satu orang demi menolong ratusan ribu lainnya.” Kesembilan biksu pengiringnya ikut menguncupkan tangan dan berkata, “Amitabha, Kepala Biara benar.” Linghu Chong merasa ucapan Fangzheng cukup masuk akal. Sekte Matahari dan Bulan sudah menyatakan hendak membunuh habis segenap penghuni Gunung Henshan, termasuk ayam dan burung sekalipun. Jika sekarang pihak golongan putih menggunakan perangkap keji meledakkan musuh, hal ini rasanya masih pantas dan tidak seorang pun dapat menyangkalnya. Hanya saja, kalau Ren Woxing harus dibunuh, dalam hati Linghu Chong merasa enggan. Apalagi mengingat Xiang Wentian harus tewas pula, baginya lebih baik ia yang mati lebih dulu. Justru hidup-mati Ren Yingying yang tidak menjadi beban pikirannya, karena mereka berdua telah bertekad untuk sehidup semati selamanya. Begitu melihat sorot mata semua orang memandang kepadanya, ia pun berpikir sejenak, kemudian berkata, “Urusan sudah seperti ini. Sekte Matahari dan Bulan telah mendesak kita hingga menghadapi jalan buntu. Saya merasa siasat yang diatur Pendeta Chongxu ini adalah cara yang paling sedikit menjatuhkan korban.” “Ucapan Adik Linghu memang tidak salah,” kata Chongxu. “Jatuh korban sedikit adalah hal yang paling kita harapkan.” “Saya masih muda dan berpengalaman dangkal. Urusan ini biarlah dipimpin langsung oleh Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Yang pasti saya akan memimpin murid-murid Perguruan Henshan untuk bersama-sama menghadapi musuh.” “Ah, mana boleh seperti itu?” sahut Chongxu tertawa. “Adik Linghu adalah tuan rumah, sementara Kepala Biara dan aku hanyalah tamu. Mana boleh tamu menggeser tempat tuan rumah?” “Dalam hal ini saya bukan sengaja merendahkan diri, namun benar-benar memohon kedua sesepuh agar sudi memimpin semuanya,” kata Linghu Chong dengan wajah sungguh-sungguh. “Jika tekad Ketua Linghu sudah bulat, maka Saudara Pendeta juga tidak perlu segan dan menolak lagi,” ujar Fangzheng. “Biarlah urusan besar ini diputuskan oleh kita bertiga bersama-sama, namun Saudara Pendeta yang akan memimpin perintah pelaksanaannya.” Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, Chongxu akhirnya menerima usul tersebut. Ia kemudian berkata, “Jalan menuju ke Puncak Henshan ini sudah kita beri penjagaan. Kapan pun pihak Sekte Iblis datang menyerbu, tentu sebelumnya kita akan mendapat kabar. Dulu sewaktu Adik Linghu memimpin banyak orang menyerbu Biara Shaolin, saat itu kami tunduk di bawah perintah Zuo Lengchan yang menggunakan Siasat Kota Kosong’….” “Waktu itu saya benar-benar ceroboh, mohon dimaafkan,” sela Linghu Chong menukas. Siasat Kota Kosong adalah taktik perang melegenda ciptaan Zhuge Liang pada zaman tiga negara, lebih dari seribu tahun yang lalu. Siasat ini lantas ditiru oleh Zuo Lengchan untuk menjebak Linghu Chong dan kawan-kawan saat menyerbu Biara Shaolin demi membebaskan Ren Yingying kala itu. “Sungguh tidak disangka, yang dulu musuh kini menjadi kawan,” kata Chongxu dengan tertawa. “Kalau saat ini kita memakai Siasat Kota Kosong lagi tentu tidak akan berhasil. Apabila Gunung Henshan tiba-tiba sepi sudah pasti menimbulkan kecurigaan Ren Woxing. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Perguruan Henshan bertahan di atas gunung ini. Pihak Shaolin dan Wudang masing-masing akan mengirim beberapa orang untuk ikut membantu. Masalahnya kalau Shaolin dan Wudang tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan menimbulkan kecurigaan Ren Woxing pula.” “Benar sekali,” ujar Fangzheng dan Linghu Chong bersama-sama. Chongxu melanjutkan, “Kawan-kawan dari Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong bisa bersembunyi di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Begitu pasukan Sekte Iblis datang menyerbu, orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan melawannya dengan sekuat tenaga. Cara bertempur kita juga harus sungguh-sungguh, serta melibatkan jago-jago papan atas dari perguruan masing-masing. Semakin banyak kita membunuh musuh akan semakin baik, sementara dalam pihak kita sedapat mungkin jangan sampai jatuh korban.” Fangzheng menghela napas dan berkata, “Jago-jago di pihak Sekte Matahari dan Bulan tidak terhitung banyaknya. Kedatangan mereka kali ini tentu telah direncanakan dengan sangat matang. Dalam pertempuran nanti tentu tidak bisa dihindari akan banyak jatuh korban di kedua pihak.” Chongxu menjelaskan, “Kita bisa mencari jurang yang terjal dan memasang tali panjang di sana. Apabila dalam pertempuran nanti pihak kita mulai terdesak, maka satu per satu dari kita segera turun ke bawah menggunakan tali tersebut sehingga musuh tidak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar tentu Ren Woxing akan bergembira dan lupa daratan. Begitu melihat kursi kebesaran ini, dia akan langsung duduk di atasnya dan beberapa saat kemudian pesawat rahasia bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Sekalipun iblis bermarga Ren itu memiliki kepandaian setinggi langit, tidak mungkin ia dapat meloloskan diri dari ledakan tersebut. Menyusul kemudian kita ledakkan pula tiga puluh dua titik pada delapan jalur yang menuju ke puncak Henshan ini sehingga orang-orang Sekte Iblis itu terkurung semua di atas gunung.” “Semua jalan menuju ke atas sini juga diledakkan?” sahut Linghu Chong menegas. “Benar,” jawab Chongxu. “Mulai besok pagi Keponakan Chenggao akan menanam sejumlah bahan peledak pada ketiga puluh dua titik tersebut. Begitu semua meledak, seketika jalan-jalan menuju puncak akan terputus. Berapa pun banyaknya anggota Sekte Iblis yang menyerbu kemari tentu semua akan mati kelaparan di sini. Yang kita tiru adalah siasat Zuo Lengchan dahulu. Hanya saja, kali ini musuh pasti tidak berkesempatan meloloskan diri melalui lorong bawah tanah.” “Waktu itu saya sangat beruntung karena secara kebetulan menemukan lorong rahasia sehingga bisa lolos dari Biara Shaolin,” ujar Linghu Chong. “Akan tetapi ….” tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Apakah Adik Linghu merasa siasat yang kita atur ini masih kurang sempurna?” tanya Chongxu. Linghu Chong menjawab, “Saya berpikir jika nanti Ketua Ren datang kemari dan melihat kursi kebesaran ini, tentu ia akan merasa senang. Namun, di sisi lain ia juga akan terheran-heran mengapa Perguruan Henshan tiba-tiba membuat kursi yang penuh dengan sanjung puji seperti itu? Bila hal ini tidak dijelaskan, rasanya Ketua Ren juga tidak mau tertipu dan duduk di sini.” “Persoalan ini memang sudah kupikirkan pula,” jawab Chongxu. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini atau tidak juga bukan masalah penting bagi kita. Sebab, kita sudah mempersiapkan rencana kedua yaitu memasang sumbu lainnya di tempat rahasia. Begitu ia merayakan kemenangan sambil menikmati sanjung puji dari anak buahnya, maka saat itulah kita ledakkan gunung ini melalui sumbu rahasia tersebut. Tentu keesokan harinya hal ini akan menjadi berita hangat yang dibicarakan semua penghuni dunia persilatan.” “Paman Guru,” tiba-tiba Chenggao menyela. “Saya memiliki suatu usulan, entah dapat dijalankan atau tidak?” “Coba katakan, biar kita bisa meminta pertimbangan Kepala Biara dan Ketua Linghu,” sahut Chongxu sambil tersenyum. “Saya mendengar Ketua Linghu mempunyai ikatan perjodohan dengan putri tunggal Ketua Ren. Berhubung golongan putih dan golongan hitam tidak bisa bersatu, maka lantas timbul suatu halangan,” kata Chenggao. “Ketua Linghu dapat mengutus dua murid Henshan untuk menemui Ketua Ren dan menyampaikan berita bahwa demi mengingat diri Nona Ren, maka Ketua Linghu sengaja mengundang seorang ahli untuk membuatkan sebuah kursi kebesaran. Kursi ini khusus dipersembahkan kepada Ketua Ren dengan harapan kedua pihak dapat terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan demikian, apakah Ketua Ren mau menerima persembahan Ketua Linghu ini atau tidak bukan masalah lagi. Yang pasti, begitu datang kemari dan melihat kursi ini tentu ia tidak akan curiga lagi.” “Sungguh akal yang bagus,” seru Chongxu bertepuk tangan. “Dengan demikian ….” “Tidak bisa!” sahut Linghu Chong menukas sambil menggeleng kepala. Chongxu tercengang kemudian bertanya, “Apakah Adik Linghu ada pendapat yang lebih baik?” Linghu Chong menjawab, “Bahwasanya Ketua Ren ingin membunuh segenap anggota Perguruan Henshan, maka saya akan menghadapinya dengan sepenuh tenaga, entah menggunakan siasat ataupun kekuatan. Kalau dia benar-benar datang hendak membunuh kita semua, maka kita pun harus meledakkan dia. Akan tetapi, sama sekali saya tidak mau membohonginya.” “Bagus sekali!” ujar Chongxu memuji. “Adik Linghu benar-benar seorang laki-laki sejati. Selalu mengutamakan kejujuran, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula. Terserah apakah iblis bermarga Ren itu akan curiga atau tidak, yang pasti bila dia datang kemari untuk mencelakai kita, maka dia pun akan kita buat menderita.” Begitulah, mereka lantas berunding membahas tentang bagaimana harus menghadapi musuh, bagaimana harus melakukan perlawanan, bagaimana melindungi anak-buah masing-masing supaya tidak jatuh banyak korban, termasuk bagaimana cara mengundurkan diri ke belakang gunung nanti, serta bagaimana cara menyulut sumbu bahan peledak. Chongxu benar-benar seorang yang sangat cermat. Ia khawatir siasatnya yang rapih itu justru membuat mereka lengah dan memandang remeh pihak lawan. Maka itu, ia pun mengirim pasukan cadangan untuk menyalakan sumbu peledak karena jangan-jangan para petugas yang ditunjuk justru terbunuh oleh musuh. Keesokan paginya Linghu Chong mengajak mereka semua untuk melihat keadaan lembah pegunungan guna menjalankan siasat. Qingxu dan Chenggao segera memilih tempat-tempat penting untuk menanam bahan peledak serta memasang sumbunya pula. Para penjaga bahan peledak itu pun ditempatkan secara tersembunyi. Chongxu dan Linghu Chong juga memilih empat jurang yang curam sebagai jalan meloloskan diri jika musuh datang menyerbu secara besar-besaran. Keempat jurang itu masing-masing akan dijaga langsung oleh Fangzheng, Chongxu, Fangsheng, dan Linghu Chong sendiri. Bagaimanapun juga mereka harus menahan musuh supaya tidak dapat mendekati jurang itu, sampai semua orang di pihak mereka sudah turun ke bawah. Setelah semuanya habis, barulah mereka berempat turun ke bawah dan memotong tali panjang tersebut supaya musuh tidak dapat mengejar lebih lanjut. Sore harinya sebanyak sepuluh orang Perguruan Wudang naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani dan pengusung kayu bakar. Di bawah pimpinan Qingxu dan Chenggao, mereka pun menanam bahan peledak di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Murid-murid Henshan telah menjaga semua jalur masuk menuju puncak. Siapa pun orangnya yang tidak berkepentingan dilarang lewat di jalanan pegunungan. Satu sama lain juga tidak boleh sembarangan bicara untuk menjaga diri dari mata-mata Sekte Matahari dan Bulan yang ingin mengetahui rahasia siasat mereka. Setelah tiga hari berturut-turut kesibukan mereka pun berakhir. Segala persiapan telah diatur dengan rapih, tinggal menunggu datangnya serbuan Sekte Matahari dan Bulan saja. Sementara itu, pertemuan dengan Ren Woxing di Gunung Huashan juga telah berlalu hampir sebulan yang silam. Ini berarti kedatangan pihak Sekte Matahari dan Bulan akan terjadi dalam waktu dekat saja. Dalam beberapa hari itu Chongxu dan kawan-kawannya semakin sibuk, semenatara Linghu Chong justru lebih banyak menganggur. Setiap hari ia menggunakan kesempatan untuk menghafal rumus ilmu tenaga dalam yang diajarkan Mahabiksu Fangzheng, serta melatihnya dengan tekun. Apabila terdapat bagian-bagian yang tidak dipahaminya segera ia meminta petunjuk kepada Fangzheng. Sore harinya, Linghu Chong mengawasi Yihe, Yiqing, Yilin, Zheng E, Qin Juan, dan yang lainnya berlatih ilmu pedang. Meskipun berusia paling muda, namun daya tangkap Qin Juan terhadap intisari ilmu pedang yang diajarkan Linghu Chong ternyata paling bagus dan cepat tangkap pula. “Adik Qin sungguh pintar,” ujar Linghu Chong memuji. “Kau sudah mendapat banyak kemajuan dalam jurus ini. Untuk selanjutnya ….” Sampai di sini ia langsung berhenti. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Seketika langit terasa runtuh dan bumi berputar cepat. Tanpa ampun ia pun jatuh terduduk di atas tanah. Yihe dan yang lain sangat terkejut. Beramai-ramai mereka memburu maju dan membangunkan sang ketua. Serentak mereka bertanya, “Ada apa sebenarnya?” Linghu Chong sadar penyakitnya sedang kambuh kembali. Bermacam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak. Mulut terasa sukar dibuka, sehingga sulit pula menjawab pertanyaan tersebut. Selagi murid-murid Henshan itu gelisah, tiba-tiba terasa hembusan angin menerpa mereka. Rupanya dua ekor merpati pos telah masuk ke dalam ruang latihan melalui jendela. “Ah!” seru Yihe dan yang lain bersamaan. Perguruan Henshan memang memelihara banyak merpati pos. Dulu sewaktu Biksuni Dingjing berada di Fujian, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di Lembah Tempa Pedang, mereka saling berhubungan menggunakan merpati-merpati tersebut. Kedua merpati yang baru datang ini telah dikirim oleh murid-murid Henshan yang berjaga di kaki gunung. Punggung merpati-merpati itu sengaja dicat warna merah, sebagai pertanda bahwa pihak musuh telah datang menyerbu. Sejak kedatangan orang-orang Shaolin dan Wudang, para murid Henshan masing-masing merasa lega karena mendapatkan bala bantuan yang kuat. Tak disangka pada saat genting seperti ini penyakit sang ketua mendadak kambuh. Segera Yiqing mengambil tindakan. Ia berseru, “Adik Yiwen, Adik Yizhi, serta yang lainnya segeralah melapor kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.” Yiwen dan yang lain pun berangkat dengan cepat. Yiqing lantas berkata lagi, “Kakak Yihe, tolong kau bunyikan genta.” Yihe mengangguk beberapa kali dan langsung berlari keluar menuju ke menara genta. Tidak lama kemudian terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema di angkasa. Menyusul kemudian genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah, antara lain Lembah Tongyuan, Kuil Gantung, Celah Naga Hitam, dan Celah Tungku Porselen berbunyi pula. Rupanya Mahabiksu Fangzheng telah berpesan bahwa bunyi genta yang bertalu-talu ditetapkan sebagai tanda bahaya datangnya musuh. Perintah yang sebenarnya ialah membunyikan genta secara panjang tiga kali, dan pendek dua kali secara berturut-tutut dan perlahan-lahan. Akan tetapi, karena sedang ketakutan Yihe malah membunyikannya secara kasar dan tidak berirama. Meskipun kata “he” bermakna “damai”, namun Yihe bersifat sangat berangasan dan mudah marah. Orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang dengan cepat bergerak sesuai rencana yang ditetapkan. Masing-masing meninggalkan pos-pos penjagaan untuk menuju ke atas puncak. Memang demi mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting mulai kaki gunung sampai Puncak Jianxing sengaja dikosongkan, sama sekali tidak diberi penjagaan. Dengan demikian pasukan Sekte Matahari dan Bulan sengaja diberi kelonggaran agar dapat menyerbu ke atas dengan lancar. Begitu pihak musuh tiba di puncak barulah mereka muncul untuk melabrak. Setelah bunyi genta berhenti, suasana Gunung Henshan serentak berubah sunyi senyap. Bahkan burung-burung ikut berhenti berkicau, sehingga menambah tegangnya suasana. Para jago silat yang dikirim Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong juga sudah bersiaga di tempat persembunyian masing-masing. Dengan hati berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Sekte Matahari dan Bulan menyerbu ke atas. Begitu mendapatkan perintah, serentak mereka pun menyerbu keluar untuk memotong jalan sehingga pihak musuh tidak dapat bergerak mundur. Demi keberhasilan rencana, Chongxu sengaja tidak memberitahu orang-orang ketiga perguruan itu tentang sejumlah bahan peledak yang telah ditanam oleh pihak Wudang. Rupanya ia memperkirakan kemungkinan di antara murid-murid Kunlun dan yang lain terdapat mata-mata Sekte Iblis. Begitu mendengar bunyi genta yang bertalu-talu tadi, Linghu Chong sadar bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah datang menyerbu. Namun, perutnya terasa sangat sakit seperti disayat-sayat oleh ribuan pisau tajam. Karena terlalu sakit sampai-sampai ia mendekap perutnya itu dan berguling-guling di atas tanah. Yilin dan Qin Juan khawatir sehingga muka mereka menjadi pucat. Keduanya kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Yiqing lantas berkata, “Sebaiknya kita bawa Kakak Ketua ke dalam Biara Wuse, kemudian kita meminta nasihat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bagaimana harus bertindak.” Yu Sao dan seorang biksuni setengah baya segera membantu Linghu Chong berdiri. Dengan setengah memapah dan setengah menyeret mereka membawa sang ketua ke dalam Biara Wuse, biara induk di Gunung Henshan. Baru saja sampai di pintu biara, mereka mendengar suara petasan disusul dengan bunyi terompet dan tambur. Jelas secara terang-terangan pihak Sekte Matahari dan Bulan sudah menyerbu ke atas gunung. Fangzheng dan Chongxu telah menerima laporan tentang kambuhnya penyakit Linghu Chong. Mereka pun secepatnya berlari keluar dari biara itu. “Adik Linghu jangan khawatir,” kata Chongxu. “Adik Qingxu telah kusuruh mewakili diriku untuk memimpin orang-orang Wudang, sedangkan aku mewakili dirimu memimpin pihak Henshan.” Linghu Chong hanya bisa mengangguk terima kasih sambil menyeringai menahan sakit. Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, segeralah meloloskan diri lebih dulu.” “Tidak … tidak, sama ... sekali tidak boleh!” sahut Linghu Chong terputus-putus. “Ambilkan … ambilkan pedangku!” Chongxu juga menasihatinya agar mengikuti saran Fangzheng, namun Linghu Chong tetap menolak. Sementara itu, suara terompet dan tambur tiba-tiba berhenti, kemudian terdengar sorak-sorai orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, “Hidup Ketua Suci! Semoga panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!” Dari gemuruh suara itu dapat diperkirakan paling tidak ada empat atau lima ribu orang jumlah mereka. Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong saling pandang dengan tersenyum. Mereka yakin rencana dan perangkap yang mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh. Qin Juan telah menyodorkan pedang yang diminta Linghu Chong. Begitu Linghu Chong hendak menerima pedang itu, ternyata tangannya gemetar hebat dan sulit memegang dengan erat. Maka, Qin Juan pun menggantungkan pedang tersebut di pinggang Linghu Chong. Tiba-tiba terdengar kembali suara tetabuhan bergema. Kali ini lagu yang dimainkan terasa sangat menarik, dan sama sekali bukan lagu perang. Tidak lama kemudian beberapa orang berseru serentak, “Ketua Suci Sekte Matahari dan Bulan hendak naik ke Puncak Jianxing guna bertemu dengan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!” Mendengar ini Fangzheng berkata, “Rupanya Sekte Matahari dan Bulan memakai cara halus sebelum menggunakan kekerasan. Kita sendiri jangan sampai dipandang rendah. Ketua Linghu, bagaimana kalau kita biarkan mereka naik ke sini?” Linghu Chong mengangguk setuju. Pada saat itu perutnya kembali terasa sakit seperti disayat-sayat. Melihat wajah pemuda itu pucat pasi dan mengucurkan keringat dingin, Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, penyakitmu kambuh lagi. Segeralah kau terapkan ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng. Kau bisa melihat bagaimana hasilnya nanti.” Rumus ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang kemarin adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke perut. Padahal, waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak bermacam-macam hawa murni yang saling desak dan saling terjang tak beraturan. Maka, dengan mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk manyalurkan hawa murninya itu, ini sama artinya dengan bunuh diri. Sudah pasti rasa sakitnya makin bertambah parah. Namun, pada dasarnya Linghu Chong sudah nekad. Ia merasa sakitnya sudah mencapai titik puncak. Jika ditambah lagi paling-paling ia akan mati kesakitan saja. Maka, tanpa pikir lagi ia pun mengerahkan tenaga dalam yang baru dipelajarinya itu secara teratur agar tersalurkan di jalan yang tepat. Ternyata dugaannya benar. Pergolakan dan pertarungan bermacam-macam hawa murni di dalam perutnya bertambah hebat dan menyakitkan. Namun, setelah berputar-putar lagi, berbagai hawa murni itu kemudian dapat diantar ke jalan yang benar, samar-samar seperti memasuki jalurnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar. Meski rasanya masih tetap sakit, namun sudah tidak saling terjang lagi. Sementara itu, Mahabiksu Fangzheng menjawab seruan orang-orang Sekte Iblis tadi, “Ketua Perguruan Henshan Linghu Chong, ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu, dan ketua Perguruan Shaolin Fangzheng, bersama-sama menantikan kunjungan Ketua Ren yang terhormat dari Sekte Matahari dan Bulan!” Meskipun Fangzheng berkata dengan perlahan, namun suaranya berkumandang jauh hingga mencapai kaki gunung. Padahal, belasan gembong Sekte Iblis tadi berteriak sekeras-kerasnya untuk dapat mengumandangkan suara mereka ke puncak gunung. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam biksu kepala dari Biara Shaolin ini. Linghu Chong sendiri sedang duduk bersila sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun. Matanya memandang hidung, napasnya seirama dengan detak jantung, tangan kiri memegang dada, dan tangan kanan menekan perut, sesuai petunjuk Mahabiksu Fangzheng sebelumnya. Ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang itu baru dilatihnya beberapa hari saja. Meskipun setiap hari Mahabiksu Fangzheng mendampingi dan memberikan petunjuk secara jelas, namun latihannya masih juga belum sempurna. Untunglah kini berbagai hawa murni yang bergolak di dalam tubuhnya itu lambat-laun dapat diredam dan disalurkan ke jalur yang benar. Linghu Chong tidak berani gegabah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula telinganya masih mendengar suara tetabuhan, namun pada akhirnya tidak mendengar apa-apa lagi. Rupanya ia telah memusatkan segenap pancaindranya ke dalam latihan tersebut. Melihat ketekunan Linghu Chong ini, Mahabiksu Fangzheng tersenyum senang. Ia mendengar suara tetabuhan semakin bertambah ramai. Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan kembali berteriak, “Ketua Sekte Matahari dan Bulan, kesatria gagah berani, pelindung rakyat jelata, Yang Mulia Ketua Suci naik ke puncak Henshan!” Teriakan itu diikuti dengan suara tetabuhan yang semakin terdengar keras, pertanda mereka sedang berjalan menuju ke atas. Jalan menuju Puncak Jianxing memang cukup panjang. Meskipun suara para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu terdengar keras, namun sampai cukup lama mereka belum juga mencapai puncak. Diam-diam para jagoan dari Perguruan Kunlun dan lainnya menggerutu di tempat persembunyian mereka, “Ketua Sekte Iblis tengik, kenapa tidak mati sekarang saja? Sorak-sorai anak buahnya berlebihan, masih ditambah tetabuhan musik segala. Memangnya kau mau main sandiwara, hah?” Sejak tadi mereka sudah bersiaga untuk menghadapi musuh dengan jantung berdebar-debar. Menurut perkiraan, begitu pihak Sekte Iblis menyerbu ke atas gunung, serentak mereka akan melompat keluar dari tempat persembunyian untuk menghadapi. Apabila jumlah musuh semakin membanjir dan sukar ditahan, maka mereka pun mengundurkan diri dengan cara turun ke bawah jurang di belakang gunung menggunakan tali panjang. Tak disangka, kedatangan Ren Woxing kali ini ternyata berlagak seperti kaisar maharaja, dengan mengagungkan segala kebesarannya pula. Hal ini membuat orang-orang yang bersiaga itu malah semakin bertambah tegang. Setelah memakan waktu cukup lama, Linghu Chong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapat diatasi. Rasa sakitnya kini mulai berkurang. Tiba-tiba ia teringat bahwa musuh sudah semakin dekat. Maka, dengan seketika pemuda itu pun melonjak bangun. “Sudah lebih baik?” tanya Fangzheng dengan tersenyum. “Apakah pertempuran sudah dimulai?” Linghu Chong balik bertanya. “Belum,” sahut Fangzheng. “Bagus kalau begitu!” seru Linghu Chong, “Adik Qin, ambilkan pedang!” Qin Juan segera meletakkan gagang pedang ke dalam genggaman Linghu Chong. Pada saat itulah Linghu Chong melihat Fangzheng, Chongxu dan yang lain ternyata tidak memegang senjata. Di sisi lain tampak Yihe, Yiqing, dan murid-murid Henshan lainnya sedang berbaris di depan Biara Wuse dalam kelompok-kelompok formasi tujuh orang, namun senjata mereka juga belum dicabut keluar. Linghu Chong pun sadar bahwa musuh belum datang. Menyadari dirinya terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan buru-buru menyarungkan pedangnya sambil bergelak tawa. Sementara itu, suara tetabuhan tadi mendadak berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara seruling dan kecapi berkumandang dengan merdu. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren terlalu banyak tingkah. Setelah suara tetabuhan yang menderu-deru, kini berganti suara musik halus merdu. Tentu sebentar lagi dia akan muncul.” Benar juga, di tengah alunan suara seruling dan kecapi yang merdu itu, tampak dua barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan muncul di Puncak Jianxing. Pandangan semua orang seketika terbelalak, karena setiap anggota sekte ternyata memakai jubah sulaman berwarna hijau gelap yang masih baru, serta ikat pinggang berwarna putih. Empat puluh orang dari barisan itu tampak membawa nampan dengan berlapiskan kain sutra. Entah barang apa yang berada di atas nampan mereka itu? Keempat puluh orang ini ternyata tidak membawa senjata. Bahkan setelah naik ke puncak, masing-masing lantas berdiri tegak di kejauhan. Menyusul kemudian muncul pula di belakang mereka suatu barisan yang terdiri dari dua ratus orang peniup seruling dan pemetik kecapi. Semuanya juga berseragam jubah sulaman. Sambil berjalan mereka terus memainkan alat musik masing-masing. Setelah itu, muncul pula para penabuh tambur, peniup terompet, penabuh simbal, dan alat-alat musik lainnya. Linghu Chong menjadi tertarik melihat bermacam-macam alat musik ini. Ia berpikir, “Sungguh menggelikan. Nanti kalau pertempuran dimulai, tentu mereka bertugas memainkan alat musik masing-masing sebagai pengiring. Bukankah ini mirip dengan pertempuran di atas panggung sandiwara?” Di tengah suara alunan musik itu, tampak kemudian barisan-barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan semakin berdatangan. Barisan-barisan itu sepertinya diatur menurut warna seragam mereka. Ada sekelompok yang berseragam hijau, ada pula yang berseragam kuning, biru, hitam, putih, dan semuanya serbabaru. Apa pun warna seragam yang mereka pakai, semuanya tampak mengenakan ikat pinggang berwarna putih. Jumlah yang naik ke Puncak Jianxing kali ini paling tidak mencapai tiga sampai empat ribu orang. Dalam hati Pendeta Chongxu berpikir, “Mereka baru saja mencapai puncak dan belum teratur dengan baik. Kalau sekarang juga aku memberi perintah untuk menyerang dengan serentak, tentu pihak Sekte Iblis ini akan kocar-kacir. Rupanya mereka menggunakan siasat memancing kelengahan kami. Mula-mula bersikap halus untuk kemudian menyerang dengan kekerasan. Tapi kalau kami yang menyerang lebih dulu pada saat musuh belum bersiaga, maka ini namanya bukan perbuatan kesatria.” Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong yang tampak tersenyum geli menertawakan tingkah laku pihak Sekte Iblis itu. Mahabiksu Fangzheng sendiri terlihat tenang-tenang saja seolah menganggap perbuatan pihak musuh itu sebagai hal yang biasa. Dalam hati Chongxu kembali berpikir, “Aku terlalu khawatir. Kalau hatiku masih saja ketakutan seperti ini, pertanda ilmu kebatinanku memang belum matang.” Para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu telah berbaris secara teratur sesuai kelompok masing-masing. Menyusul kemudian muncul sepuluh tetua sekte. Mereka lantas membagi diri ke dalam dua kelompok yang berdiri di kanan dan kiri, masing-masing berisikan lima orang. Begitu bunyi tetabuhan mendadak berhenti, serentak kesepuluh tetua itu berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijaksana, pelindung rakyat jelata, juru selamat umat manusia, Ketua Ren yang suci telah tiba!” Sejenak kemudian muncul sebuah tandu besar yang dilapisi kain beludru berwarna biru dengan digotong oleh enam belas orang. Keenam belas orang pemikul tandu tersebut melangkah dengan cepat dan ringan, pertanda bahwa mereka semua adalah para jago pilihan. Sewaktu Linghu Chong mengamati dengan seksama, ternyata di antara keenam belas pemikul tandu itu terdapat Zu Qianqiu, Huang Boliu, dan Ji Wushi. Andai saja badan Lao Touzi tidak terlalu pendek, tentu ia juga akan menjadi tukang pikul tandu pula. Melihat ini Linghu Chong berpikir dengan perasaan kesal, “Bagaimanapun juga Zu Qianqiu dan kawan-kawan adalah kaum kesatria semuanya, namun Ketua Ren memperlakukan mereka dengan sangat hina. Apakah hanya karena bersulang denganku, lantas mereka diperbudak seperti ini?” Di kedua sisi tandu besar itu masing-masing tampak berjalan seseorang mengiringi. Yang mendampingi di sebelah kiri adalah Xiang Wentian, sementara di sebelah kanan adalah seorang tua yang tampaknya tidak asing lagi. Sejenak Linghu Chong tercengang. Tiba-tiba ia teringat bahwa orang tua itu adalah Luzhuweng, si Kakek Bambu Hijau yang dulu tinggal di luar Kota Luoyang. Orang tua inilah yang pertama kali mengajarkan dasar-dasar memainkan alat musik kecapi kepada Linghu Chong. Ia adalah cucu murid dari saudara seperguruan Ren Woxing, sehingga memanggil Ren Yingying dengan sebutan “bibi”. Hal inilah yang menyebabkan Linghu Chong salah paham dan mengira gadis itu sebagai seorang nenek tua. Setelah berpisah di dermaga Luoyang waktu itu, Linghu Chong tidak pernah bertemu Luzhuweng sama sekali. Kini tahu-tahu orang tua itu sudah bergabung dengan Ren Woxing untuk menyerbu Gunung Henshan. Sesaat kemudian jantung Linghu Chong terasa berdebar-debar. Ia berpikir, “Mengapa Yingying tidak kelihatan?” Tiba-tiba terlintas suatu pikiran dalam benaknya. Melihat setiap anggota Sekte Matahari dan Bulan memakai ikat pinggang berwarna putih seperti orang yang sedang berkabung, ia pun merenung, “Apakah Yingying telah bunuh diri karena tidak berhasil mencegah kehendak ayahnya yang ingin menyerbu dan membasmi Perguruan Henshan?” Seketika Linghu Chong merasa darahnya mendidih. Jantungnya pun berdebar semakin kencang. Hampir saja ia melangkah maju untuk bertanya kepada Xiang Wentian mengenai keadaan Ren Yingying. Namun, begitu teringat Ren Woxing sedang duduk di dalam tandu, ia pun batal melangkah. Meskipun ada ribuan orang berkumpul di Puncak Jianxing, suasana ternyata sunyi senyap, bahkan tidak terdengar suara kicauan burung sama sekali. Ketika tandu besar itu berhenti dan ditaruh di atas tanah, seketika semua mata memandang ke arahnya dan menantikan Ren Woxing keluar dengan jantung berdebar-debar. Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam Biara Wuse terdengar suara gelak tawa beberapa orang. Salah satu dari mereka berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas menyingkir! Sekarang giliranku yang harus duduk di situ!” “Sabar dulu, sabar dulu!” sahut seorang lagi menanggapi. “Kita harus bergiliran satu per satu, jangan berebut! Setiap orang pasti akan mencicipi betapa nyaman duduk di atas kursi sembilan naga ini!” Seketika raut muka Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong berubah pucat. Dengan jelas mereka mendengar itu adalah suara Enam Dewa Lembah Persik yang sedang berebut duduk di atas kursi kebesaran untuk menjebak Ren Woxing tersebut. Entah sejak kapan keenam orang sinting ini berhasil menyusup masuk ke dalam Biara Wuse dan menemukan kursi berhias indah yang sangat memesona itu? Kalau mereka duduk terlalu lama, maka pesawat rahasia akan segera bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Jika ini sampai terjadi, tentu urusan akan menjadi unyam. Maka, dengan cepat Pendeta Chongxu berlari masuk ke dalam biara dan membentak, “Hei, lekas bangun, lekas bangun! Kursi pusaka ini khusus disediakan untuk Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan! Kalian tidak boleh duduk di situ!” “Mengapa tidak boleh duduk? Kami justru ingin duduk di sini!” sahut Enam Dewa Lembah Persik beramai-ramai. Kembali mereka ribut sendiri tanpa memedulikan Chongxu. “Hei, kau sudah merasakannya, sekarang giliranku!” “Wah, kursi ini sangat empuk dan mentul-mentul. Rasanya seperti duduk di atas perut seorang gendut!” “Hei, memangnya kau pernah duduk di atas perut orang gendut?” Linghu Chong khawatir kursi yang diperebutkan Enam Dewa Lembah Persik itu benar-benar meledak sebelum waktunya. Jika ini sampai terjadi maka semua anggota Sekte Matahari dan Bulan, serta orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan ikut terbunuh. Gunung Henshan sendiri akan hancur lebur pula. Semula Linghu Chong bermaksud masuk ke dalam biara untuk mengatasi keributan tersebut. Namun entah mengapa, dalam lubuk hatinya ia berbalik seakan-akan mengharapkan bahan peledak itu benar-benar meledak secepatnya. Ia merasa Ren Yingying sudah mati, maka untuk apa dirinya hidup lebih lama lagi? Sekilas ia menoleh dan melihat sepasang mata indah Yilin sedang menatap ke arahnya. Begitu mereka berdua beradu pandang, lekas-lekas Yilin pun berpaling ke arah lain. Dalam hati Linghu Chong merenung, “Adik Yilin masih berusia sangat muda, tapi dia harus ikut hancur pula oleh ledakan dahsyat nanti, bukankah ini sangat kasihan? Akan tetapi, setiap manusia di dunia ini akhirnya pasti mati juga. Seandainya hari ini tidak terjadi pertempuran dan tercipta perdamaian, bukankah semua orang yang ada di sini setelah seratus tahun menjelang juga akan tinggal tulang belulang saja?” Kembali ia mendengar suara ribut Enam Dewa Lembah Persik masih belum mereda. Bahkan kini bertambah ramai. Seseorang berseru, “Hei, kau sudah duduk dua kali, sementara aku belum duduk sama sekali!” “Yang pertama tadi aku belum duduk dengan baik sudah ditarik turun. Maka, tidak boleh dihitung dan sekarang aku harus diberi kesempatan lagi …. Hei, apa-apaan ini?” Rupanya sebelum duduk dengan baik ia kembali diseret turun dari atas kursi oleh saudara-saudaranya. “Hei, aku ada akal. Begini saja, kita enam bersaudara bisa sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini. Coba lihat, bisa muat atau tidak?” “Bagus sekali! Akal yang sangat bagus! Marilah kita duduk bersama-sama, hahaha!” “Kau duduk duluan, lalu aku duduk bagian atas saja!” “Tidak, tidak! Kau saja yang duduk di bawah dan aku di atas!” “Yang paling tua duduk di atas, yang paling muda duduk di bawah.” “Tidak bisa, tidak bisa! Yang paling tua duduk duluan, yang paling muda duduk terakhir di atas.” Mahabiksu Fangzheng merasa detik-detik berbahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang gila-gilaan itu. Sebaliknya, ia tidak mungkin berseru mencegah karena khawatir rahasia dalam kursi akan diketahui musuh. Terpaksa ia pun berlari ke dalam biara dan membentak, “Di luar ada tamu agung, kalian jangan bertengkar dan jangan ribut!” Kata-kata “jangan ribut” sengaja diucapkan dengan disertai ilmu Auman Singa, salah satu ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin yang dahsyat. Enam Dewa Lembah Persik tidak tahan, lantas berjatuhan tak sadarkan diri. Bahkan Pendeta Chongxu yang berada di situ juga ikut pusing dan hampir roboh. Dengan gembira Chongxu segera menyingkirkan keenam orang dungu itu dari kursi sembilan naga dan kemudian menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka. Keenamnya lalu didorong masuk ke bawah kolong meja persembahan Dewi Guanyin yang cukup besar di dalam biara tersebut. Setelah itu, Chongxu memasang telinga di tepi kursi, dan ternyata tidak terdengar suara apa-apa. Ini berarti sumbu bahan peledak belum menyala. Seketika Chongxu merasa lega dan bersyukur, meskipun kepalanya terasa pusing dan tubuhnya masih lemas. Andai saja Fangzheng tidak segera datang, tentu sumbu akan menyala dan hancurlah segalanya. Fangzheng dan Chongxu lantas berjalan berdampingan keluar dari Biara Wuse. Sesampainya di tempat semula, mereka pun berseru, “Silakan Ketua Ren masuk ke dalam menikmati hidangan teh!” Akan tetapi, tirai tandu itu tetap tertutup dan tidak terbuka sedikit pun. Ren Woxing juga tidak memberikan jawaban sama sekali. Chongxu menjadi gusar. Ia berpikir, “Iblis tua ini sungguh tinggi hati. Padahal aku dan Mahabiksu Fangzheng, serta Adik Linghu masih terhitung sebagai tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan zaman ini. Kami berdiri menyambut padamu, tapi kau tidak menggubris sama sekali.” Andai saja tidak teringat pada perangkap yang telah diaturnya di dalam kursi sembilan naga, mungkin Chongxu sudah menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Ren Woxing. Maka dengan menahan perasaan, pendeta tua itu kembali menyampaikan undangannya. Namun demikian, dari dalam tandu tetap saja tidak terdengar suatu jawaban. Xiang Wentian tampak membungkuk dan menempelkan telinganya ke dinding tandu, kemudian mengangguk beberapa kali, pertanda sedang menerima perintah dari sang ketua. Setelah cukup, ia kembali berdiri tegak dan berseru, “Ketua Ren menyatakan terima kasih atas penyambutan Mahabiksu Fangzheng dari Perguruan Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Ketua kami sangat menghormati Beliau berdua. Kelak Ketua Ren akan berkunjung secara pribadi ke Gunung Shaoshi dan Gunung Wudang untuk meminta maaf.” “Kami tidak berani,” jawab Fangzheng dan Chongxu bersama-sama. Dalam hati mereka berpikir bahwa “berkunjung secara pribadi” adalah istilah kiasan untuk menyerbu perguruan mereka masing-masing. Xiang Wentian kembali berkata, “Ketua Ren menyampaikan bahwa kedatangan Beliau ke Gunung Henshan kali ini adalah untuk bertemu dengan Ketua Linghu secara khusus. Maka itu, Ketua Linghu diharap menemui Beliau sendirian di dalam biara.” Usai berkata demikian, Xiang Wentian langsung memberi isyarat. Keenam belas tukang pikul lantas menggotong tandu besar itu ke dalam Biara Wuse dan meletakkannya di dekat meja persembahan Dewi Guanyin. Xiang Wentian dan Luzhuweng juga ikut masuk mendampingi. Sejenak kemudian mereka lantas keluar kembali bersama keenam belas tukang pikul tersebut. Kini di dalam biara hanya tinggal tandu besar itu saja. Diam-diam Chongxu merasa sangsi, jangan-jangan tandu besar itu juga berisi perangkap pula. Maka itu, ia pun berpaling dan memandang Fangzheng serta Linghu Chong. Pada dasarnya Fangzheng seorang jujur dan polos. Ia tidak biasa menghadapi bermacam-macam sifat licik manusia, sehingga dengan wajah bingung ia tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Linghu Chong menjawab, “Kalau Ketua Ren hanya ingin bicara berdua saja denganku, tolong kedua Sesepuh menunggu sebentar di sini.” “Kau harus tetap waspada,” pesan Chongxu dengan suara lirih. Linghu Chong mengangguk, lalu masuk ke dalam biara dengan langkah lebar. Meskipun menjadi biara utama, namun ukuran Biara Wuse sebenarnya tidak terlalu besar. Kalau di dalam ruang sembahyang itu ada yang berbicara keras pasti akan langsung terdengar dari luar dengan jelas. Maka itu, Fangzheng dan yang lain pun mendengar Linghu Chong sedang berkata, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua Ren.” Akan tetapi, tidak juga terdengar suara jawaban dari Ren Woxing. Justru sebaliknya, sejenak kemudian terdengar Linghu Chong berseru kaget, “Hah!” Chongxu dan Fangzheng terkejut dan mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Hampir saja Chongxu menerjang ke dalam biara untuk membantu, namun lantas terpikir olehnya, “Ilmu pedang Adik Linghu boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ia ditundukkan iblis tua aliran sesat itu hanya dalam sekali gebrak. Andaikan betul Adik Linghu mengalami nasib malang, maka aku akan segera berlari masuk ke sana untuk menolongnya dan ini juga belum terlambat. Semoga iblis tua bermarga Ren itu tidak mencelakai Adik Linghu, lalu dia melihat kursi mewah itu dan duduk di atasnya dengan gembira. Kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan malah membuat urusan menjadi runyam.” Tapi perasaannya kemudian menjadi tidak tenteram. Ia kembali berpikir, “Kalau Ren Woxing benar-benar telah duduk di atas kursi itu, sebentar kemudian sumbu bahan peledak tentu akan mulai bekerja dan Puncak Jianxing ini pasti akan hancur lebur. Semua orang yang berada di sini sudah pasti akan menjadi korban. Kalau aku melarikan diri sekarang juga tentu akan terlihat seperti pengecut, serta menimbulkan kecurigaan Xiang Wentian. Kemudian ia pasti memberi peringatan kepada para begundalnya untuk mengundurkan diri, sehingga semua rencana yang telah kuatur menjadi gagal total. Sebaliknya, kalau gunung ini sampai meledak, sehebat apa pun ilmuku juga tidak bisa lolos dari maut. Apa yang harus kulakukan?” Sebenarnya Chongxu sudah merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Dalam perhitungannya mula-mula pasukan Sekte Matahari dan Bulan akan menyerbu ke puncak gunung habis-habisan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, pihaknya pun meloloskan diri melalui tali panjang yang sudah dipasang di tepi jurang. Setelah mendapat kemenangan, tentu Ren Woxing akan duduk di atas kursi kebesaran dan ledakan dahsyat pun terjadi. Tak disangka, kedatangan pihak Sekte Iblis itu ternyata tidak langsung menyerang dengan kekerasan, tetapi diawali dengan cara sopan terlebih dulu. Bahkan Ren Woxing juga meminta bertemu muka secara khusus dengan Linghu Chong di dalam biara segala. Semua yang terjadi kali ini benar-benar di luar perhitungan Chongxu. Meskipun sangat cerdas, namun dalam keadaan seperti ini ia merasa kehilangan akal dan tidak tahu harus berbuat apa. Mahabiksu Fangzheng juga menyadari keadaan sangat gawat, dan ia pun mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Namun, karena ilmu kebatinannya sangat dalam, perasaannya pun lebih sabar. Baginya, hidup atau mati, kalah atau menang, semua bukan hal yang luar biasa. Bagaimanapun manusia berusaha, tetap saja takdir yang menentukan hasilnya. Jika takdir sudah berbicara, siapa pun tidak bisa memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu, meskipun dalam hati Fangzheng juga merasa khawatir, namun sikapnya tetap terlihat tenang. Apabila perangkap tersebut benar-benar meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka ini adalah jalan baginya untuk menuju kesempurnaan. Kenapa pula harus ditakuti? Adanya perangkap bahan peledak pada kursi sembilan naga memang sangat dirahasiakan. Selain Chongxu, Fangzheng, dan Linghu Chong, beberapa orang lainnya yang mengetahui siasat ini, yaitu Qingxu dan Chenggao serta pembantu-pembantu mereka sedang menunggu di pinggang gunung. Begitu terdengar adanya ledakan di puncak, segera mereka pun menyulut sumbu bahan peledak yang sudah ditanam di semua jalur turun gunung. Kini tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi. Orang-orang Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan masing-masing sedang menunggu hasil pembicaraan antara Linghu Chong dan Ren Woxing. Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam pembicaraan itu, serentak mereka lantas mengangkat senjata menghadapi orang-orang Sekte Matahari dan Bulan. Namun, setelah ditunggu sekian lama ternyata tidak terdengar suara apa pun dari dalam biara tersebut. Hanya pada awal-awal saja terdengar suara Linghu Chong menyapa dengan lantang, namun kemudian tidak terdengar suara lagi. Chongxu merasa khawatir. Ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup terdengar olehnya suara Linghu Chong yang sangat lirih seperti sedang berbicara sesuatu. Seketika hati Chongxu merasa lega karena Linghu Chong ternyata tidak menderita apa-apa di dalam biara tersebut. Karena pemusatan pikirannya sedikit terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Hal ini membuat Chongxu menjadi ragu-ragu apakah suara tadi benar-benar suara Linghu Chong atau bukan. Jangan-jangan ia salah dengar atau mungkin hanya khayalannya sendiri saja. Untungnya tidak lama kemudian terdengar Linghu Chong berseru lantang dari dalam biara, “Kakak Xiang, silakan masuk untuk mengiringi Ketua Ren keluar dari biara!” “Baik!” sahut Xiang Wentian. Bersama Luzhuweng, mereka pun memimpin keenam belas tukang pikul tandu tadi bergegas masuk ke dalam biara. Sejenak kemudian tandu besar itu kembali digotong keluar. Serentak semua anggota Sekte Matahari dan Bulan yang berada di luar biara membungkuk dan menyampaikan salam hormat, “Kami menyambut kembalinya Ketua Suci yang mahabijaksana.” Sesampainya di tempat semula, para tukang pikul itu lantas berhenti melangkah dan menaruh tandu besar itu ke bawah. Tiba-tiba Xiang Wentian berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Mahabiksu Fangzheng, kepala Biara Shaolin!” Segera terlihat dua orang anggota sekte masing-masing membawa sebuah nampan berjalan ke hadapan Fangzheng dengan sikap sangat sopan. Keduanya lantas membungkuk dan mempersembahkan nampan masing-masing kepada biksu sepuh tersebut. Fangzheng melihat di atas salah satu nampan terdapat seuntai tasbih berusia tua, sedangkan pada nampan yang lain terdapat sebuah kitab kuno. Pada sampul kitab itu tertulis huruf Sanskerta yang berbunyi “Kitab Jinkang”. Sungguh tidak terlukiskan betapa gembira perasaan hati Mahabiksu Fangzheng. Selama hidup ia banyak mempelajari kitab agama Buddha, dan salah satunya adalah Kitab Jinkang tersebut. Akan tetapi, yang biasa ia baca adalah kitab terjemahan dalam bahasa Cina peninggalan Kerajaan Jin Timur. Pernah suatu ketika ia menemukan beberapa bagian dari kitab itu yang tidak jelas dan sulit untuk dipecahkan. Tentu saja sudah lama ia berusaha mencari Kitab Jinkang dalam bahasa Sanskerta sebagai perbandingan namun belum juga menemukannya. Kini begitu melihat kitab yang menjadi idamannya itu berada di depan mata, sudah pasti ia merasa sangat bahagia. Segera Fangzheng memberi hormat dan berkata, “Amitabha. Saya sungguh bersyukur dapat menemukan kitab suci ini. Keberuntungan saya sungguh besar dan tidak terlukiskan.” Biksu sepuh itu menjulurkan kedua tangan untuk mengambil kitab suci tersebut, lalu mengambil tasbih kuno di atas nampan kedua dan seketika tercium bau harum semerbak. Setelah menerima kedua benda tersebut, ia kembali berkata dengan hormat, “Terima kasih banyak atas hadiah besar dari Ketua Ren ini. Entah bagaimana saya harus membalasnya?” Xiang Wentian menjawab, “Tasbih kuno ini didapatkan leluhur agama kami dari sebuah gunung di India. Sekarang, ketua kami mempersembahkan tasbih kuno itu kepada Kepala Biara yang terhormat. Ketua kami juga mengatakan bahwa Sekte Matahari dan Bulan telah banyak berbuat kasar terhadap para kesatria. Dalam hal ini kami sungguh merasa malu. Asalkan Kepala Biara tidak marah atau menyalahkan kami, maka Sekte Matahari dan Bulan merasa sangat bersyukur dan berterima kasih.” Usai berkata demikian ia kembali berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Pendeta Chongxu, ketua Perguruan Wudang!” Kembali dua anggota sekte maju ke muka sambil mengangkat nampan masing-masing dan menghadapkannya kepada Pendeta Chongxu dengan sikap hormat. Dari jauh Chongxu sudah melihat di atas salah satu nampan itu terdapat sebatang pedang. Sesudah kedua orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga berwarna hijau loreng, dan bertuliskan nama “Zhenwu”. Tanpa sadar Chongxu berseru kaget melihat pedang pusaka tersebut. Konon cikal bakal pendiri Perguruan Wudang, yaitu Pendeta Zhang Sanfeng, memiliki sebatang pedang pusaka yang diberi nama Pedang Zhenwu, yang selalu dipandang sebagai pusaka perguruan. Sekitar delapan puluh tahun yang lalu, pada suatu malam Gunung Wudang pernah didatangi beberapa tetua Sekte Matahari dan Bulan yang berkepandaian tinggi. Mereka berhasil mencuri Pedang Zhenwu serta sejilid kitab pusaka berjudul Kitab Taiji Quan, tulisan tangan Zhang Sanfeng sendiri. Pencurian tersebut memang dapat diketahui dan segera terjadi pertarungan sengit saat itu juga. Dalam pihak Wudang telah tewas tiga orang tokoh papan atas, sementara pihak Sekte Matahari dan Bulan terbunuh empat orang tetua menjadi korban. Meskipun demikian, pedang dan kitab pusaka Perguruan Wudang itu tidak berhasil direbut kembali. Peristiwa ini benar-benar menjadi aib yang memalukan bagi Perguruan Wudang. Sejak kejadian itu, para ketua dari setiap angkatan selalu meninggalkan pesan agar pedang dan kitab pusaka tersebut dapat dicari dan ditemukan kembali. Akan tetapi, Tebing Kayu Hitam selalu dijaga ketat dan sulit untuk ditembus. Beberapa kali pihak Wudang berusaha secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk merebut kembali kedua benda pusaka tersebut, tapi selalu gagal dengan meninggalkan korban di atas Tebing Kayu Hitam. Sungguh tidak disangka, pedang pusaka itu kini tiba-tiba muncul di Puncak Jianxing. Ternyata tidak hanya Pedang Zhenwu yang muncul kembali. Sewaktu Chongxu melirik nampan yang satunya, tampak sejilid kitab kuno yang warnanya sudah agak luntur tertaruh di atasnya. Pada sampul kitab itu tertulis nama “Taiji Quan”. Selain kitab ini, Zhang Sanfeng masih meninggalkan beberapa kitab hasil tulisan tangannya sendiri. Maka, begitu melihat bentuk tulisan pada sampul kitab di atas nampan tersebut, Chongxu segera dapat mengenali bahwa kitab ini memang benar-benar Kitab Taiji Quan yang asli. Dengan kedua tangan gemetar Chongxu memegang pedang pusaka itu. Begitu sebagian dilolos keluar secara perlahan-lahan, seketika terasa hawa dingin yang menusuk. Ia paham Zhang Sanfeng sewaktu lanjut usia telah mencapai tingkatan ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga jarang sekali memakai senjata. Andaikan terpaksa harus menggunakan pedang, maka yang ia gunakan tentu hanyalah pedang biasa atau pedang kayu saja. Pedang Zhenwu ini adalah senjata yang dipakai Zhang Sanfeng semasa muda untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Pedang pusaka ini sangat tajam luar biasa dan pernah menggetarkan dunia persilatan. Chongxu masih khawatir tertipu oleh Ren Woxing, maka ia pun membalik-balik lembaran Kitab Taiji Quan itu. Dilihatnya tulisan-tulisan pada halaman kitab tersebut memang benar-benar tulisan tangan Zhang Sanfeng. Ia lantas mengembalikan kitab tersebut ke atas nampan untuk kemudian berlutut dan menyembah di hadapan kedua pusaka itu. Setelah berdiri kembali ia berkata, “Terima kasih banyak atas kemurahan hati Ketua Ren sehingga benda pusaka peninggalan leluhur kami dapat kembali. Sekalipun tubuhku hancur lebur juga sukar membalas budi baik Ketua Ren.” Usai berkata demikian barulah ia dapat menerima pedang dan kitab pusaka itu dengan perasaan senang. Begitu terharu perasaannya sampai-sampai kedua tangannya masih saja gemetar tanpa henti. Xiang Wentian menjawab, “Ketua kami berkata, sejak dulu Sekte Matahari dan Bulan kami telah banyak mengganggu Perguruan Wudang, sungguh kami merasa malu. Maka itu, benda-benda pusaka ini biarlah kembali ke asalnya. Harap Perguruan Wudang sudi memberi maaf.” “Ketua Ren terlalu merendah,” sahut Chongxu. Xiang Wentian kembali berseru, “Sekarang, bawa kemari hadiah untuk Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!” Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sama-sama berpikir entah hadiah macam apa yang akan dihadiahkan Ren Woxing kepada Linghu Chong, mengingat hadiah untuk mereka saja adalah benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya. Sejenak kemudian tampak dua puluh orang laki-laki muncul sambil membawa nampan menuju ke arah Linghu Chong. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun benda yang mereka bawa ternyata bukan sesuatu yang istimewa. Dengan jelas dapat terlihat isi nampan itu tidak lebih hanya berupa pakaian, kopiah, sepatu, poci teh, cawan teh, serta alat-alat kebutuhan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu serbabaru dan juga sangat indah, namun terkesan biasa saja jika dibandingkan dengan benda pusaka yang diterima Fangzheng dan Chongxu. Hanya saja, ada dua buah nampan yang sedikit aneh. Yang satu berisi sebatang seruling dan yang satunya lagi berisi sebuah kecapi kuno. Kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga daripada yang lain. Linghu Chong lantas memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak.” Ia kemudian memerintahkan Yu Sao dan yang lain menerima hadiah-hadiah itu. Xiang Wentian kembali berbicara, “Ketua kami berkata, kedatangan kami ke Gunung Henshan kali ini telah banyak menimbulkan gangguan. Maka itu, sekte kami membawakan hadiah untuk para murid Henshan dari kalangan biksuni berupa jubah dan kopiah baru, serta sebilah pedang. Sementara untuk para murid Henshan dari kalangan awam, kami bawakan hadiah berupa perhiasan dan sebilah pedang pula. Hadiah ini semoga dapat diterima. Selain itu, Sekte Matahari dan Bulan juga telah membeli sawah seluas lima hektare di kaki gunung ini untuk diberikan kepada Biara Wuse. Baiklah, sekarang juga kami mohon diri.” Usai berkata demikian ia lantas memberi hormat kepada Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong, lalu berbalik dan melangkah pergi. “Tuan Xiang!” sahut Chongxu memanggil. Xiang Wentian berpaling kembali dan bertanya dengan tersenyum, “Apakah Pendeta ada pesan untukku?” Chongxu menjawab, “Tanpa berjasa apa-apa, tiba-tiba kami menerima hadiah besar dari Ketua Ren. Sungguh kami merasa tidak enak hati. Entah … entah ….” sampai di sini ia tidak dapat meneruskan kembali. Sebenarnya ia ingin bertanya, “entah ada maksud apa di balik pemberian ini?”, namun ternyata tidak sanggup mengucapkannya. Xiang Wentian hanya tertawa dan kembali memberi hormat sambil berkata, “Benda pusaka telah kembali ke asalnya. Hal ini sudah semestinya, kenapa Pendeta merasa tidak enak hati?” Ia lantas memutar tubuh kembali dan berseru, “Ketua memerintahkan berangkat!” Serentak suara tetabuhan kembali berbunyi. Kesepuluh tetua berjalan di depan sebagai pembuka jalan, sedangkan keenam belas tukang pikul lantas mengangkat tandu besar dan melangkah turun ke bawah gunung. Para penabuh tambur dan peniup terompet mengikuti di belakang. Barisan paling akhir adalah para anggota sekte yang berjalan secara rapi dan teratur sesuai warna seragam masing-masing. Sepeninggal orang-orang Sekte Matahari dan Bulan tersebut, Fangzheng dan Chongxu sama-sama menatap Linghu Chong tanpa berkata apa pun. Dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, “Mengapa Ketua Ren tidak jadi menghancurkan Perguruan Henshan? Seluk-beluk masalah ini hanya kau saja yang tahu.” Namun, dari raut muka Linghu Chong sedikit pun tidak tampak suatu perubahan yang dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan mereka ini. Yang terlihat adalah wajah pemuda itu sesekali senang dan sesekali agak berduka. Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan sepertinya sudah pergi jauh. Suara tetabuhan yang bergemuruh tadi sudah tidak terdengar lagi. Teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap pula. Mereka datang dengan lagak gagah penuh wibawa, tapi kini pergi begitu saja tanpa terjadi apa-apa. Keadaan di Gunung Henshan telah sunyi kembali. Chongxu tidak tahan lagi. Segera ia bertanya, “Adik Linghu, tiba-tiba saja Ketua Ren sedemikian murah hati, tentu karena dia menghargai dirimu. Entah tadi … tadi ….” Sebenarnya ia ingin bertanya “entah tadi apa yang kalian bicarakan”. Namun, teringat olehnya bahwa pembicaraan itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah diceritakan oleh Linghu Chong. Sebaliknya kalau memang sesuatu yang rahasia, maka pertanyaannya justru terkesan tidak pantas. Oleh karena itu, ia pun mengurungkan niat melanjutkan pertanyaan tersebut. Tentu saja Linghu Chong dapat memahami pikiran Chongxu, sehingga ia pun menjawab, “Harap kedua Sesepuh sudi memaafkan. Masalahnya saya telah berjanji kepada Ketua Ren, sehingga seluk-beluk permasalahan ini untuk sementara tidak dapat kukatakan. Namun, dalam masalah ini sesungguhnya juga tidak ada suatu rahasia penting. Tidak lama lagi tentu kedua Sesepuh juga akan mengetahuinya.” Fangzheng bergelak tawa lalu berkata, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap. Ini benar-benar keuntungan untuk segenap dunia persilatan. Melihat gerak-gerik Ketua Ren tadi, tampaknya memang tidak ada tanda-tanda permusuhan dengan golongan kita. Maka itu, kita benar-benar harus bersyukur dan berbahagia karena malapetaka yang hampir menimbulkan banjir darah ini tidak sampai terjadi.” Perasaan Chongxu seperti digelitik karena tetap tidak mengetahui teka-teki apa yang tersembunyi di balik kejadian tadi. Namun, di sisi lain ia juga membenarkan apa yang dikatakan Fangzheng. Maka, pendeta tua itu lantas berkata, “Bukan maksudku mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan, namun biasanya Sekte Matahari dan Bulan terkenal licik dan banyak tipu muslihat. Bagaimanapun juga kita harus waspada. Kemungkinan besar Ketua Ren telah mengetahui perangkap yang kita pasang. Bisa jadi dia takut akan bahan peledak itu, sehingga hari ini sengaja bersikap sopan kepada kita. Kelak, lain waktu jika kita lengah, mungkin dia akan menyergap kita secara mendadak. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?” “Memang … dalamnya hati manusia sulit diukur,” ujar Fangzheng. “Untuk segala sesuatunya lebih baik kita bersikap waspada.” Linghu Chong menggeleng dan berkata tegas, “Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi.” “Kalau Adik Linghu yakin tidak akan terjadi demikian, maka itu sangat bagus,” kata Chongxu. Akan tetapi, hatinya masih saja ragu dan membayangkan sebaliknya. Beberapa saat kemudian, dari kaki gunung dilaporkan bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah melewati jalur menuju ke bawah tanpa ada tanda-tanda berbuat kerusakan. Sebaliknya, para penjaga di sekitar jalur tersebut juga tidak melakukan perlawanan atau menyulut bahan peledak karena tidak mendapatkan perintah dari atas. Chongxu segera mengirim orang untuk memberi tahu Qingxu dan Chenggao agar sumbu-sumbu bahan peledak yang telah dipasang pada kursi sembilan naga segera dibersihkan. Linghu Chong lantas mengundang Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu masuk ke Biara Wuse untuk beristirahat di dalam Aula Guanyin. Ketiganya pun duduk di atas kasur samadi dengan kesibukan masing-masing. Mahabiksu Fangzheng tampak membalik-balik halaman Kitab Jinkang yang berbahasa Sanskerta itu, sementara Pendeta Chongxu membaca Kitab Taiji Quan sambil sesekali meraba Pedang Zhenwu. Betapa besar kebahagiaan di hatinya sungguh tak terlukiskan, sehingga rasa curiganya pun memudar pula. Tiba-tiba dari bawah kolong meja persembahan terdengar suara seseorang berkata, “Ahhh, ternyata kau Yingying!” Seseorang lainnya menjawab, “Benar, Kakak Chong, kau … kau ….” Suara ribut-ribut ini tidak lain adalah suara Enam Dewa Lembah Persik. Seketika Linghu Chong berseru kaget dan melonjak bangun dari tempat duduknya, “Hei!” Suara percakapan di bawah kolong meja itu terus saja berlanjut, “Kakak Chong, ayahku, ayahku … sudah meninggal dunia.” “Bagaimana Beliau meninggal dunia? Apa yang terjadi?” “Hari itu setelah kau meninggalkan Puncak Huashan, tiba-tiba Ayah jatuh dari Batu Tapak Dewa dan meluncur ke bawah. Paman Xiang dan aku berhasil menangkap tubuhnya. Namun, hanya sebentar saja Ayah kemudian berhenti bernapas.” “Apakah … apakah ada musuh yang mencelakai Beliau?” “Tidak. Paman Xiang berkata usia Ayah sudah lanjut, juga pernah menderita belasan tahun di bawah Danau Barat. Beberapa tahun terakhir ini dalam penjara Ayah berlatih keras menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar di tubuhnya secara paksa. Tentu saja hal ini sangat mengganggu kesehatannya. Setelah mendapatkan kembali kedudukannya, Ayah berencana untuk menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung sehingga membuatnya berpikir siang malam dan kesehatannya pun makin menurun. Jadi, Ayah meninggal dunia karena kesehatannya memang sangat buruk.” “Sungguh tak kusangka akan terjadi demikian.” “Kakak Chong, di Puncak Huashan waktu itu Paman Xiang langsung berunding dengan kesepuluh tetua agama kami. Dengan suara bulat mereka mengangkat diriku sebagai ketua Sekte Matahari dan Bulan menggantikan Ayah.” “Oh, ternyata yang dimaksud dengan Ketua Ren sebenarnya adalah Nona Ren, bukan Tuan Ren.” Begitulah, Enam Dewa Lembah Persik beberapa saat yang lalu telah berebut duduk di atas kursi sembilan naga, sehingga Mahabiksu Fangzheng terpaksa melumpuhkan mereka dengan ilmu Auman Singa. Pendeta Chongxu juga menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka, kemudian mendorong keenam orang sinting itu ke dalam kolong meja persembahan. Akan tetapi, karena tenaga dalam enam bersaudara ini cukup hebat, maka tidak lama kemudian mereka pun sadar dari pingsan. Hanya saja, mereka masih dalam keadaan tertotok, sehingga tidak bisa bergerak dan tetap meringkuk di bawah meja. Meskipun demikian, hal ini justru mereka manfaatkan untuk mendengarkan percakapan Linghu Cong dengan “Ketua Ren” yang berada di dalam tandu tadi. Kini totokan mereka telah terbuka oleh waktu sehingga keenamnya langsung saja bersuara menirukan semua yang telah mereka dengar. Padahal, itu semua adalah percakapan rahasia. Begitu mendengar Ren Woxing telah meninggal dunia dan kini Ren Yingying menjadi ketua Sekte Matahari dan Bulan yang baru, seketika Fangzheng dan Chongxu merasa terkejut bercampur senang. Mereka juga langsung paham mengapa Ren Yingying memberikan hadiah kepada Linghu Chong berupa barang-barang keperluan sehari-hari saja, karena ini merupakan tanda pertunangan mereka berdua. Sementara itu, Enam Dewa Lembah Persik masih terus bersahut-sahutan di bawah meja tanpa henti. Daya ingat mereka sangat bagus sehingga mampu menirukan semua perkataan dan gaya bicara Linghu Chong ataupun Ren Yingying. Terdengar seseorang berkata, “Kakak Chong, hari ini aku sengaja datang kemari untuk melihatmu. Kalau sampai diketahui orang-orang di luar, tentu kita akan ditertawai.” “Ah, peduli apa dengan mereka? Kau ini memang sangat pemalu.” “Tidak, aku memang tidak ingin diketahui orang luar.” “Baiklah, aku berjanji tidak akan bercerita kepada siapa pun.” “Aku sengaja memerintahkan semua anggota sekte untuk meneriakkan sanjung puji seperti biasanya, agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak luar. Sama sekali bukan maksudku untuk menyombongkan diri di hadapanmu, atau kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.” “Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu tidak akan tahu.” “Selain itu, mulai hari ini hubungan Sekte Matahari dan Bulan dengan Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang telah berubah dari lawan menjadi kawan. Aku tidak ingin orang luar sampai tahu bahwa hal ini adalah hasil keputusanku. Jika itu sampai terjadi, maka kaum persilatan tentu akan menganggap permusuhan ini berakhir secara damai adalah dikarenakan kau dan … aku … karena hubungan kita berdua. Kalau hal ini sampai tersiar tentu akan membuat kita merasa rikuh.” “Hahaha, aku tidak takut menjadi bahan cerita.” “Mukamu tebal, tentu saja kau tidak takut. Tentang meninggalnya Ayah juga sengaja sangat dirahasiakan oleh Sekte Matahari dan Bulan. Orang luar harus mengira ayahku benar-benar datang berkunjung ke Gunung Henshan ini serta berunding denganmu, kemudian tercipta perdamaian. Dengan demikian nama baik Ayah di dunia persilatan menjadi lebih dihormati. Setelah pulang ke Tebing Kayu Hitam nanti, barulah berita meninggalnya Ayah akan kusiarkan secara luas.” “Sebagai menantu kesayangan, tentu aku akan datang ke sana memberikan penghormatan terakhir.” “Sungguh bagus kalau kau datang ke sana. Ketika di Puncak Huashan tempo hari, Ayah sudah merestui pernikahan kita, hanya saja ... hanya saja … setelah aku berkabung ….” Mendengar Enam Dewa Lembah Persik mulai membeberkan kisah cintanya dengan Ren Yingying, seketika Linghu Chong pun membentak, “Enam Dewa Lembah Persik, lekas keluar! Jika tidak segera keluar dan masih mengoceh, akan kubeset kulit kalian!” Akan tetapi, masih saja terdengar salah satu dari mereka berbicara dengan menirukan nada suara Ren Yingying, “Tapi, tapi yang kukhawatirkan adalah kesehatanmu. Ayah tidak sempat mengajarkan bagaimana cara memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar yang mendekam dalam tubuhmu. Namun sebenarnya, ilmu itu juga tidak ada gunanya. Seandainya Ayah mengajarkan kepadamu juga sia-sia, karena Ayah sendiri juga … ehhh!” Dewa Dahan Persik menirukan suara Ren Yingying menghela napas dengan penuh rasa sedih, sehingga membuat Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong ikut terharu pula. Bagaimanapun juga Ren Woxing adalah kesatria hebat di zaman itu. Meskipun selama hidup ia sering berbuat keburukan, namun tetap saja kematiannya terasa menyedihkan. Linghu Chong sendiri tidak sepenuhnya membenci Ren Woxing. Bagaimanapun kejamnya orang tua itu, tetap saja ia menaruh penghormatan yang sangat besar terhadap kehebatan dan kecerdasannya dalam hal ilmu silat dan siasat perang. Terutama juga kepada sifatnya yang suka hidup merdeka dan tidak peduli dengan tata aturan masyarakat yang kaku, dalam hal ini Linghu Chong merasa memiliki banyak kemiripan sifat dengannya. Perbedaan yang paling mencolok adalah, Linghu Chong tidak bernafsu merajai dunia persilatan, itu saja. Pada saat itu Fangzheng, Congxu, dan Linghu Chong sama-sama merenung, “Sejak zaman dulu hingga sekarang, bagaimanapun besarnya kekuasaan dan keharuman nama seseorang, baik itu kaisar, maharaja, kesatria, nabi, orang suci, atau penjahat besar sekalipun pada akhirnya semua akan mati.” Terdengar Dewa Buah Persik berkata, “Kakak Chong, aku ....” Chongxu berpikir kalau ocehan Enam Dewa Lembah Persik diterus-teruskan, tentu akan membuat Linghu Chong semakin bertambah rikuh. Segera ia pun menyeret keenam bersaudara itu keluar. Sambil tertawa ia lalu berkata, “Keenam Dewa Persik bersaudara, maaf aku tadi harus menotok kalian semua. Ocehan kalian rasanya sudah cukup sampai di sini. Jika Ketua Linghu sampai marah, maka ia akan menotok titik bisu abadi kalian semua. Akibatnya sungguh sangat mengerikan.” “Titik bisu abadi itu apa?” tanya Enam Dewa Lembah Persik bersamaan dengan nada terkejut dan khawatir. “Jika titik bisu abadi kalian tertotok, maka seumur hidup kalian akan menjadi bisu,” kata Chongxu dengan tertawa. “Tapi kalau untuk makan dan minum masih bisa.” Enam Dewa Lembah Persik langsung berseru serentak, “Bicara nomor satu, makan-minum nomor dua.” “Kalau begitu, apa yang kalian bicarakan tadi jangan sekali-kali diucapkan kepada siapa pun juga,” ujar Chongxu. “Nah, Ketua Linghu, biarlah aku memintakan ampun bagi mereka. Janganlah kau menotok titik bisu abadi mereka. Mahabiksu Fangzheng dan aku berani menjamin bahwa untuk selanjutnya mereka berenam pasti tidak akan membocorkan sepatah kata pun dari percakapanmu dengan Nona Ren yang telah mereka curi dengar tadi.” “Tidak benar, tidak benar! Kami tidak mencuri dengar sama sekali. Percakapan mereka masuk dengan sendirinya ke telinga kami, kami bisa apa?” seru Dewa Bunga Persik. “Sudahlah,” ujar Chongxu. “Boleh jadi kalian memang tidak sengaja mendengarkan percakapan tadi. Tapi menirukan percakapan orang lain adalah perbuatan tidak benar.” “Baik, baik! Kami berjanji tidak akan mengoceh lagi!” seru Enam Dewa Lembah Persik serentak. Dewa Akar Persik lantas menyambung, “Tapi semboyan Sekte Matahari dan Bulan untuk ketua mereka yang baru telah berubah dua kalimat. Kami boleh mengatakannya atau tidak?” “Tidak boleh, tetap tidak boleh!” bentak Linghu Chong. “Kalau tidak boleh ya sudah!” sahut Dewa Ranting Persik. “Hanya kau dan Nona Ren yang boleh mengatakan semboyan itu, sementara kami tidak boleh.” Chongxu menjadi penasaran dan berpikir, “Dua kalimat apa yang telah berubah? Mungkinkah kalimat Ketua panjang umur, merajai dunia persilatan’ yang berubah? Kini Nona Ren menjadi ketua sekte, sepertinya ia tidak tertarik menjadi penguasa dunia persilatan. Kalau benar demikian, lantas seperti apa semboyan Sekte Matahari dan Bulan yang baru itu?” Tiga tahun kemudian di Wisma Meizhuang, dekat Gunung Gu dan Danau Barat, di dalam Kota Hangzhou, suasana tampak semarak dengan nyala lampion di mana-mana. Tampak orang-orang berdatangan dengan berpakaian rapih. Rupanya hari itu adalah hari bahagia pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying. Pada saat itu Linghu Chong telah menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada Yiqing. Sebenarnya Yiqing tidak bersedia dan mendesak Yilin untuk menggantikannya sebagai ketua, mengingat Yilin telah membalaskan kematian guru mereka, yaitu dengan membunuh Yue Buqun. Namun, Yilin bersikeras menolak, bahkan sampai menangis di depan umum. Maka, diadakanlah musyawarah di antara para anggota dan mereka pun sepakat menerima usul Linghu Chong, yaitu mengangkat Yiqing menjadi ketua Perguruan Henshan yang baru. Sementara itu, Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan juga telah memiliki ketua baru masing-masing. Para murid yang tidak ikut terjebak dalam malapetaka di Puncak Huashan kala itu telah merintis perguruan masing-masing sehingga kembali mendapatkan nama di dunia persilatan. Ren Yingying sendiri juga telah melepaskan jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan, serta menyerahkan kedudukan itu kepada Xiang Wentian. Meskipun Xiang Wentian juga seorang tokoh persilatan yang keras kepala dan sukar dikendalikan, tapi dia tidak mempunyai ambisi mencaplok perguruan atau aliran lainnya. Maka itu, selama tiga tahun ini keadaan dunia persilatan menjadi aman dan tenteram. Pada hari itu banyak sekali kaum persilatan yang hadir di Kota Hangzhou untuk mengucapkan selamat atas pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying. Wisma Meizhuang penuh sesak karena yang hadir berasal dari berbagai aliran persilatan, baik itu golongan putih ataupun hitam. Hari itu semuanya berkumpul dengan suka cita, tanpa ada rasa permusuhan di antara mereka. Selesai upacara pernikahan, para hadirin meminta sepasang mempelai sudi memainkan ilmu pedang di depan umum. Setiap orang mengetahui bahwa ilmu pedang Linghu Chong tiada bandingannya di dunia ini, namun tidak semuanya pernah menyaksikan kehebatannya itu. Linghu Chong tersenyum menanggapi permintaan para tamu, lalu berkata, “Hari ini adalah hari yang bahagia. Rasanya kurang pantas jika kami harus main senjata segala. Biarlah kami berdua, pengantin baru ini memainkan sebuah lagu bersama-sama. Apakah para hadirin setuju?” Para tamu pun bersorak menyatakan setuju. Linghu Chong segera menyiapkan kecapi dan memberikan seruling kumala kepada Ren Yingying. Tanpa membuka kerudung pengantin, Ren Yingying meniup seruling itu dengan merdu, beriringan dengan petikan kecapi Linghu Chong. Lagu yang mereka bawakan tidak lain adalah lagu “Menertawakan Dunia Persilatan”. Rupanya selama tiga tahun ini permainan kecapi Linghu Chong telah berkembang sangat pesat berkat bimbingan langsung Ren Yingying setiap saat. Linghu Chong teringat dirinya pertama kali mendengar lagu itu ketika berada di hutan pegunungan di luar Kota Hengshan dahulu. Waktu itu Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan meniup seruling, sedangkan Qu Yang dari Sekte Matahari dan Bulan memetik kecapi. Keduanya bersahabat karib meskipun berasal dari dua aliran yang bermusuhan. Setelah memainkan lagu tersebut, mereka akhirnya tewas bersama. Hari ini Linghu Chong dan Ren Yingying telah menikah dan tiada lagi perbedaan di antara mereka. Dibandingkan dengan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, nasib mereka jauh lebih bagus. Linghu Chong membayangkan pada saat menciptakan lagu tersebut, pasti Liu Zhengfeng dan Qu Yang dalam keadaan tertekan oleh pertentangan golongan mereka, serta berharap semua permusuhan bisa berakhir. Kini harapan mereka telah menjadi kenyataan. Linghu Chong dan Ren Yingying memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan dengan perasaan bebas merdeka, sehingga perpaduan irama seruling dan kecapi yang dihasilkan boleh dikata sangat sempurna. Kebanyakan para tamu tidak memahami seni musik. Akan tetapi, setiap orang merasa sangat nyaman dan terbuai oleh alunan irama tersebut. Di bawah permainan pengantin baru ini, lagu Menertawakan Dunia Persilatan berhasil menggetarkan sukma dan mengharukan hati setiap tamu yang hadir. Begitu lagu selesai dimainkan, serentak para hadirin bertepuk tangan dan bersorak sorai memuji keduanya. Beramai-ramai mereka lalu mempersilakan kedua mempelai masuk ke dalam kamar pengantin yang telah disediakan mak comblang dan tertata rapi. Baru saja pintu kamar ditutup, tiba-tiba Linghu Chong dan Ren Yingying mendengar alunan suara rebab yang sangat merdu dari luar pagar. Seketika Linghu Chong berteriak senang, “Paman Guru Mo ....” “Ssst, jangan berisik,” sahut Ren Yingying mendesis. Lagu yang dimainkan melalui rebab itu berjudul “Sepasang Burung Feng Bertemu”. Kedua mempelai yakin bahwa lagu ini dimainkan langsung oleh Tuan Besar Mo di luar rumah mereka. Meskipun permainannya sangat lembut dan lirih, namun benar-benar mengharukan perasaan Linghu Chong dan Ren Yingying dari awal hingga akhir. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Paman Guru Mo benar-benar lolos dari malapetaka di Puncak Huashan. Beliau datang kemari secara diam-diam untuk menyampaikan selamat atas pernikahan kami.” Selama tiga tahun ini, Linghu Chong selalu memikirkan keberadaan Tuan Besar Mo. Berulang kali ia mengirim orang ke Gunung Hengshan namun tidak juga mendapatkan kabar. Perguruan Hengshan sendiri juga telah memiliki ketua yang baru, dan mereka pun tidak mengetahui keberadaan sang ketua lama. Beberapa saat kemudian suara rebab terdengar semakin menjauh dan menjauh, hingga akhirnya menghilang tak terdengar lagi. Perlahan-perlahan Linghu Chong mendekati Ren Yingying dan membuka kerudung sutra tipis berwarna merah yang menutup wajah cantiknya. Di bawah cahaya lilin tampak wajah mempelai perempuan yang sedang tersenyum itu semakin menawan bagaikan intan permata. Tiba-tiba Ren Yingying berseru, “Keluar sekarang!” Linghu Chong tersentak kaget. Dalam hati ia berpikir, “Aku sudah jadi suaminya, kenapa disuruh keluar?” “Lekas keluar, atau kusiram dengan air?” bentak Ren Yingying sambil tertawa. Selagi Linghu Chong kebingungan, tiba-tiba dari kolong ranjang tampak enam orang menerobos keluar. Siapa lagi mereka kalau bukan Enam Dewa Lembah Persik? Rupanya keenam orang dungu bersaudara ini sengaja bersembunyi di bawah ranjang dengan tujuan ingin mendengarkan percakapan antara sepasang pengantin baru. Setelah itu, mereka akan mempergunakannya sebagai bahan pamer di hadapan para tamu. Saat itu Linghu Chong sedang mabuk kepayang mengagumi kecantikan sang istri sehingga kurang waspada. Sebaliknya, Ren Yingying tetap bersikap cermat dan ia pun mendengar suara orang bernapas sangat halus di bawah tempat tidur. Dengan bergelak tawa Linghu Chong berkata, “Hahaha, keenam Dewa Persik bersaudara, hampir saja aku dapat kalian kerjai.” Dengan tertawa pula Enam Dewa Lembah Persik lantas meninggalkan kamar pengantin itu. Begitu sampai di luar mereka langsung berteriak-teriak, “Semoga kedua mempelai panjang umur, menjadi suami-istri selamanya!” Saat itu Pendeta Chongxu sedang bercakap-cakap dengan Mahabiksu Fangzheng di Balai Bunga yang menjadi ruang perjamuan tamu. Ketika mendengar teriakan Enam Dewa Lembah Persik tersebut, ia pun tersenyum. Teka-teki yang terpendam selama tiga tahun di hatinya baru sekarang terjawab sudah. Saat di Biara Wuse waktu itu ia sangat penasaran mendengar Enam Dewa Lembah Persik mengatakan semboyan Sekte Matahari dan Bulan telah berganti dua kalimat. Rupanya inilah semboyan yang mereka maksudkan itu Empat bulan kemudian, pada saat musim semi berlangsung, tampak rumput liar memanjang dan bunga-bunga harum semerbak di mana-mana. Kedua pengantin baru Linghu Chong dan Ren Yingying sedang bersama-sama berangkat ke Gunung Huashan. Linghu Chong bermaksud membawa istrinya itu menyampaikan salam hormat kepada Feng Qingyang, sang kakek guru tercinta. Akan tetapi, meskipun mereka berdua sudah menjelajahi semua lembah pegunungan Huashan, semua puncak, dan menelusuri dengan seksama, namun sedikit pun mereka tidak menemukan jejak orang tua itu. Tentu saja Linghu Chong merasa sangat kesal dan kecewa. Ren Yingying berusaha menghibur sang suami dengan berkata, “Kakek Guru Feng seorang sakti yang suka hidup menyendiri. Beliau bagaikan naga keramat dari kahyangan, bisa melihat kita tapi tidak bisa kita melihatnya. Kemungkinan besar Beliau telah mengembara ke tempat lain.” Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Kakek Guru Feng tidak hanya mahasakti dalam ilmu pedang, bahkan tenaga dalam Beliau juga tiada bandingannya di dunia ini. Selama tiga setengah tahun aku berlatih ilmu tenaga dalam sesuai ajaran Beliau. Aku merasa hampir semua hawa murni liar yang bergolak di dalam tubuhku dapat dimusnahkan.” “Untuk ini kita harus berterima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng,” kata Ren Yingying. “Karena kita tidak berhasil menemui Kakek Guru Feng, maka besok juga kita pergi ke Biara Shaolin saja untuk mengucapkan terima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng.” “Benar,” jawab Linghu Chong. “Mahabiksu Fangzheng telah menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam Kakek Guru Feng itu serta membimbing diriku pula. Kita memang harus berterima kasih kepadanya.” Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Kakak Chong, kenapa kau belum sadar juga? Sebenarnya yang telah kau pelajari itu bukan rumus tenaga dalam milik Kakek Guru Feng, melainkan ilmu sakti dalam Kitab Yijinjing milik Perguruan Shaolin.” “Apa?” sahut Linghu Chong melonjak kaget. “Jadi, ini ... ini ... ilmu dalam Kitab Yijinjing? Dari mana kau tahu?” Ren Yingying menjawab, “Dulu sewaktu kau bercerita padaku bahwa rumus ilmu tenaga dalam ini adalah milik Kakek Guru Feng yang disampaikan kepada Mahabiksu Fangzheng melalui Enam Dewa Lembah Persik, aku langsung curiga. Bagaimana tidak, untuk melatih ilmu ini, sedikit kesalahan saja dapat mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan jiwa bisa melayang. Mana boleh rumus ilmu tenaga dalam sehebat ini disampaikan begitu saja melalui orang lain seperti Enam Dewa Lembah Persik yang dungu itu, bahkan secara lisan? Meskipun Mahabiksu Fangzheng mengaku mereka berenam dipaksa Kakek Guru Feng menghafal rumus itu dengan sekuat tenaga, tetap saja ini sangat berbahaya. Maka, pada suatu kesempatan aku sengaja menanyai keenam bersaudara itu. Mula-mula mereka mengaku bahwa cerita Mahabiksu Fangzheng adalah benar. Namun, begitu aku menyuruh mereka menyebut beberapa kalimat pada rumus tersebut, mereka menjawab secara simpang-siur. Ada yang mengaku sudah lupa, ada lagi yang mengaku tidak mau mengatakannya kecuali kepada Mahabiksu Fangzheng saja. Setelah kudesak lagi, akhirnya mereka pun menceritakan yang sebenarnya. Bahwa demi untuk menyelamatkan jiwamu, Mahabiksu Fangzheng sengaja mengarang cerita bahwa Beliau mendapatkan rumus ilmu ini dari Kakek Guru Feng. Jika tidak begitu, maka kau tidak akan mau mempelajarinya. Enam Dewa Lembah Persik juga dipesan agar merahasiakan hal ini kepadamu.” Linghu Chong tercengang mendengar uraian itu. Sama sekali ia tidak menyangka akan maksud dan tujuan Mahabiksu Fangzheng tersebut. Untuk beberapa lama ia tidak bisa bersuara sedikit pun. Ren Yingying melanjutkan, “Namun, Kakek Guru Feng memang benar-benar bertemu dengan Enam Dewa Lembah Persik. Beliau menyuruh keenam bersaudara itu menyampaikan berita kepada Mahabiksu Fangzheng bahwa sebulan lagi Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu Perguruan Henshan. Maka itu, Perguruan Shaolin lantas menghubungi pihak Wudang dan bersama-sama menghimpun kekuatan dari berbagai golongan lainnya demi membantu pihak Henshan. Sementara itu, mengenai rumus ilmu tenaga dalam tersebut adalah benar-benar ilmu Perguruan Shaolin sendiri.” “Kau sungguh keterlaluan,” gerutu Linghu Chong. “Sudah tahu sejak dulu kenapa baru sekarang kau sampaikan padaku?” Ren Yingying tersenyum menjawab, “Kau sendiri yang keras kepala. Dulu kau terang-terangan menolak tawaran Mahabiksu Fangzheng agar dirimu masuk menjadi murid Perguruan Shaolin dan mempelajari Kitab Yijinjing untuk menyembuhkan penyakitmu. Kau menolak begitu saja dan meninggalkan biara, sampai akhirnya tanpa sengaja menemukan Jurus Penyedot Bintang. Penyakitmu memang sembuh tapi kemudian muncul penyakit baru akibat ilmu ayahku ini. Mahabiksu Fangzheng kembali berusaha menyembuhkan penyakitmu namun tidak berani secara terang-terangan menyebut nama Kitab Yijinjing lagi. Mungkin bagimu lebih baik mati daripada mempelajarinya, bukankah ini konyol? Maka itu, Mahabiksu Fangzheng lantas meminjam nama Kakek Guru Feng untuk menyampaikan rumus ilmu tersebut. Mengingat Kakek Guru Feng juga orang Huashan, maka dapat dipastikan kau tidak akan menolak lagi.” “Oh,” ujar Linghu Chong sambil manggut-manggut. “Kau sengaja merahasiakan hal ini tentu karena kau takut sifat keras kepalaku kembali kambuh sehingga aku menghentikan latihan. Kini setelah tahu penyakitku hampir sembuh, barulah kau mau menceritakan yang sebenarnya.” Ren Yingying kembali tertawa dan berkata, “Benar. Kebandelanmu cukup terkenal. Untuk sifat seperti ini memang perlu sedikit tipuan.” Linghu Chong menghela napas terharu, kemudian ia menggenggam erat tangan Ren Yingying, dan berkata, “Yingying, dulu kau rela mengorbankan jiwamu di Biara Shaolin demi untuk meyakinkan Mahabiksu Fangzheng agar mau mengajarkan Kitab Yijinjing padaku. Meskipun jiwamu diampuni, namun Mahabiksu Fangzheng tetap menganggap Beliau telah berhutang kepadamu. Beliau seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan yang paling terhormat dan harus pegang janji. Maka itu, Beliau tetap mengajarkan ilmu sakti ini kepadaku, meskipun aku bukan murid Biara Shaolin. Ilmu ini kudapatkan melalui pengorbananmu. Seandainya aku tidak memikirkan keselamatanku, tetap saja aku memikirkan jerih payah dan maksud baikmu. Mana mungkin ... mana mungkin aku kemudian menghentikan latihan ini?” Ren Yingying berkata lirih, “Sebenarnya aku juga berpikir demikian. Hanya saja ... hanya saja aku tetap merasa khawatir.” “Baiklah, besok juga kita segera berangkat ke Biara Shaolin. Karena aku sudah mendalami ilmu sakti dalam Kitab Yijinjing, maka aku terpaksa harus bergabung dengan Perguruan Shaolin dan menjadi biksu,” ujar Linghu Chong. Ren Yingying paham suaminya itu hanya bercanda. Maka, ia pun menjawab, “Biksu liar macam dirimu, biara besar tidak sudi menerima, biara kecil tidak sudi menyambut. Mana mungkin Perguruan Shaolin yang memiliki peraturan ketat mau menerima biksu yang gemar minum arak dan makan daging? Dalam setengah hari saja kau akan langsung didepak keluar.” Kedua pengantin baru itu melangkah bergandeng tangan sambil bercakap-cakap mesra. Tampak Ren Yingying berkali-kali menoleh ke sana dan ke sini, seperti hendak mencari sesuatu. “Apa yang kau cari?” tanya Linghu Chong. “Takkan kukatakan kepadamu. Kalau sudah bertemu tentu kau akan tahu sendiri,” sahut Ren Yingying. “Hari ini kita datang ke Gunung Huashan dan tidak berhasil menemukan Kakek Guru Feng. Sebenarnya ini mengecewakan. Tapi, kalau tidak menemukan orang yang satu ini, rasanya lebih kecewa lagi.” Linghu Chong semakin bingung dan bertanya, “Memangnya siapa lagi yang akan kita temui? Siapakah dia?” Ren Yingying hanya tersenyum dan tidak menjawab. Sejenak kemudian ia berkata, “Yang pasti dia bukan Lin Pingzhi. Kau telah mengurung bocah bermarga Lin itu dalam penjara di bawah Danau Barat sana. Kau ini memang pintar. Kau pernah menyanggupi wasiat adik kecilmu untuk selalu menjaga Lin Pingzhi seumur hidupnya. Maka itu, kau lantas mengurungnya di sana, kau beri makan dan pakaian. Dengan begini jiwanya pun terjamin. Kau benar-benar telah menjaga kehidupannya sesuai janjimu. Akan tetapi, untuk teman lamamu yang satu ini aku telah mengatur suatu cara demi menjamin kehidupannya.” Linghu Chong bertambah heran dan merenung, “Teman lamaku? Memangnya siapa yang dimaksudkannya itu?” Namun mengingat sifat Ren Yingying yang cenderung aneh dan lain dari orang-orang pada umumnya, maka ia merasa tidak ada gunanya untuk bertanya lebih lanjut.” Malam itu mereka berdua beristirahat di bilik Linghu Chong yang lama. Meskipun berhadapan dengan seorang istri cantik, namun karena terkenang pada kehidupan masa lalu, hati Linghu Chong merasa berduka. Setelah meneguk arak sampai belasan cawan barulah pikirannya agak tenang. Tiba-tiba Ren Yingying berkata lirih, “Itu dia sudah datang. Marilah kita pergi melihatnya.” Linghu Chong mendengar suara monyet dari arah lembah pegunungan di depan biliknya. Merasa penasaran tentang siapakah orang yang dimaksudkan Ren Yingying itu, tanpa banyak bertanya ia pun mengikuti sang istri berjalan keluar. Ren Yingying bergegas menuju ke arah suara monyet tadi. Dengan cepat ia berlari ke lereng bukit di depan sana. Linghu Chong mengikuti ke mana istrinya melangkah. Di bawah sinar bulan yang cukup terang tampak tujuh atau delapan ekor monyet bertengger di atas bebatuan. Kawanan monyet di Gunung Huashan memang cukup banyak dan hal ini tidak mengherankan bagi Linghu Chong. Namun, tiba-tiba dilihatnya di tengah gerombolan monyet itu ada seorang manusia. Begitu diperhatikan dengan cermat, ternyata orang itu adalah Lao Denuo. Dengan perasaan gusar bercampur senang Linghu Chong segera berbalik hendak mengambil pedang di dalam biliknya. Namun, Ren Yingying buru-buru menarik lengannya dan berkata, “Sabar dulu. Mari kita melihatnya lebih dekat.” Setelah keduanya maju beberapa puluh meter, tampak Lao Denuo sedang diapit dua ekor monyet besar dan diseret ke kanan dan ke kiri begitu saja. Meskipun ilmu silat Lao Denuo cukup tinggi, ternyata ia tidak berdaya melawan dua ekor monyet itu. “Kenapa bisa begitu?” tanya Linghu Chong heran. “Lihatlah dengan lebih jelas. Sebentar lagi tentu kau akan tahu sendiri,” kata Ren Yingying. Sifat monyet pada umumnya adalah suka bergerak ke mana-mana, sehingga Lao Denuo tampak ditarik ke sana dan diseret kemari oleh dua ekor monyet besar itu. Terkadang ia mengeluarkan suara caci maki, namun monyet-monyet itu lantas mencakar wajahnya. Kini Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa tangan kanan Lao Denuo bergandengan dengan tangan kiri monyet sebelah kanan, sementara tangan kirinya juga bergandengan dengan tangan kanan monyet satunya lagi. Sepertinya antara tangannya dengan tangan monyet-monyet itu terikat oleh semacam borgol besi. Linghu Chong mulai paham permasalahannya. Ia pun bertanya, “Tentu ini perbuatanmu, bukan?” “Bagaimana menurutmu?” sahut Ren Yingying balas bertanya. “Apakah kau telah memusnahkan ilmu silatnya?” tanya Linghu Chong. “Tidak, tapi dia telah menerima buah perbuatannya sendiri,” sahut Ren Yingying. Mendengar suara percakapan manusia, gerombolan monyet itu lantas berteriak-teriak melarikan diri ke balik bukit. Tentu saja tubuh Lao Denuo ikut terseret pula. Pada mulanya Linghu Chong ingin membunuh Lao Denuo untuk membalaskan kematian Lu Dayou. Namun, melihat penderitaan Lao Denuo saat ini dalam hati ia merasa puas. Menurutnya, orang tua berambut putih itu telah merasakan hukuman yang lebih berat daripada dipenggal pedang. Ia kemudian berkata kepada sang istri, “Jadi, selama beberapa hari ini orang yang kau cari itu adalah Lao Denuo?” “Benar,” sahut Ren Yingying. “Sewaktu Ayah tiba di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari, Lao Denuo lebih dulu datang menghadap sebelum kita. Dia mengaku telah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis untuk dipersembahkan kepada Ayah dengan harapan mendapatkan perlindungan dan kedudukan yang pantas di dalam Sekte Matahari dan Bulan. Ayah tidak ada kesempatan bicara dengannya dan segera memerintahkan orang untuk menahan dia. Namun kemudian Ayah meninggal dunia, sehingga semua orang menjadi sibuk dan tidak sempat mengurusinya. Akhirnya dia pun ikut terbawa pulang ke Tebing kayu Hitam sebagai tawanan. Setelah lewat belasan hari barulah aku ingat masalah ini. Segera dia kupanggil untuk ditanyai. Ternyata di dalam tahanan ia berusaha melatih Jurus Pedang Penakluk Iblis namun salah jalan sehingga kehilangan semua ilmu silatnya. Orang ini adalah pembunuh adik keenammu, sementara adik keenammu sangat suka memelihara monyet. Oleh sebab itu, aku lantas menyuruh orang mencarikan dua ekor monyet besar, dan memborgol kedua tangannya bersama kedua monyet itu. Kemudian dia kulepaskan di Gunung Huashan ini.” Usai berkata demikian, ia lantas memegangi pergelangan tangan Linghu Chong. “Aih, sungguh tak disangka bahwa selama hidupku juga harus terikat bersama seekor monyet besar seperti ini dan tidak akan terpisah lagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, senyuman yang lembut dan menawan. Linghu Chong membalas senyum. Ia sendiri senang dengan kehidupan yang merdeka dan tidak terkekang. Namun, setelah menikah dengan Ren Yingying, maka keinginannya untuk selalu bebas dan tidak terikat dengan sendirinya tidak dapat terpenuhi. Tiba-tiba hatinya bersenandung mengalunkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Terlintas suatu pikiran dalam benaknya, “Dalam memainkan lagu ini, entah kumainkan dengan nada tinggi, entah dengan nada rendah, dapat kulakukan sesuka hati. Namun, ini hanya bisa kulakukan jika bermain musik seorang diri. Apabila bermain musik bersama Yingying, tentu harus menyelaraskan diri agar tercipta perpaduan yang serasi. Tentu keselarasan tidak bisa kulakukan hanya berdasarkan keinginanku sendiri. Kalau dia memainkan nada tinggi, harus kuimbangi, nada rendah juga harus kuimbangi. Ini baru namanya selaras dan serasi.” Sesaat kemudian Linghu Chong teringat kepada Biara Shaolin dan ia merenung, “Kaum Buddha mementingkan Nirwana, yaitu keadaan kosong, hampa, tanpa keinginan, tanpa pengharapan, dan inilah yang dinamakan bebas tanpa keterikatan. Akan tetapi, hidup di dunia perlu makan, perlu pakaian, juga harus mempertimbangkan orang lain. Bagaimana bisa hidup lepas dari keinginan? Nirwana adalah kehidupan tanpa keterikatan, sementara hidup di dunia selalu penuh dengan keterikatan. Ah, asalkan hidup di dunia tidak memiliki keinginan yang tidak pantas, tentu tidak akan terikat oleh sesuatu yang tidak pantas pula. Inilah yang dimaksud dengan bebas tanpa keterikatan menurutku.”
Mungkinkalau mau dibandingkan dengan cita2 kids jaman now yang pingin jadi Youtuber, cita2 sebagian besar anak di tahun 90'an selain jadi rockstar, adalah pingin jadi pendekar Kungfu. Mereka berpikir, bahwa menjadi ahli Kungfu yang menguasai jurus 9 Matahari (九陽真經) milik Zhang Wuji (Thio Bu Ki), atau 18 Tapak Penakluk
Arus air terjun itu sangat deras sekali, maka dari itu dengan sendirinya tubuh Han Li terbawa hanyut. Han Li berpikir bahwa dirinya akan binasa terbentur-bentur dengan batu gunung yang banyak terdapat disitu, kalau sampai dirinya terdorong oleh arus air terjun yang tumpah dengan derasnya. Pemuda itu memejamkan mata sambil menantikan kematiannya, dengan hati yang kebat-kebit. Meskipun sesuatu yang dapat diramalkan manusia bakal terjadi, namun bila Thian berkehendak lain, tak ada makhluk apapun didunia ini yang mampu mencegahnya, begitu pula dengan Han Li, memang dia belum ditakdirkan untuk mati. Sehingga kejadian yang dianggap mustahilpun bisa terjadi. Dalam waktu yang cukup lama dirinya terbawa hanyut, sampailah dia terdampar di sebuah telaga yang cukup besar. Hamparan air biru di telaga luas itu amatlah menakjubkan. Sinar mentari menyiratkan cahayanya di permukaan air bagaikan sapuan lembut perawan desa di jerami jingga. Cahaya biru kuning memantul disana-sini bercampur warna perak menyatu membentuk benang-benang cahaya yang amat indah, indah dan penuh pesona. Permukaan airnya mengeriput kecil bagai lipatan kain panjang di tubuh bumi. Tiga Burung belibis putih terlihat mengepakan sayapnya diudara menyusuri permukaan telaga. Sungguh pemandangan yang luar biasa indahnya dan sangat alami tanpa terjamah tangan-tangan jahil manusia. Entah berapa lama pemuda itu tertidur di pesisir telaga, kemudian terbangun, matanya terbuka dan dilihatnya pemandangan telaga yang sungguh indah. Cukup lama juga dia terpesona dengan pemandangan dihadapanya, lalu kepalanya menengok kekiri dan kekanan. Tampak di sebelah kirinya terdapa sebuah gua yang cukup besar. Han Li menghampiri gua tersebut, ternyata di dalam gua tersebut tampak sebuah ruangan yang seperti dibuat oleh tangan manusia. Malah yang mengherankan, ruangan tersebut di lengkapi dengan alat-alat perabotan rumah tangga, seperti kursi dan meja. Han Li mengerutkan alisnya. "Siapa yang mendiami ruangan tempat ini?" pikir pemuda itu dengan heran dan kebingungan, sejenak terlupa akan dirinya yang terluka. Apakah didalam ruangan ini terdapat seseorang yang tinggal mendiami tempat yang aneh dan letaknya sangat tersembuni ini? atau tempat ini merupakan tempat tinggal seorang tokoh aneh yang mengasingkan diri?. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya. Setelah diteliti beberapa lama, dia dapat mengambil kesimpulan bahwa tempat ini sudah lama sekali tidak di tinggali oleh pemiliknya, buktinya debu yang terdapat dilantai, meja dan kursi, hampir setebal 2mm. Tiba-tiba hati Han Li tertarik ketika ia melihat goresan-goresan lukisan dan huruf yang yang tertera di dinding ruangan itu, karena seperti pernah melihat huruf-huruf itu. Tergetarlah hatinya karena ingat bahwa huruf-huruf tersebut sama persis dengan huruf-huruf yang ada dalam peta kuno. Segera dikeluarkan peta kuno tersebut. Dan benarlah sama persis gambar dan hurufnya, tentu saja ini menunjukkan bahwa pembuat peta dan pelukis dinding ini adalah orang yang sama. Tak dapat dibayangkan betapa gembiranya Han Li karena semua hasil kerjanya membuahkan hasil. Han Li kemudian masuk lebih dalam dan ternyata didalam ruangan tersebut masih terdapat sebuah ruangan lainnya. Hati pemuda itu terkejut bukan main, karena di sebuah pembaringan batu disudut ruangan dalam itu, tampak seorang kakek sedang duduk bersemedi. Seluruh rambutnya telah memutih dengan jenggot putih menutupi sebagian wajahnya yang berkerut. Raut wajah yang welas asih dan damai. Si pemuda menjadi heran, apakah kakek tua yang berambut dan kumis jenggot telah putih semua itu, pemilik tempat ini?. Han Li kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil memberi kormat kepada kakek itu. "Boanpwe Han Li mengunjuk hormat pada Lo Cianpwe, Dengan memberanikan diri dan lancang sekali Boanpwe telah memasuki tempat Lo Cianpwe". Menunggu beberapa lama, tapi kakek itu tetap bersemedi seperti tidak mengacuhkannya. Si pemuda sangat heran, dia duga kakek itu tentunya tidak senang akan kehadirannya. Tapi setelah menunggu sekian lama tak ada reaksi pula, pemuda iru melangkah menghampirinya. "Apakah kakek ini telah meninggal?" Dilihatnya biarpun wajah si kakek itu tampak hidup namun tak tampak cahaya kehidupan. Han Li menghampiri lebih dekat lagi, dilihatnya kakek itu masih berdiam diri. Kemudian setelah menjura dia memegang baju si kakek, dan begitu tersentuh baju itu meluruk jadi abu. Ternyata benar dugaannya. Han Li lalu menyentuh tangannya, dirasakan tangan itu telah mengeras dan dingin sekali. Kalau dilihat bajunya yang begitu tersentuh terus melepuh menjadi abu, tentunya kakek itu telah menghembuskan napasnya sudah beberapa waktu yang lama sekali dan telah silam. Namun kalau memang si kakek telah binasa pada waktu yang silam, mengapa tubuhnya tidak hancur lebur ? Mengapa? - demonking - Pada dasarnya Sie Han Li adalah seorang pemuda yang berperasaan halus. Melihat seorang kakek tua yang telah sekian lama meninggal dunia namun jenasahnya tidak ada yang mengurus, hatinya merasa tidak tega. Sambil menjura dalam ke arah jenasah si kakek tua tersebut, Sie Han Li berkata "Mohon maaf locianpwe apabila kedatangan cayhe telah menganggu ketentraman, cayhe mohon ijin untuk menguburkan jenasah locianpwe agar dapat beristirahat lebih tenang" Setelah memberi hormat, Han Li menghampiri kakek tua tersebut. Singkat cerita jenasah si kakek berhasil di kubur Han Li di depan gua tersebut. Kemudian Han Li memasuki kembali gua tersebut guna menyelidiki lebih jauh goresan-goresan yang tertera di dinding gua. Begitu memasuki kembali gua itu, tanpa sengaja pandangan Han Li mengarah ke tempat samadhi si kakek tua. Terlihat sinar kecil keemasan seukuran stengah telapak tangan dewasa. Tertegun sejenak, Han Li menghampiri sinar keemasan tersebut, ternyata adalah sebuah kunci emas. Rupanya ketika menganggkat jenasah si kakek, ia tidak begitu memperhatikan bahwa di bawah tempat duduk si kakek tersebut terdapat sebuah benda yang disembunyikan di bawah tubuh kakek itu. Sambil mengamati kunci emas tersebut, Han Li mengira-ngira apa kegunaan kunci emas tersebut, bentuknya mirip kunci pada umumnya, yang membedakan hanya terbuat dari emas murni. Sambil termenung sejenak, Han Li memasukkan kunci emas tersebut ke dalam sakunya, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah dinding gua. Tulisan yang terdapat di dinding gua tersebut memang sama persis dengan tulisan di peta kuno, setiap lekuk huruf-hurufnya mirip tanda orang yang membuat peta kuno itu dengan tulisan yang terdapat di gua ini adalah orang yang sama. Sekian lama mengamati dinding gua tersebut, Han Li mendapati di bagian bawah dinding gua tersebut masih terdapat goresan tulisan yang lebih kecil, tertutup lumut hijau, agak terpisah dari goresan sebelumnya. Apabila matanya kurang jeli, jelas goresan itu akan terlewatkan. Tertarik hatinya, Han Li mendekat ke arah dinding gua tersebut. Sambil jongkok, tangannya meraba bagain bawah dinding tersebut. Lumut hijau yang menutupi tulisan di dinding, dibersihkannya hingga akhirnya goresan tulisan yang lebih kecil itu terlihat semuanya. Begitu melihat tulisan tersebut, Han Li merasa gembira ketika ia mendapati tulisan tersebut di tulis dalam bahasa yang dimengertinya. Jelas tulisan itu dengan tulisan di atasnya dibuat oleh dua orang yang berbeda. Dengan cepat ia mulai membaca tulisan tersebut. "Barang siapa yang berjodoh memasuki gua ini, berarti memiliki peruntungan yang sama denganku. Aku sendiripun tidak tahu siapa kakek tua yang ada di gua ini namun dugaanku, berdasarkan tulisan yang ia tinggalkan di dinding gua ini, kakek tua tersebut mungkin adalah pelayan atau murid atau orang kepercayaan si pemilik ilmu "Matahari". Sungguh beruntung aku sedikit memahami bahasa Thian-Tok Indiahingga petunjuk yang terdapat di didnding ini dapat kumengerti cukup jelas. Apabila yang menemukan gua ini tidak mengerti arti tulisan di atas, berikut adalah ringkasannya. Tulisan di atas pada intinya memberitahu letak disembunyikannya ilmu silat maha tinggi yang bernama ilmu silat "Matahari". Gambar di atas merupakan gambar puncak pegunungan Ko-San, begitu tiba di puncak tersebut, harap mengarah ke arah Timur kira-kira 1-2 mil, carilah sebuah lubang kira-kira seukuran badan manusia. Lubang tersebut merupakan jalan masuk yang mengarah ke lorong yang menuju ke bawah tanah. Uraian lebih lanjut tidak kujelaskan untuk menghindari ada orang yang memasuki gua ini setelah aku berlalu dari sini tak lama kemudian. Namun apabila orang yang masuk ke dalam gua ini kira-kira bertahun-tahun kemudian, nasehatku adalah segeralah pergi ke puncak gunung Ko-San. Siapa yang tahu apakah aku berhasil mendapatkan rahasia ilmu "Matahari" tersebut atau tidak. Bulan ketiga, tahun ke sebelas dinasti Tang Sehabis membaca tulisan tersebut, diam-diam Han Li kecewa. Ternyata telah ada orang yang berhasil memecahkan rahasia peta kuno tersebut. Hanya saja dilihat dari selang waktu dirinya memasuki gua ini dengan orang yang pertama kali datang, kira-kira berselang lima puluh tahunan. Entah apakah orang tersebut masih hidup dan berhasil mempelajari ilmu "Matahari" itu atau tidak, gumamnya. Dengan langkah gontai Han Li merebahkan diri di lantai gua, perasaan letih menghinggapi sekujur tubuhnya. Sambil berbaring dengan mata terbuka Han Li mengenang semua peristiwa selama berbulan-bulan semenjak ia menemukan peta kuno tersebut. Dia sendiri tidak tahu apakah tetap pergi ke puncak gunung Ko-San ataukah melanjutkan perjalanannya terdahulu yang sempat tertunda karena peta kuno tersebut. Sambil termenung Han Li mengamati sekawanan kunang-kunang yang beterbangan di langit-langit gua, mereka bersinar seolah menyambut kedatangannya bercanda gembira riang. Mata Han Li tak berkedip menatap ratusan cahaya kecil yang tersibak oleh gelap malam. Ia menahan nafas, menggagumi keindahan cahaya yang berpendar di atas langit-langit gua. Sekonyong-konyong matanya menangkap sesuatu di langit-langit gua, lapat-lapat matanya yang tajam melihat sebarisan huruf yang sangat kecil. Apabila dirinya tidak begitu kesengsem terhadap kawanan kunang-kunang tersebut, dapat dipastikan huruf-huruf tersebut terlewatkan olehnya. Dengan perasaan tertarik, Han Li bangkit berdiri. Sambil mendonggakkan kepala ia berusaha membaca tulisan kecil-kecil yang tertera di langit gua. Tulisan tersebut mirip dengan tulisan yang tertera di dinding gua dan berbunyi.... Siapapun yang ingin mendapatkan ilmu maha lihai peninggalan couwsu tidak akan berhasil apabila tidak memiliki kunci emas. Siapapun yang berhasil mendapatkan kunci emas tersebut, berhak menjabat sebagai ketua perguruan generasi ke lima menjaga dan mengembalikan kejayaan perguruan selama hidupnya. Siapa yang beruntung memiliki kunci emas ini, terserah pada Thian.
PendekarMatahari Pdf. Cersil 14 jodoh si naga langit tamat kho ping hoo pdf download tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. Cersil pdf hina kelana 2 ( mentertawakan dunia persilatan.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Serial Silat Mandarin menjadi tontontan favorit anak generasi tahun 1980 sampai tahun 2000 awal, saat itu siapa yang tidak kenal dengan cerita Yo Ko dan bibi lung dalam cerita trilogy pendekar rajawali? . Begitu populernya sehingga banyak novel cerita silat yang kemudian di adaptasi ke layar TV ataupun layar lebar. Tetapi setelah melewati tahun 2000, kepopulerannya mulai memudar, pergantian generasi kawula muda yang lebih baru kurang berminat terhadap cerita silat, lebih memilih serial barat, kemudian sekarang ini lebih ke drama korea atau disingkat drakor. Bahkan produksi serial silat pun sudah berganti dari yang dulunya Wuxia, sekarang lebih cenderung ke Xianxia yang berunsur adaptasi yang menggunakan cerita populer dari trio tripod Wuxia Jin Yong, Gu Long, Liang Yusheng masih tetap sering diremake beberapa judulnya, tetapi cenderung sudah berubah gaya produksinya. Seakan mengikuti perkembangan jaman, ceritanya mulai dibuat melenceng dari cerita asli, menambah kisah romance yang lebih banyak, penggunaan efek-efek kamera dan video yang banyak, serta koreografi yang berubah banyak dibanding serial tv adaptasi silat jaman dulu. Dari sekian banyak adaptasi yang diremake berulang kali tersebut, mana sajakah yang merupakan 8 Serial Silat Mandarin terbaik sepanjang masa? 1. Pedang Langit dan Golok Naga tahun 1986 Adaptasi Pedang Langit dan Golok Naga terbaik jatuh pada yang versi tahun 1986, diperankan oleh Tony Leung sebagai Tio Buki Zhang wuji dalam mandarin, dan Kitty Lai sebagai Tio Beng Zhao Min dalam bahasa mandarin. Cerita ini lebih dikenal dengan judul hokkiennya yaitu To Liong To. Bercerita tentang bagaimana Tio Buki menjadi penengah dalam perselisihan antara Enam Partai lulus dan Sekte Ming, yang ternyata di balik perselisihan mereka terdapat seseorang bernama Cheng Kun yang bekerja dengan Mongol sengaja mengadu domba dan membakar agar kedua kubu saling bertarung, yang nantinya setelah Sekte Ming hancur, maka pemerintahan Mongol akan mengambil alih dunia persilatan dengan Buki yang merupakan anak dari seorang murid dari partai Wudang butong phai, nantinya secara tidak sengaja mempelajari ilmu utama dari sekte Ming, dan kemudian diangkat menjadi ketua dari sekte Ming setelah berhasil mencegah sekte Ming dari kemusnahan. Sekte Ming ini akan menjadi pusat kekuatan pemberontakan dalam menghadapi pemerintahan Mongol yang saat itu menguasai daratan tengah tiongkok. Tidak terlupakan Tio Buki juga harus menghadapi masalah cinta segitiga dengan kedua wanita, Ciu Ci Jiak mandarin zhou zhiruo dan Tio Beng mandarin zhao min, yang satu adalah teman masa kecil, yang satu lagi awalnya musuh yang berubah jadi cinta. 2. Kembalinya Pendekar Rajawali tahun 1983Yang peringkat kedua ini, merupakan cerita yang dibuat oleh pengarang yang sama dengan cerita Pedang Langit dan Golok Naga. Keduanya merupakan karya almarhum Jin Yong. Kisah kembalinya pendekar Rajawali ini menggunakan setting cerita sebelum cerita Pedang Langit dan Golok Naga. Setting waktu-nya adalah saat mendekati akhir dinasti Song , dimana Mongol berusaha untuk menyerang dan menguasai dinasti Song. the Return of the Condor Heroes 1983 ini diperanin oleh Andy Lau sebagai Yoko, dan Idy Chan sebagai gadis naga kecil atau bibi lung atau siauw liong lie. Adaptasi ini sempat ditayangkan di Indosiar pada jaman dahulu dan sangat populer, bahkan ditayang ulang sampai berulang kali. Bukan hanya di Indonesia, adaptasi ini juga dianggap sebagai yang terbaik dan memiliki rating tertinggi di negara asalnya pada tahun kisah tentang cinta terlarang antara tokoh utama bernama Yoko mandarin Yang Guo dengan guru ilmu silatnya yaitu siauw liong lie mandarin Xiao Long Nv . Saat jaman dulu era dinasti Song, seorang guru sudah dianggap seperti orang tua sendiri tingkatannya, sekali guru maka selamanya guru, sehingga hubungan asmara dianggap tabu kala itu. Hubungan mereka ditentang oleh Paman angkat Yoko yang bernama Kwee Ceng dan juga semua orang dunia surut dalam hubungan asmara tabu itu, ditambah dengan gejolak dunia persilatan karena campur tangan Mongol, menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh Yoko sepanjang cerita. Versi tahun 1983 ini merupakan versi yang paling dipuji oleh Jin Yong Pendekar Hina Kelana tahun 2001 1 2 3 4 Lihat Film Selengkapnya
Sinarmentari menyiratkan cahayanya di permukaan air bagaikan sapuan lembut perawan desa di jerami jingga. Cahaya biru kuning memantul disana-sini bercampur warna perak menyatu membentuk benang-benang cahaya yang amat indah, indah dan penuh pesona. Permukaan airnya mengeriput kecil bagai lipatan kain panjang di tubuh bumi.Pendekar Sadis Merupakan Seri kelima dari Serial Pedang Kayu Harum karangan Kho Ping Hoo, cersil ini merupakan lanjutan dari kisah sebelumnya yaitu pendekar Lembah Naga. "Cuplikan Pagi yang sangat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga begitu indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa kegembiraan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan sinarnya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, menimbulkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang terkecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara mau pun yang berjalan dan merayap di atas bumi. Matahari pagi yang demikian indahnya, sinar keemasan yang menerobos lewat di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seakan-akan mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, tetapi hanya sementara saja. Demikian pula dengan sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan." Loading....
CeritaSilat Pdf Download. Edisi 3 (mayoritas bahasa mandarin): Pertarungan di lembah selaksa Download Cerita Silat Mandarin Pendekar Matahari Pdf from www.arja.my.id Thanks to spcnet untuk saling berbagi. Download cerita silat mandarin dari pengarang / penyadur lain [pdf] karya boe beng. Pendekar pemanah rajawali (sia tiaw eng hiong) kembalinya pendekar rajawali (sin tiaw
Kala pagi datang, matahari dengan setia menyambut. Memberikan sinar yang cerah bagi seluruh makhluk di dunia. Kala sore akan pergi, dengan lembutnya matahari terbenam, turun hingga tak terlihat. Di kala itu sang bulan dengan setianya menggantikan matahari. Menerangi alam ini yang gelap gulita. Tak ketinggalan bintang pun setia menemani sang bulan.... memberikan kilaunya yang indah. Puncak gunung Ko-San diselimuti awan. Malam itu tidak cerah. Gumpalan awan hitam terlihat menghalangi cahaya jutaan bintang yang bertebaran di langit. Angin menderu dengan perlahan, sesosok tubuh seorang pemuda yang baru menanjak dewasa terlihat mulai menggigil di tengah embusan angin malam. Pakaian tipis namun bersih yang dikenakannya tidak mampu menghilangkan rasa dingin yang menggigit tulang. Wajahnya yang cukup tampan terlihat pucat pasi dan kesan gagah dari tubuhnya yang tegap sedikit menghilang. Yang cukup mengherankan adalah keberanian pemuda itu mendaki puncak gunung yang terkenal akan lereng-lereng dan jurang yang curam. Para pemburu binatang yang paling ahlipun akan berpikir seribu kali sebelum memutuskan mendaki puncak gunung Ko-San ini, terlebih di malam hari yang kelam seperti ini. Dengan wajah penuh tekad, pemuda itu meneruskan perjalanan panjang menembus kegelapan malam di tengah angin dingin yang menderu kencang. "Semoga peta petunjuk ini benar adanya, kalau tidak sungguh sia-sia aku melakukan perjalanan sejauh ini" batin si pemuda sambil tangannya meraba kantung baju sebelah kiri dan mengeluarkan secarik kain tua dengan hati-hati seolah-olah sangat takut kehilangan kain tersebut. Terbayang ketika ia tanpa sengaja memperoleh peta yang diburu oleh segenap kaum sungai telaga dari seorang pengemis tua yang ditolongnya di tepi hutan belantara di keresidenan Siang-Yang. Pengemis tua itu sudah empas-empis nafasnya ketika ia melewatinya. Didorong rasa kasihan si pemuda merawat pengemis tua itu dengan telaten. Ia merasa kasihan melihat pengemis tua yang tiada sanak saudara, di waktu ajalnya yang sudah mendekat, sendirian dan sakit-sakitan. Sungguh dirinya tak menyangka sama sekali, seorang pengemis tua yang sakit parah dan sebentar lagi meninggalkan dunia yang fana ini, memiliki barang mestika yang diincar kaum persilatan selama puluhan tahun ini. Belum sempat menanyakan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, pengemis tua tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan seorang pemuda yang tidak dikenalnya sama sekali namun merelakan satu-satunya barang pusaka yang dimilikinya kepada si pemuda tersebut. Singkat cerita setelah mengubur pengemis tua tersebut, si pemuda yang bernama Sie Han Li, dengan hati yang berdebar-debar membuka kain tua peninggalan pengemis tersebut. Ternyata kain tua tersebut melukiskan suatu pemandangan puncak gunung disertai tulisan-tulisan yang tidak dimengertinya. Kelihatannya huruf-huruf yang tertera di atas kain itu berasal dari luar daratan, mungkin berasal dari negeri Thian-Tok India, duga Sie Han Li. Walaupun sebagai seorang yang baru terjun di dunia kangouw, namun peta kuno yang berisi rahasia ilmu silat peninggalan jenius silat ratusan tahun yang lalu, sudah didengarnya sejak ia baru belajar ilmu silat. Kabarnya siapa yang berhasil mempelajari rahasia ilmu silat "Matahari" peninggalan maha guru tersebut akan menjagoi dunia persilatan, hingga tidak heran peta kuno tersebut dicari-cari kaum persilatan. Sayangnya, hingga puluhan tahun sejak tersiar kabar mengenai peta kuno tersebut, tiada seorangpun yang tahu di tangan siapa peta kuno itu berada. Lambat laun seiring waktu kehebohan itu mereda dan mulai dilupakan orang. Tapi beberapa bulan belakangan ini, pencarian peta kuno tersebut kembali menghangat sejak diterima berita bahwa peta kuno tersebut berada di tangan seorang pendekar tua yang dikenal dengan julukan Pat-ciu-sian-wan Lutung sakti tangan delapan. Pat-ciu-sian-wan sendiri hanya dikenal oleh kaum persilatan sebagai jago silat kelas dua, suka hidup menyendiri tanpa sanak saudara, sering berkelana dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sejak berita tersebut tersiar ke seluruh penjuru sungai telaga, nama Pat-ciu-sian-wan menjadi bahan pembicaran dan di cari oleh kaum persilatan yang ingin merebut peta kuno tersebut. Kelanjutannya mudah ditebak, pertempuran sengit, bunuh membunuh membuat dunia persilatan yang selama ini tenang kembali bergolak kencang. Selama beberapa bulan belakangan ini, dunia persilatan dilanda kekacauan hebat hanya oleh secarik kain tua berisi rahasia ilmu silat mandraguna. Kembali ke Sie Han Li, menyadari peta tersebut sangat berharga dan bahaya yang mengancamnya apabila sampai diketahui umum bahwa dirinyalah yang berhasil mendapatkan peta kuno tersebut, Sie Han Li segera menyimpan kain kuno tersebut dan hanya ia keluarkan apabila yakin tak ada seorangpun yang melihatnya. Melalui serangkaian usaha yang melelahkan selama beberapa bulan ke depan, akhirnya Sie Han Li mengetahui bahwa pemandangan puncak gunung seperti yang terlukis di peta kuno itu merupakan gambar puncak gunung Ko-San. Penemuan tersebut juga terjadi tanpa disengaja ketika ia memasuki sebuah kedai arak di tengah kota Peking yang megah. Di salah satu dinding kedai arak tersebut tergantung sebuah lukisan pemandangan gunung yang sangat indah. Begitu melihatnya hati Sie Han Li berdesir, gambar puncak pegunungan tersebut sungguh mirip dengan gambar yang tertera di peta kuno. Kejadian yang begitu kebetulan, sungguh jarang terjadi. Melalui salah seorang pelayan kedai tersebut, Sie Han Li mendapat tahu nama si pelukis yang tinggal di pinggir kota Peking. Dari keterangan pelukis itulah akhirnya Sie Han Li mendapat tahu gambar pemandangan itu adalah gambar yang melukiskan puncak gunung Ko-San. Begitu mengetahui gambar yang tertera di peta kuno tersebut adalah gambar pemandangan salah satu puncak gunung Ko-San, tanpa membuang-buang waktu segera melakukan perjalan an ke pegunungan Ko-San. Sejauh ini dirinya berhasil menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut namun akibat sedikit keteledorannya, rahasia tersebut berhasil diketahui orang. Dalam perjalanan menuju puncak gunung Ko-San, pada suatu hari yang cerah ketika matahari bersinar terang dan burung-burung berkicauan di antara pepohonan yang rimbun, di pinggir jalan setapak di tepi hutan, Sie Han Li beristirahat sejenak melepaskan lelah. Dia duduk di bawah pohon yang rimbun dengan semilir angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang masih belum hilang kanak-kanaknya dengan lembut. Sie Han Li diam beberapa saat menikmatinya, matanya menyusuri jalan setapak yang saat itu lenggang, hanya suara desir angin menyapu indah berbaur debu. Merasa nyaman, Sie Han Li untuk ke sekian kalinya mengeluarkan peta kuno dari saku bajunya. Entah berapa puluh kali ia mengamati secarik kain berisikan gambar peta yang melukiskan pemandangan puncak gunung Ko-San tersebut. Setiap kali melihatnya, semakin bingung dirinya. Di samping tidak mengerti sedikitpun huruf-huruf yang tertulis di peta, jalan-jalan yang digambarkan membuatnya bingung juga. Ingin sekali secepatnya tiba di puncak gunung Ko-San, petunjuk jalan di peta ini lebih dapat dimengerti, gumamnya sambil mengamati peta tersebut. Begitu tengelamnya ia dalam lamunan sehingga derap kaki kuda yang lamat-lamat terdengar di kejauhan tak didengarnya. Derap kaki kuda itu semakin mendekat, tahu-tahu dari ujung belokan di depan jalan setapak itu muncul seekor kuda dengan irama teratur menghentakkan Sie Han Li dari lamunannya. Buru-buru ia memasukkan tangannya yang memegang peta kuno itu ke dalam saku. Namun kelihatannya sudah terlambat, si penunggang kuda itu adalah seorang pria berusia seikitar empat puluh tahunan dengan wajah berewok dan sinar mata yang tajam, menyiratkan kecerdikan dan kekejaman sekaligus. "Bocah muda, benda apa yang engkau pegang di tanganmu itu, coba kemarikan untuk kulihat" perintah si penunggang kuda dengan suara yang menggelegar. Melihat yang datang adalah seorang pria yang gelagatnya tidak mempunyai niat baik terhadapnya, dengan cerdik Sie Han Li berlagak seperti orang desa. "Maaf Tuan, benda itu bukan barang berharga, hanya sebuah sapu tangan pemberian ibuku" jawab Sie Han Li berlagak ketakutan. Sebenarnya pria di atas tunggangan itu adalah seorang kepala perampok yang kebetulan lewat, dalam perjalanan menemui gerombolannya yang bermarkas di sebelah dalam hutan. Dia bernama Coa Kiu dan biasa di panggil tai-ong oleh para pengikutnya. Gerombolan pimpinan Coa Kiu ini sangat terkenal dan ditakuti para saudagar-saudagar, hartawan, yang melintasi daerah ini. Pihak pemerintah sendiri sudah berulangkali berusaha menumpas gerombolan perampok ini dibantu oleh pendekar-pendekar silat setempat. Namun sejauh ini tidak berhasil, bahkan banyak korban yang berjatuhan baik para prajurit pemerintahan maupun para pendekar setempat. Kelihaian ilmu silat Coa Kiu termasuk kelas satu hingga tidak heran para prajurit dan pendekar setempat kewalahan menghadapinya. Selama belasan tahun ini, gerombolannya malang melintang tanpa tandingan. Di samping ilmu silat yang tinggi, Coa Kiu sendiri memiliki hubungan yang baik dengan sesama kalangan hitam di dunia persilatan dan kalangan pejabat pemerintahan yang korup. Ia tidak segan-segan memberikan hadiah-hadiah mahal buat para sahabatnya itu. Di samping itu, Coa Kiu sendiri tidak mau terlalu gegabah dalam bertindak. Ia tidak pernah menganggu kaum kangouw yang kebetulan melintas, para pejabat pemerintahan dan perusahaan piuwkiok perusahaan pengantar barang yang telah memberi upeti. Kepura-puranan Sie Han Li yang baru terjun di sungai telaga tentu saja tidak dapat mengelabui Coa Kiu yang berpengalaman puluhan tahun. "Ha..ha..ha..bocah tengik, engkau tidak usah berpura-pura bodoh. Sebaiknya segera engkau keluarkan barang yang ada disaku bajumu itu, apabila benda itu cukup berharga buatku, engkau akan akan kubiarkan engkau berlalu dari sini, tapi kalau tidak hmmm tahu sendiri akibatnya" Raut wajah Sie Han Li berubah cepat dari ketolol-tololan menjadi biasa kembali bahkan terbayang keangkuhan yang tinggi tanda ia tidak sudi dihina orang. "Kalau aku tidak mau menyerahkannya bagaimana?" tantangnya "Sungguh bocah yang berani tapi kali ini engkau terbentur ditanganku, jangan harap engkau lolos!" seru Coa Kiu sambil melompat turun dari kuda tunggangannya. Gerakannya sangat lincah dan mantap. Sie Han Li sendiri berdiri dengan tenang menanti serangan lawan. Tanpa basa-basi begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, Coa Kiu langsung mencabut golok yang berada di punggungnya, menyambar ke arah Sie Han Li dengan hebatnya. Biarpun kelihatannya Coa Kiu menganggap remeh Sie Han Li namun dirinya tetap berhati-hati. Sikap hati-hati ini sudah terbukti berulangkali menyelamatkannya dari beberapa peristiwa selama berkecimpung di sungai telaga. Dengan gerakan yang tenang Sie Han Li memutar tubuh menghindari sabetan golok lawan. Melihat serangan pertamanya gagal, Coa Kiu menyusuli dengan jurus ke dua, ketiga dan seterusnya namun sejauh ini Sei Han Li berhasil mengelak dari serangan goloknya. Dengan mengereng murka, Coa Kiu memainkan golok semakin menghebat, melancarkan serangan-serangan maut. Ilmu golok yang dimainkan merupakan ilmu kebanggaannya, hasil petunjuk seorang tokoh hitam angkatan tua yang terkenal. Pertempuran itu semakin hebat, terjangan Coa Kiu membuat Sie Han Li sedikit kewalahan. Ini adalah pertempuran pertamanya sejak turun gunung hingga tidak heran hatinya rada gugup, terlebih lawannya ini tidak boleh di anggap enteng. Sebenarnya ilmu silat yang dipelajarinya selama ini mampu untuk menghadapi lawan setingkat Coa Kiu ini tapi karena hatinya goyah, Sie Han Li menjadi keteteran dan tertekan lawan. Coa Kiu sendiri tidak kalah kagetnya melihat seorang pemuda yang belum hilang bau pupuknya ini mempunyai ilmu silat yang mengejutkan. Memang gerakan-gerakannya masih sedikit kaku tapi jurus-jurus yang dimainkan Sie Han Li sungguh lihai, mampu mengimbangi jurus-jurus golok kebanggaannya. Puluhan jurus kembali berlalu, gerakan Sie Han Li semakin lancar. Melihat dirinya masih mampu bertahun sejauh ini, hatinya semakin mantap dan otomatis jurus-jurus yang dimainkannya semakin mantap. Di lain pihak, dari kaget Coa Kiu menjadi semakin murka, mau ditaruh kemana mukanya apabila anak buahnya menyaksikan dirinya tidak dapat merobohkan seorang pemuda tanggung. Diam-diam dirinya meulai mempersiapakn jurus-jurus simpanan yang biasanya hanya ia keluarkan apabila dalam keadaan terdesak atau menghadapi lawan yang tangguh. Tiba-tiba goloknya berubah menjadi gulungan-gulungan sinar, mengurung seluruh tubuh Sie Han Li dengan mengeluarkan angin yang menderu-deru. Melihatan perubahan ilmu golok lawan bagaikan angin badai menerjang ke arah dirinya, hati Sie Han Li tercekat dan gugup. Belum pernah dirinya mengalami kejadian seperti ini, seolah-olah dari segala penjuru, beberapa puluh batang golok mengincar setiap titik-titik mematikan di tubuhnya. Dengan terburu-buru Si Han Li berusaha menghindar ke sana kemari namun ujung golok Coi Kiu seolah mempunyai mata, terus mengincar tubuh lawan. Situasi berubah dengan cepat, keadaan Sie Han Li bagaikan perahu di lautan luas yang diterjang badai ombak dari segala arah. Sambil bersuit keras Sie Han Li berusaha keluar dari kurungan golok lawan, gerakan tubuhnya berubah menjadi bayangan, berkelabat ke sana kemari, semakin lama semakin cepat, bayangan tubuhnya terlihat kabur. Namun dalam suatu kesempatan, ujung golok Coa Kiu gagal diantisipasi Sie Han Li. Sekonyong-konyong Sie Han Li merasakan bahu kirinya sakit tak terperikan, cocoran darah segar segera mengalir dengan deras dari bahunya. Melihat goloknya berhasil menembus bahu lawan, Coa Kiu semakin bersemangat. Dengan beringas goloknya menyambar-nyambar mencari sasaran baru. Gerakan tubuh Sie Han Li sendiri sedikit sempoyongan, darah segar yang terus mengalir dari balik bahu, membuat dirinya sedikit lemas. Sambil mengigiit ujung bibirnya keras-keras, Sie Han Li berusaha bertahan bagaikan seekor kijang yang dikejar harimau buas. Situasinya benar-benar berbahaya bagi jiwa Sie Han Li, setiap waktu tubuhnya yang mulai melemah rentan ditembus ujung golok Coa Kiu. Suatu ketika, ujung golok Coa Kiu kembali berhasil menggores lengan kanan lawan dan membuat gerakan Sie Han Li semakin lemah. Di saat yang benar-benar berbahaya tersebut, tiba-tiba selapis sinar kecil berwarna kehijau-hijauan menyelak diantara gulungan sinar golok yang mengurung tubuh Sie Han Li, langsung mengancam mata kiri Coa Kiu. Coa Kiu sendiri yang gembira melihat sebentar lagi dapat merobohkan lawan, terkesiap melihat secersik senjata rahasia menyambar ke arah matanya. Dengan tergopoh-gopoh ia menarik goloknya dan mundur kebelakang beberapa tindak. Untung berkat kesigapannya, am-gi yang menyambar datang dengan kecepatan kilat tersebut dapat dihindarinya, lewat beberapa dim di samping kepalanya. Hatinya semakin tercekat ketika mengetahui senjata rahasi yang menyambar tadi adalah hanya selembar daun saja. Dari arah sebelah timur dari balik rerimbunan pohon nampak muncul dua sosok tubuh. Sosok pertama adalah seorang nenek tua berjalan mendekat sambil mememegang tongkat, jalannya sedikit terseok-seok tanda usia tua mulai mempengaruhi tubuhnya yang ringkih. Rambutnya sudah memutih seluruhnya, raut wajahnya berkeriput namun masih nampak garis-garis kecantikan di masa muda. Di sebelah nenek tua itu, berjalan seorang gadis remaja berusia belasan tahun, mungkin sekitar tiga belas tahunan. Wajahnya cantik, putih segar dengan sepasang alis yang lentik dan sinar mata yang jernih. Dapat dipastikan beberapa tahun lagi, gadis remaja ini akan menjelma menjadi dara muda yang memiliki kecantikan yang sangat sempurna. Gerak-geriknya lincah, sambil memegang tangan si nenek, gadis tersebut mengamati ke sekelilingnya dengan pandangan yang riang gembira bagaikan seekor burung yang baru lepas dari sangkarnya. "Siapa yang melepaskan am-gi tadi, berani sekali mencampuri urusanku!" bentak Coa Kiu sambil memandang ke arah si nenek tau dan si gadis remaja. "Siau Yi Yi kecil, coba engkau bereskan orang yang teriak-teriak tadi, kupingku rasanya pekak mendengarnya." "Baik Nek!" jawab gadis kecil yang dipanggil Siau Yi ini. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat lincah bagaikan seekor kupu-kupu kecil, tubuhnya yang ramping melayang ke arah Coa Kiu. Kecepatannya sungguh sangat mengagumkan, tahu-tahu dalam waktu sepersekian detik tiba dihadapan Coa Kiu, tanganya yang langsing lansung menyambar ke arah wajah Coa Kiu. Coa Kiu sendiri hanya melihat sekelabatan bayangan kecil yang tak dapat diikuti dengan matanya yang tajam, tahu-tahu mukanya yang berewokan merasakan tamparan yang membuatnya terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak. Belum sempat bereaksi, kembali datang serangan ke arah mukanya. Kali ini Coa Kiu berusaha menghindar namun tetap saja terlambat. Ia hanya merasakan wajahnya sangat sakit terutama di bagian sekitar berewoknya. Ternyata gadis kecil ini masih belum hilang sifat kekanak-kanakannya, melihat janggut yang demikian lebat di wajah Coa Kiu, dirinya merasa geli sendiri hingga dengan reflek ia mencabut bulu-bulu tersebut. Sambil mengereng murka, Coa Kiu mengayunkan goloknya ke arah si gadis kecil itu. Serangan yang dilakukannya ini sungguh merupakan serangan mengadu jiwa. Hal ini dapat dimaklumi, berewoknya ini merupakan kebanggaan Coa Kiu dan sekarang hanya dalam satu dua gebrakan saja, dirinya dipercundangi lawan yang masih bau pupuk, di tampar dan di cabut berewoknya. Muka Coa Kiu sekarang sungguh menyeramkan, dengan mata melotot dan tetesan darah kecil keluar dari pori-pori wajahnya. Namun kali ini Coa Kiu ketemu batunya, tak peduli segala macam serangan maut yang dilancarkannya, tak berhasil menyentuh seujung kain baju Siau Yi. Bahkan dengan gerakan yang sangat aneh, Siau Yi kembali berhasil menampar wajah Coa Kiu hingga mukanya semakin bengap. "Siau Yi, jangan main-main lagi. Segera bereskan penjahat itu!" seru si nenek dengan suara parau, lalu terbatuk-batuk tanpa henti." Mendengar perintah neneknya itu, Siau Yi memperhebat gerakannya. Sie Han Li sendiri yang menyaksikan pertandingan tersebut sampai ternganga kagum. Selama hidupnya belum pernah ia melihat demonstrasi ilmu silat yang sedemikian lihainya. Dia sendiripun harus berjuang keras melawan Coa Kiu namun seorang gadis kecil mampu mempermainkan Coa Kiu sedemikian rupa seolah-olah Coa Kiu bukan merupakan lawan setimpal. Tak makan waktu lama Coa Kiu harus mengakui kelihaian Siau Yi, tubuhnya yang tegap sudah beberapa kali kena hajar. Sadar akan bahaya yang akan menimpanya apabila terus nekat melawan si gadis kecil ini, dengan menekan rasa malunya Coa Kiu berniat melarikan diri. Dengan pengalamnnya bertemmpur, pada saat yang tepat tiba-tiba Coa Kui membentak dan mengerahkan seluruh kemampuannya segera berputar cepat sekali untuk menangkis pukulan si gadis. Tentu saja dengan gerakan nekat itu si gadis tak mau rugi, sehingga sedikit mengendorkan serangannya. Melihat ini, si kepala rampok mencelat kebelakang dan melompat hendak melarikan diri. Namun tiba-tiba saja berkelebat si titik bayangan hitam segera menempus batok kepalanya, seketika itu juga Coa Kiu terjerembab ke tanah di depannya, tubuhnya berkelejotan sesaat kemudian terdiam untuk selamanya. Rupanya kepalanya sudah terlubangi oleh batu kerikil sebesar kelereng yang dilemparkan si nenek sakti itu. "Siau Yi, kenapa kau biarkan penjahat itu kabur?" "Aku... aku.... hanya..." Gagap si gadis ditanya seperti itu. "Sudahlah kau memang belum banyak pengalaman" Si nenek kemudian bergerak perlahan menghampiri Sie Han Li, yang sedari tadi terbengong-bengong menyaksikan pertempuran yang berlangsung cepat itu. "Siapa namamu... untuk apa kau datang kemari?" si nenek bertanya dengan nada ketus, kelihatannya dia memandang rendah sekali kepada pemuda itu. "Cahye bermarga Sie bernama Han Li, dan sedang dalam perjalanan kebetulan lewat kemari, lalu kemudian hendak dirampok oleh penjahat tadi. Untung bertemu dengan Lo Cianpwe yang mulia hingga penjahat tersebut dapat dikalahkan oleh adik kecil yang lihai itu" Jawab Han Li dengan nada yang cukup sopan dan sedikit menyanjung, meskipun dia tidak dipandang sebelah mata oleh si nenek. Han Li cukup cerdik dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Karena jika si nenek tahu bahwa dia membawa peta kuno berisi rahasia ilmu silat mandraguna, bukan tidak mungkin ikut mengkangkanginya juga. Mendengar ucapan yang menyanjung itu, sedikitpun si nenek tak terlihat senang, malah kemudian berucap. "Siau Yi, sekalian bereskan juga pemuda itu" "Ta... Tapi kelihatannya dia bukan orang jahat popo" "Oh... jadi kau sudah mulai bisa membantah popo yah!" si nenek yang dipanggil popo itu berkata dengan bengis. "Mak... maksudku bukan begitu popo...hmmm... bagaimana bila kita bawa pulang saja untuk dijadikan kacung" desak si gadis itu. Berpikir sebentar kemudian si popo berkata "Terserahlah... cepat bekuk dulu pemuda itu" "Baik popo" sigadis mengiyakan. sambil terus meloncat menghampiri Han Li. "Ikutlah bersama kami pulang... jangan melawan" Melihat ini Han Li bermaksud untuk melarikan diri, mana mau dia ditangkap. Tujuannya kemari untuk mengambil pusaka yang tercantum dalam peta kuno, bukan untuk menjadi kacung segala. Karena tidak bermaksud untuk melukai Han Li, gadis itu beserta si nenek yang melangkah dibelakangnya hanya mengurung saja dan membiarkan pemuda itu mendaki puncak dan mencapai jalan buntu. Tak berapa lama kemudian benar saja Han Li terdesak ke jalan buntu, disisi kanan kirinya terdapat tebing yang tinggi sekali, mustahil untuk di panjat naik, dibelakangnya terdapat jurang yang mengalirkan air terjun yang deras sekali. Terdengar bergemuruh keras sekali. "Sudahlah, lebih baik kau menyerah saja, tak ada jalan lain lagi untuk meloloskan diri" kata si gadis sambil tersenyum manis. Melihat si gadis tak berniat untuk mencelakainya, dia mulai memberanikan diri untuk bernegosiasi. "Jangan mendekat... atau aku akan melompat" "Eh.. tunggu.. tunggu.. kenapa kau ingin melompat.. apakah lebih baik mati daripada ikut dengan kami?" "Lelaki sejati boleh dibunuh tapi pantang di hina" jawab Han Li dengan tegas. Mendengar ucapan "Lelaki Sejati" itu tiba-tiba wajah si nenek berubah bengis sekali, dan seketika itu juga melontarkan pukulan jarak jauh pada tubuh Han Li. Tentu saja Han Li terbanting jatuh kebawah jurang tanpa mampu berteriak sedikitpun sambil membawa luka yang cukup serius. - demonking-
EbookGratis Kirara Cersil Mandarin. Cerita Silat Dan Ebook. Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari Cerita Silat Novel. Dunia Kang Ouw Asmaraman S Kho Ping Hoo. Cersil Indo 8th, 2022.Chimilly - - PAGI yang cerah begitu terasa indah ketika panorama alam terbentang luas di depan mata, setidaknya hal itulah yang kini tengah di rasakan oleh pasangan muda mudi yang sedang berjalan jalan di sebuah bukit hijau yang sangat indah. Mereka bercanda tawa begitu riangnya sambil menikmati keindahan alam ciptaan sang hyang widi jagad raya ini. "Adik, betapa cantiknya alam di tempat kita ini. Tenang dan sangat menyejukkan hati." Ucap pemuda yang cukup tampan berkulit sawo matang dengan kumis tipis di wajahnya. Perawakan pemuda ini sangat kekar dan menarik hati para wanita. "Hmmm.." gumam si gadis menanggapi ucapan sang pemuda acuh tak acuh. "Alam ini seperti dirimu adik, cantik dan sangat menawan hatiku." Ucap pemuda itu merayu. Si gadis hanya tersenyum lembut mendengar rayuan dari pemuda itu. Hatinya berbunga-bunga mendengar rayuan tersebut namun tidak ia tunjukkan dalam raut wajahnya yang ayu mempesona. "Bagaimana menurutmu tempat ini adik Purbasari?" Tanya pemuda tersebut kalem. Gadis yang di panggil Purbasari itu hanya angkat bahu saja tidak mau membuka suara. "Kelak jika kita menikah aku ingin membangun rumah di tempat yang indah ini." Ucap pemuda itu sambil menatap alam di depannya itu. "APA?! Menikah?!" Seru Purbasari kaget. "Maksud kakang?" Tanya Purbasari tidak mengerti. "Jika kita menikah aku ingin membangun rumah bagi kita berdua di tempat ini. Pasti kita sangat bahagia." Ucap pemuda itu sambil tersenyum lembut. "APA...?! Kita...? Maksud kakang aku menikah dengan kakang?" Ucap Purbasari masih bingung. Pemuda itu tersenyum lalu mengangguk pelan. "Heeh. Kakang bermimpi apa. Siapa yang mau menikah denganmu. Huh...!" Seru Purbasari sengit. "Kenapa? Apa kamu tidak mau kita menikah?" Ucap pemuda itu sedikit terkejut namun masih bersikap sabar. "Maaf kakang, bukannya aku mengecewakanmu tapi aku tidak mencintai kakang. Sebaiknya kakang cari saja calon istri yang bisa menerima kakang dan mencintai kakang." Ucap Purbasari pelan. "Tapi... aku mencintaimu adik. Aku ingin menikahimu. Aku ingin kamu yang jadi istriku." Ucap pemuda itu berapi-api. "Maaf kakang aku tidak bisa." Purbasari menyahuti dengan lembut. "Tapi... " pemuda itu jadi bingung sendiri. Mereka akhirnya sama-sama terdiam larut dalam pikiran masing-masing. "Permisi kisanak nisanak. Maaf mengganggu waktu kalian. Boleh saya numpang bertanya?" Ucap seseorang tiba-tiba tanpa mereka sadari kehadirannya. Purbasari dan pemuda di sampingnya saling pandang heran karna kemunculan seseorang di depan mereka tidak mereka ketahui sebelumnya. mereka sama-sama berpikir pastilah orang yang hadir di depan mereka adalah orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi, terbukti kehadirannya sama sekali tidak mereka rasa kan sebelumnya. "maaf kalau saya mengejutkan kalian." ucap orang yang datang tadi. orang ini adalah pemuda gagah dan tampan sekali, berpakaian putih agak ketat menampilkan bentuk tubuhnya yang berotot, tampak gagang pedang berhulu matahari terliat dari balik punggungnya. "ekh, tidak. tidak apa-apa kisanak. kami tidak terganggu, silakan kisanak mau bertanya apa?" sahut Purbasari cepat sambil tersenyum lembut. "oh terima kasih. saya hendak ke Padepokan Toya Emas, dimana tempatnya ea kalau saya boleh tau?" ucap pemuda tampan itu kalem. pemuda ini tak lain dan tak bukan adalah Antoch atau yang lebih di kenal Pendekar Pedang Matahari dalam rimba persilatan. Purbasari dan pemuda di sampingnya kembali saling pandang, mereka menatap pemuda asing di depan mereka dari atas sampai bawah seolah sedang menyelidik. "mau apa kisanak ke Padepokan Toya Emas?" tanya pemuda teman Purbasari sedikit penuh curiga. Antoch tersenyum kecil. "saya ingin menghadiri pertemuan yang di adakan oleh guru besar Padepokan Toya Emas." ucapnya memberitahu tujuannya. "oh begitu. kebetulan kami juga mau kesana bagaimana kalau kita bersama-sama menuju kesana." ucap Purbasari kalem sambil tersenyum lembut. "adik !" seru pemuda di samping Purbasari kaget. dia tidak suka dengan sikap Purbasari yang mengajak pemuda asing yang belum mereka kenal jalan bersama. "mari kisanak." ucap Purbasari lembut. "oh terima kasih. mari !" ucap Antoch kalem. mereka lalu berjalan bersama menuju Padepokan Toya Emas. "Oh ya siapa nama kisanak dan apa tujuan kisanak ke perguruan kami?" tanya Barda membuka obrolan. "eh ya maaf. kenalkan saya Barda dan ini adik seperguruan saya Purbasari. kami murid perguruan tongkat perak." lanjut Barda mengenalkan diri dengan maksud agar pemuda asing di sampingnya tau dan menghormatinya. bagaimanapun juga perguruan tongkat perak cukup di segani di wilayah gunung bromo. jelas itu adalah sikap jumawa yang tidak sepatutnya di tunjuk para murid perguruan tongkat perak yang terkenal santun. pemuda itu jelas sekali menangkap sikap yang agaknya kurang bersahabat dari Barda tapi pemuda itu tersenyum kalem menanggapinya. yang jelas dia tidak mau cari permusuhan sesama orang dari satu golongan. "kebetulan sekali saya bisa bertemu dengan kalian. namaku Antoch, tujuanku ke perguruan kalian sekedar silaturahmi dan datang dalam pertemuan yang diadakan perguruan kalian." ucap Antoch dengan lembut dan penuh persahabatan. "benarkah apa hanya itu kisanak?" tanya Barda cepat. jelas sekali Barda seperti mendakwa Antoch. "maksud kisanak apa?" sahut Antoch heran tapi masih dengan sikap sopan. "bisa saja kisanak punya tujuan lain. seperti yang sudah2." Antoch mengerutkan keningnya tidak mengerti. "banyak yang datang ke perguruan kami dengan niat baik awalnya tapi setelah tujuan dan maksud mereka tidak tercapai langsung berbalik memusuhui kami." ucap Barda tak terkontrol. "maaf kisanak. saya benar2 tidak mengerti maksud kisanak apa." ucap Antoch kalem seolah ingin minta penjelasan. "kakang." seru Purbasari cepat. "tidak sepantasnya kakang bicara begitu. yang berhak memutuskan segala sesuatu mengenai perguruan adalah ayah bukan kakang." kata Purbasari tidak suka dengan sikap Barda yang di nilainya sudah tidak sopan terhadap tamu yang hendak berkunjung ke perguruan tongkat emas. "adik. kita wajib tau siapa dan apa tujuan orang yang datang ke perguruan. apa kamu tidak belajar dari pengalaman yang sudah2." sahut Barda cepat. "aku tau. tapi tidak sepantasnya kakang bersikap tidak sopan seperti itu." seru Purbasari tegas. "huh. aku duluan. hupp." Purbasari melesat cepat meninggalkan Barda dan Antoch. Purbasari merasa kecewa dengan sikap Barda yang keterlaluan terhadapa orang yang hendak datang ke perguruan. "adik.!!" teriak Barda cepat tapi Purbasari sudah jauh dan hilang di tikungan jalan. Barda menghela nafas cepat lalu menoleh ke arah Antoch. "kisanak. aku peringatkan kau, jika tujuanmu ingin mendapatkan adik Purbasari, jangan harap kau bisa." Antoch terkejut mendengar omongan Barda yang buatnya bingung dan tidak mengerti. apa maksud Barda sebenarnya, kenapa bisa sampai Barda berkata seperti itu, murid2 perguruan tongkat perak yang di kenal ramah dan sopan santun kenapa berbeda dengan apa yang di bicarakan orang. sungguh sesuatu yang aneh. itulah berbagai macam pikiran dalam kepala Antoch yang merasa heran dengan sikap Barda salah satu murid perguruan tongkat perak. "tunggu dulu kisanak. apa maksud kisanak sebenarnya? di antara kita belum pernah saling ketemu dan tidak ada silang sengketa. kenapa kisanak seperti mencurigai saya." tanya Antoch tenang tapi dengan suara sopan. mungkin ini hanya salah paham saja, pikir Antoch dalam hati. Barda menatap tajam pemuda di sampingnya. tanpa bicara lagi Barda melesat pergi meninggalkan Antoch yang masih heran dan bingung dengan dua orang yang baru saja ia temui. Antoch geleng2 kepala saja sambil terseyum tipis. "dasar orang2 aneh. gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba maen tuduh saja. hahahaha." Antoch tertawa pelan menertawai kejadian yang baru saja di alaminya. mentari semakin beranjak tinggi, embun embun yang menempel di dedaunan sudah mengering. tetapi kicauan burung masih mewarnai pagi yang mulai berganti siang. BANGUNAN megah berdiri gagah di atas tanah lapang yang di kelilingi pagar setinggi dua tombak, tampak di sekitar bangunan rumah besar berbentuk aula besar itu juga berdiri rumah panjang yang berukuran lebih kecil di banding bangunan berbentuk aula itu. bangunan2 itu tertata sangat rapi dan cukup terawat. di bagian gerbang pagar terdapat simbol tongkat perak yang menyilang. itulah simbol dari perguruan tongkat perak yang namanya cukup terkenal di kawasan gunung bromo. di tiap tiap dinding pagar juga terdapat umbul umbul berjarak dua tombak dengan posisi berjajar rapi. di liat dari umbul umbul yang ada terliat kalau perguruan tongkat perak tengah mengerjakan suatu hajat yang besar,karna tepat di hari ini perguruan tongkat perak meresmikan hari berdirinya perguruan yang sudah menginjak lima belas tahun. selama itu pula perguruan tongkat menelorkan pendekar2 berbakat yang mengharumkan nama perguruan tongkat perak. di gerbang masuk tampak beberapa murid perguruan tengah berjaga sambil menyalami para tamu yang datang karna ingin menghadiri peringatan berdirinya perguruan tongkat perak. di antara tamu yang datang juga terliat Antoch yang dengan tenang berjalan sendirian masuk ke dalam perguruan. dia di sambut dengan hangat dan ramah oleh para murid perguruan. karna belum ada yang mengenal Antoch maka Antoch hanya di layani oleh murid-murid perguruan yang bertugas saja. sedang para sahabat dan pendekar yang di kenal langsung di sambut oleh guru besar perguruan tongkat perak. Ki Wonoyososo adalah pendiri sekaligus guru besar perguruan tongkat emas. di kalangan persilatan beliau bergelar malaikat tongkat perak dan gelar itu cukup di segani di daerah timur bahkan di wilayah utara dan selatanpun namanya cukup di kenal. Antoch duduk dengan tenang di tempat yang telah di sediakan bagi para tamu. Antoch menyadari sedari tadi dia di perhatikan terus oleh seorang gadis jelita yang duduk di tempat terhormat tak jauh dari Ki Wonoyoso berada. selain gadis jelita itu yang ternyata adalah Purbasari, ada juga memperhatikan Antoch dengan pandangan tidak senang. sesekali orang itu melirik Purbasari lalu beralih meliat Antoch, orang yang meliat dengan pandangan tidak senang adalah Barda murid yang cukup berbakat perguruan tongkat perak. jelas Barda sangat cemburu pada Antoch karna berkali Barda meliat Purbasari selalu memandangi Antoch meskipun Antoch diam dengan tenang meliat ke arah panggung kehormatan tapi ini tetap membuat Barda terbakar hatinya. selain Barda ternyata ada beberapa orang yang menatap Antoch karna mereka yang kagum akan kecantikan paras Purbasari jadi heran karna gadis yang mereka gilai sedang memperhatikan seorang pemuda tampan tnpa berpaling sedikitpun. mereka adalah orang2 yang gagal mendapatkan cinta sang gadis jelita Purbasari. di tempat duduk terhormat seorang pria berumur juga memperhatikan kehadiran si pemuda tampan yang telah membuat Purbasari tidak melepaskan pandangannya dari pemuda yang duduk di tempat duduk umum. pria berumur itu berbisik pada lelaki di sebelahnya yaitu Ki Wonoyososo guru besar perguruan tongkat emas. "kakang. perhatikan pemuda yang duduk di tempat duduk umum barisan ke lima nomer tujuh." ucap pria berumur itu yang bernama Ki Badrun, dia adalah adik seperguruan Ki Wonoyososo yang bergelar si golok terbang yang juga cukup di segani lawan maupun kawan. pria berumur 46 tahunan itu menoleh sejenak ke Ki Badrun lalu meliat ke arah yang di sebutkan Ki Badrun tadi. "ada apa dengan pemuda itu adi?" tanyanya tidak mengerti. "liat Purbasari dari tadi terus memperhatikan pemuda itu." ucap Ki Badrun yang kali menunjuk ke arah Purbasari yang masih menatap Antoch. Ki Wonoyoso mengikuti arah yang di tunjuk Ki Badrun. setelah memperhatikan Purbasari yang tidak menoleh sedikitpun pandangannya terus meliat pemuda yang duduk di tempat duduk umum dengan tenang sekali. "sepertinya ada yang aneh dengan Purbasari. siapa pemuda itu adi Badrun? apa kau mengenalnya?" "tidak kakang. sepertinya aku belum pernah bertemu dengan pemuda itu. mungkin pemuda itu baru turun gunung." kata Ki Badrun menggeleng pelan. "mungkin kau benar,adi. pemuda itu mungkin saja baru turun gunung." "pemuda itu sangat tampan, mungkin Purbasari tertarik dengan pemuda itu kakang." Ki Wonoyososo menatap Ki Badrun mengerutkan keningnya. kemudian Ki Wonoyososo manggut2 sambil mengelus jenggotnya. "tolong kamu cari tau siapa pemuda itu,adi." "baik,kakang." seru Ki Badrun cepat. tak berapa lama ada salah seorang naik ke atas mimbar panggung. "saudara saudara yang hadir di sìni kami ucapkan selamat datang di hari jadi perguruan tongkat perak yang ke 15 tahun. kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas kesedian para saudara2 yang sudi hadir di tempat kami. salam sejahtera untuk kita semua. silakan menikmati sajian sajian yang kami hadirkan untuk sarudara semua. selamat menikmati." kata orang di atas panggung yang ternyata selaku pembawa acara hajatan ke 15 tahun berdirinya perguruan tongkat perak. hari jadi ke 15 tahun perguruan tongkat perak di meriahkan oleh beberapa tarian dan musik yang membuat semakin meriahnya acara tersebut. ada juga pertunjukan kepandaian dari beberapa murid pilihan. menjelang sore hari acara itupun selese, para tamu undangan umumnya telah di sediakan tempat untuk menginap sedang tamu umum di beri kebebasan untuk menginap ataupun tidak karna mereka bukan tamu undangan. rata2 tamu umum adalah para penduduk sekitar perguruan dan ada juga sedikit orang2 persilatan yang sengaja hadir untuk mengucapkan ucapan selamat kepada perguruan tongkat perak. sementara itu Antoch yang sudah beranjak dari tempat duduknya segera berjalan keluar dari aula besar perguruan. dengan tenang Antoch berjalan menuju gerbang keluar pintu perguruan. "Antoch !!" seru suara memanggil Antoch. Antoch menoleh ke asal suara. Antoch meliat seorang gadis jelita tersenyum padanya. Antoch membalas tersenyum lembut dan mengangguk sopan. ternyata gadis itu adalah Purbasari putri dari Ki Wonoyososo. "nisanak memanggil saya?" tanya Antoch kalem. Purbasari mengangguk pelan. "kamu mau kemana?" "saya hendak ke kembali ke desa tempat saya menginap. nisanak ada perlu dengan saya?" "panggil saja Purbasari. itu namaku." Antoch mengangguk dan tersenyum lembut. "desa mana kamu menginap?" tanya Purbasari. "oh cukup lumayan jauh dari sini. sebaiknya menginap saja di sini, hari sudah sore banget. malam baru tiba di desa watu ireng kalau kamu kembali sekarang." Purbasari menawarkan pada Antoch. "yang boleh menginap di sini hanyalah para tamu undangan. yang tidak di undang harusnya sadar diri." tiba-tiba datang Barda dan beberapa murid perguruan. ucapan Barda barusan tidak enak di dengar yang bernada mengusir secara halus. "apa kau tamu di undang kisanak?" seru Barda dengan nada suara merendahkan. "kakang Barda. apa-apaan kamu ini." seru Purbasari tegas tidak senang dengan ucapan Barda yang sungguh merendahkan orang lain. Antoch tersenyum tipis saja mendengar ucapan Barda yang merendahkan nya itu. "kamu benar Barda. tamu yang tidak di undang harus sadar diri. heh." seru seorang pemuda gagah dengan berpakaian serba coklat. pemuda ini bernama bagus kalianjar, dia salah satu orang yang tergila gila dengan Purbasari. bagus kalianjar menepuk bahu Barda pelan. "bagus kalianjar." seru Purbasari keras. Antoch meliat pemuda bernama bagus kalianjar dengan heran karna pemuda itu juga keliatannya tidak menyukai kehadiran dirinya. "Hahahaha. tentu saja bagus kalianjar. kecuali tamu tanpa undangan ini tidak punya malu. hahahaha" ledek Barda tertawa. "hahahaha." tawa semua yang ada di depan Antoch. tapi Antoch tetap tenang dan tersenyum tipis. "adi bagus kalianjar. biar aku beri pelajaran pada tamu tak punya malu ini." ucap orang yang bersama Barda, bernama Sujiman. tanpa menunggu persetujuan Barda dan bagus kalianjar orang yang bernama Sujiman dengan gerakan cepat menyerang Antoch tiba-tiba. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * SERANGAN mendadak yang di lontarkan Sujiman membuat Antoch cukup terkejut namun pukulan yang mengarah wajahnya itu dengan cepat dia elakan dengan menarik kepalanya kesamping. begitu pukulan Sujiman lewat dengan cepat Antoch berputar menjauhi Sujiman. namun Sujiman dengan cepat berputar juga dengan kaki kanan bergerak ke arah kepala Antoch. meliat serangan susulan itu Antoch segera menarik badannya ke belakang sehingga tumit kaki lawan lewat di depan kepala Antoch. Sujiman terus menyerang Antoch dengan jurus jurus yang di pelajarinya di perguruan tongkat perak. namun Sujiman tidak tahu siapa yang tengan dia serang, padahal jika Sujiman tahu yang di serangnya adalah pendekar yang sudah membuat geger dunia persilatan dengan kemunculan mampu membunuh tokoh sesat golongan hitam yang menjadi momok nomor satu selam puluhan tahun. "tunggu kisanak. kenapa kau menyerangku?" seru Antoch sambil menghindari serangan Sujiman dengan jurus sembilan langkah ajaib. seruan Antoch tidak di hiraukan oleh Sujiman, dia terus menyerang Antoch dengan jurus2 berbahaya dari rangkaian jurus perguruan tongkat perak. pertarungan itu kontan membuat semua orang yang ada di tempat itu jadi kaget, semua orang langsung meliat apa yang terjadi. tak terkecuali Ki Wonoyososo dan Ki Badrun serta para pendekar undangan segera menghampiri tempat terjadinya pertarungan tersebut. begitu meliat siapa yang bertarung membuat Ki Wonoyoso kaget. "Hentikan." bentak Ki Wonoyososo keras membuat dua orang yang bertarung menghentikan pertarungan. Ki Wonoyososo melangkah di antara dua orang yang bertarung. "kenapa kalian bertarung?!" seru Ki Wonoyososo tandas menatap tajam Sujiman dan Antoch. Sujiman menunduk takut tidak berani memandang gurunya. "guru. orang itu telah mengganggu adik Purbasari." seru Barda mengadu. Ki Wonoyososo menoleh ke arah Barda. "benar,paman. pemuda itu tadiku lihat hendak mencelakai Purbasari." seru bagus kalianjar menambahi. Ki Wonoyososo menoleh ke arah bagus kalianjar sejenak lalu menatap Antoch tajam. Ki Wonoyososo menghampiri Antoch. "anak muda, benar apa yang di katakan oleh mereka?" tanya Ki Wonoyososo kalem mencoba mencari tahu kenapa sampai ada pertarungan. Antoch membungkuk hormat. "maafkan saya paman yang telah membuat kekacauan ini. saya tidak punya maksud mengganggu ketenangan hajat paman. sekali lagi saya mohon maaf." ucap Antoch sopan sambil kembali sedikit membungkuk. Ki Wonoyososo sedikit tersentak melihat sikap pemuda di depannya yang sangat sopan. apa benar yang dua orang tadi katakan? melihat sikapnya yang sopan dan tulus rasanya itu sangat tidak mungkin kalau pemuda ini hendak mencelakai Purbasari, pikir Ki Wonoyososo dalam hati. "ayah. mereka bohong. Antoch tidak mengganggu aku bahkan hendak mencelakaiku." seru Purbasari cepat menghampiri Antoch. "kamu tidak apa2 ?" tanya Purbasari kuatir dengan keadaan Antoch. "tidak. aku baik2 saja nisanak." ucap Antoch menggeleng pelan. "sukurlah." ucap Purbasari lega. Purbasari menghadap ayahnya. " ayah pemuda ini tidak mencelakaiku. mereka yang mulai duluan mengganggu Antoch." "adik. apa yang kamu katakan." seru Barda cepat. "maaf, saya tidak ingin membuat kesalah pahami ini berlarut larut. saya mohon diri dulu. sekali maafkan saya." ucap Antoch cepat lalu beranjak hendak berlalu dari tempak itu. "Nak mas Antoch." tiba-tiba ada orang memanggil Antoch. Antoch menoleh ke arah suara yang memanggilnya, setelah melihat siapa yang memanggilnya Antoch langsung tersenyum senang. "nak mas kita ketemu lagi. mana nini Pandan Wangi? tidak ikut?" tanya orang berumur 30 tahunan. "ki Jarot. pandan di penginapan desa watu ireng. maaf ki saya harus segera pergi takut pandan kelamaan menungguku." ki Jarot mengangguk cepat. "titip salam sama nimas Pandan Wangi." "baik,paman. saya pergi." Antoch langsung melesat cepat meninggalkan perguruan tongkat perak. ki Jarot menatap kepergian Antoch dengan perasaan senang bisa berjumpa lagi dengan sosok pendekar muda yang sangat mengagumkan baginya. tiba-tiba bahu ki Jarot di tepuk seseorang pelan. "adi Jarot. adi kenal dengan pemuda tadi?" ucap orang yang menepuk bahu ki Jarot pelan. ki Jarot menoleh ke arah penupuk bahunya lalu tersenyum tipis. "maksud kakang nak mas Antoch?" ucap ki Jarot balik bertanya. si penepuk yang ternyata Ki Badrun mengangguk cepat. "oh namanya Antoch. dialah yang bergelar Pendekar Pedang Matahari." kata ki Jarot menjelaskan. "APA?!" Ki Badrun tentu saja terlonjak kaget mendengar gelar pemuda tadi. meski belum pernah bertemu secara langsung dengan Pendekar Pedang Matahari namun Ki Badrun sangat mengagumi sosok Pendekar Pedang Matahari. tidak di sangka dirinya bisa melihat sosok pendekar muda yang telah menggemparkan dunia persilatan. tapi sangat di sayangkan kenapa harus terjadi pertengkaran yang cuma sepele saja penyebabnya. "kakang Badrun. aku pamit dulu, sampai jumpa lagi." ucap ki Jarot lalu beranjak pergi. Ki Badrun mengangguk cepat. Semua orang yang tadi berkumpul melihat pertarungan kini sudah bubar. para tamu undangan di antar ke kamar tempat mereka menginap. haripun beranjak senja dan berganti malam. ANTOCH masuk ke sebuah kamar tempat dia dengan Pandan Wangi menginap. begitu melihat Antoch sudah kembali maka Pandan Wangi segera beranjak bangun dari tempat tidur. "gimana pertemuannya?" tanya pandan pelan. Antoch tersenyum tipis lalu duduk di kursi dekat jendela. perlahan jendela itu di bukanya, malam baru saja hadir menyelimuti maya pada ini. "pertemuannya lancar pandan tapi..." Antoch menghentikan ucapannya. dia lalu memandang pandan. "terjadi salah paham" kata Antoch pendek. "salah paham gimana?" sahut pandan mengerutkan keningnya tidak mengerti. Antoch hanya mengangkat bahunya. "entahlah. salah satu murid perguruan tongkat perak menyangka kalau aku hendak melamar putri Ki Wonoyososo." ucap Antoch pelan. Antoch mengangguk. "yach mungkin juga dia mengira aku hendak merebut kekasihnya kali. waktu hendak kembali kesini salah seorang murid perguruan menyerang aku." "tapi untungnya tidak sampai menimbulkan masalah yang terlalu besar. hehmmhh... sudahlah... Oh ya bagaimana dengan persìapanmu besok? apa kamu sudah siap bertemu dengan Rangga?" tanya Antoch mengalihkan pembicaraan. pandan angkat bahu. "entahlah,kakang. tapi siap tidak siap aku memang harus menolong kakang Rangga. seperti apa yang kakang kasih tau." pandan menghela nafas panjang. Antoch tersenyum lebar melihat pandan yang sepertinya masih bingung. "kuatkan hatimu pandan. pedang rajawali sakti saat ini bukanlah tandingan pedang naga sucimu. untuk menyempurnakan kekuatan pedang rajawali sakti harus bisa mengeluarkan mahluk yang bersemayam di dalam pedang itu dan itu hanya bisa di lakukan dengan cara pertarungan antara pedang naga suci dengan pedang rajawali." "tapi kakang. apa tidak ada cara lain?" Antoch kembali tersenyum tipis. "menyatukan pedang lima unsur." "menyatukan pedang lima unsur? maksud kakang?" seru pandan cepat. Antoch menghela nafas pendek. "menyatukan pedang yang memiliki lima unsur tertinggi dengan alam. ada lima pedang di dunia ini yang memiliki unsur alam. yaitu api, angin, air, tanah dan petir. jadi pedang dengan unsur tersebut harus di satukan agar lima pedang tersebut bisa sempurna." jelas Antoch. pandan diam mendengar itu. "kita gunakan saja cara itu kakang." seru pandan cepat. Antoch tertawa kecil mengerti maksud pandan. "boleh saja tapi untuk menyatukan lima pedang itu butuh waktu sangat lama. kita juga tidak tau dimana pedang lima unsur yang lain. kalau saja mereka ada disini pasti akan sangat mudah memanggil pedang2 itu." "mereka? mereka siapa kakang?" "lima orang muridku. mereka adalah pemilik pedang lima unsur itu." Antoch lalu menceritakan kebenaran yang selama ini tidak pernah di sangka oleh Pandan Wangi. semua Antoch ceritakan ke Pandan Wangi dengan detail sekali sampai asal usul sebenarnya tentang Pandan Wangi sendiri. "nah itulah kebenaran yang sebenarnya terjadi pandan." kata Antoch mengakhiri ceritanya. Pandan Wangi terdiam mendengar cerita Antoch tersebut. memang cerita Antoch susah untuk di terima dengan akal sehat dan logika. tapi pandan sepenuhnya mempercayai cerita Antoch kakaknya itu. "tidurlah. siapkan tenagamu untuk besok." ucap Antoch mengusap kepala pandan lembut penuh kasih sayang sebagai kakak. pandan mengangguk pelan kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan yang terbuat dari balai2 bambu. Antoch sejenak memandang Pandan Wangi kemudian melangkah keluar kamar. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * PAGI yang cerah telah menyambut datangnya hari. maya pada kembali terang seiring datangnya sang mata dewa menyinari bumi. di sebuah jalan setapak di pinggiran hutan kecil tampak dua manusia tengah berjalan berjajar menyusuri jalan berumput yang masih basah oleh embun pagi. dua manusia berlainan jenis itu tampak lain dari biasanya, di wajah mereka kini terpasang topeng perak tipis menutupi muka mereka. sesekali tawa mereka terdengar dalam candaan mereka selama berjalan menyusuri jalanan. ketika mereka sampai di sebuah pertigaan jalan mereka bertemu dengan seorang gadis jelita berpakaian cukup bagus sedang menunggang kuda warna coklat gagah. gadis jelita itu segera turun dari punggung kuda begitu melihat dua orang sedang berjalan. "maaf permisi. apa kalian habis dari desa watu ireng?" tanya gadis itu dengan suara merdu bernada sopan. dua orang yang di tanya memandang gadis jelita itu. "benar." sahut si gadis bertopeng yang ternyata adalah Pandan Wangi. gadis jelita itu tersenyum tipis. "apa kalian melihat seorang pemuda tampan berpakaian putih dengan sebilah pedang di punggungnya. nama pemuda itu Antoch." pandan menoleh ke arah Antoch sejenak dan melihat Antoch hanya angkat bahu saja. "ya betul. pemuda itu siapanya nisanak?" tanya pandan ingin tahu apa maksud gadis itu mencari Antoch. "dia kekasihku." ucap gadis jelita itu mantap. gadis jelita itu tak lain adalah Purbasari putri tunggal Ki Wonoyososo guru besar perguruan tongkat perak. "apa?!" pandan tentu saja terkejut bukan main mendengar pengakuan gadis jelita di depannya itu. dalam hati pandan memaki maki gadis itu yang enak saja mengaku ngaku kekasih Antoch kakaknya itu. pandan melirik Antoch yang cuma geleng2 kepala sambil tersenyum. "apa pemuda itu masih di desa watu ireng?" tanya Purbasari cepat. pandan menghela nafas cepat. "pemu... " "kami lihat tadi dia sepertinya pergi terburu buru ke arah timur saat ketemu dengan kami." sahut Antoch cepat memotong ucapan Pandan Wangi. "ekh?! kalau begitu makasih kisanak. saya permisi dulu." Purbasari langsung melompat ke punggung kuda dan menggebrak kudanya dengan cepat. kuda coklat itu meringkik keras lalu berlari cepat ke arah desa watu ireng. "siapa gadis itu kakang kenapa dia mencarimu dan mengaku sebagai kekasihmu?" tanya pandan cepat setelah gadis jelita penunggang kuda itu jauh. "itu Purbasari putri tunggal Ki Wonoyososo." sahut Antoch. "ouh ternyata dia yang menyebab kan terjadinya salah paham itu ya?" "sudahlah. kita lanjutkan perjalanan lagi pandan. ayo." Antoch melangkah pelan di ikuti pandan yang tertawa kecil. belum juga mereka melangkah tak begitu jauh tiba-tiba datang seorang pemuda berkuda menghadang langkah mereka. "maaf kisanak. apa tadi ada wanita berkuda lewat?" tanya pemuda itu cepat. pandan dan Antoch saling pandang. "ada. dia ke arah desa watu ireng baru saja lewat." seru pandan cepat. "brengsek. Purbasari pasti ingin menemui pemuda sialan itu. hiaaa... " pemuda berkuda itu tanpa mengucapkan terima kasih langsung menggebrak kudanya cepat. Antoch dan pandan menatap kepergian pemuda berkuda itu dengan heran karna sikapnya tidak sopan sekali. "sombong sekali orang itu. tidak punya sopan santun." maki pandan jengkel. "sudahlah biarkan saja. ayo." ucap Antoch sambil menarik tangan pandan untuk melanjutkan perjalanan lagi. walau hatinya jengkel akhirnya pandan mengikuti Antoch juga. mereka dengan berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna menjadikan sosok mereka bagai bayangan yang berkelebatan menembus sebuah hutan dengan pepohonan jarang. menjelang siang hari mereka tiba di atas bukit dengan tanah lapang yang luas. hanya ada satu pohon besar yang tumbuh di atas bukit itu. itulah bukit tandur tempat perjanjian antara Antoch dengan Rangga pendekar rajawali sakti satu purnama yang lalu. pandan dan antuk duduk di bawah pohon besar itu dengan tenang tapi pandan tampak gelisah sendiri karna akan bertemu dengan Rangga kekasihnya setelah satu purnama tidak ketemu lagi. "tenanglah pandan jangan gelisah begitu. sebentar lagi kamu pasti ketemu dengan kekasihmu itu." ucap Antoch menenangkan. Pandan hanya merengut saja mendengar itu, jauh dalam hatinya dia sangat tidak ingin melakukan apa yang Antoch suruh yaitu menolong Rangga dengan cara bertarung. tapi mau gak mau pandan harus melakukannya karna itu adalah jalan yang terbaik untuk bisa menolong kekasihnya tersebut. "krraaagkh." tiba-tiba suara bagai halilintar menggelegar di angkasa. Antoch dan Pandan Wangi langsung berdiri melihat ke atas. tampak seekor burung rajawali putih raksasa melayang berputar putar di angkasa. dengan menukik cepat burung raksasa itu dalam sekejap sudah mendarat tak jauh dari pohon besar tempat Antoch dan Pandan Wangi berada. seorang pemuda tampan berbaju rompi putih melompat turun dari punggung rajawali putih itu. pemuda itu mengedarkan pandangannya kesekitar lalu menatap dua orang yang berdiri di bawah pohon besar. pemuda yang bernama Rangga itu melangkah pelan ke arah pohon besar dimana Antoch dan pandan berada. Rangga berhenti setelah jaraknya dengan dua orang di depannya kurang lebih tujuh langkah. RANGGA menatap tajam pemuda bertopeng yang berdiri di depannya, Rangga masih ingat bagaimana pemuda bertopeng itu bertarung melawan Pandan Wangi dan dengan mudah mengalahkan Pandan Wangi bahkan pemuda bertopeng itu menculik Pandan Wangi. walau hatinya geram dan dendam dengan pemuda bertopeng itu namun jiwa kependekaran yang selalu mengutamakan kebaikan dan menegakkan kebenaran membuatnya mampu bersikap tenang. sungguh jiwa seorang pendekar besar yang di kagumi banyak orang. "kita ketemu lagi sobat. apa kau masih ingat padaku?" ucap Antoch tenang sekali membuka omongan. Rangga mengangguk cepat. "mana pandan kisanak?" seru Rangga cepat. Rangga melirik ke gadis bertopeng di samping Antoch. "hmmm..apa gadis bertopeng itu Pandan Wangi? di lihat dari postur tubuhnya memang sama dengan pandan. tapi gadis bertopeng itu tidak membawa kipas sakti dan pedang naga geninya. pedang yang ada di punggung gadis bertopeng itu emang berkepala naga tapi itu bukan pedang naga geni. aku paham dengan pedang naga geni milik pandan." batin Rangga dalam hati mengira ira siapa gadis bertopeng di samping Antoch. Antoch tertawa kecil melihat lirikan mata Rangga ke arah pandan yang kini memakai topeng. "hemmh. soal Pandan Wangi kekasihmu aku minta maaf karna gadis itu telah tewas di tangan adikku ini dewi topeng perak. aku menyesalkan atas kejadian naas pada kekasihmu itu." ucap Antoch berbohong untuk memancing emosi Rangga. "APA?!" teriak Rangga kaget. "kau jangan berdusta kisanak. pandan tidak akan mudah di kalahkan. itu tidak mungkin terjadi." teriak Rangga mulai gusar. Antoch tersenyum tipis melihat reaksi Rangga yang mulai gusar terpancing omonganya. "kalau kau tidak percaya lihat ini buktinya." Antoch memajukan dua tangannya yang dari tadi di belakang badannya. tampak di tangan Antoch tergegam pedang naga geni dan kipas baja putih. Rangga kontan terperanjat melihat dua senjata milik Pandan Wangi. amarahnya mulai tak bisa dia bendung lagi. melihat dua senjata andalan Pandan Wangi di bawa pemuda bertopeng itu jelas pasti Pandan Wangi telah tewas di tangan dua orang itu. "bangsat. akan kubunuh kalian. hiaaaattt." Rangga berteriak nyaring penuh amarah langsung menerjang pemuda bertopeng tapi belum sempat pukulannya mengenai Antoch, dari arah samping berkelebat cepat bayangan biru mematahkan pukulan Rangga. "baik. kau yang akan ku bunuh pertama kali." teriak Rangga geram. sorot matanya begitu tajam bernafsu ingin membunuh lawannya. mendengar kekasih yang ia cintai tewas membuat Rangga jadi murka dan tak bisa lagi mengontrol emosinya. pandan yang melihat teriakan dan sikap Rangga yang begitu garang sesaat membuatnya terkejut dengan perubahan sikap kekasihnya itu. namun pandan segera menepis perasaan itu karna tujuannya adalah menolong Rangga kekasihnya itu. Rangga langsung menerjang gadis bertopeng dengan rangkaian jurus rajawali sakti. pandan mengimbangi dengan rangkaian jurus naga suci. pertarungan mereka terlihat seimbang dan sangat sengit sekali. sementara itu Antoch dengan tenang duduk bersandar di bawah pohon mengamati pertarungan pandan dan Rangga, Antoch melirik ke arah burung rajawali raksasa yang sedari tadi terus menatap dirinya dengan pandangan aneh. "hehehe. ternyata si putih sudah besar dan sepertinya dia mengenaliku." ucap Antoch dalam hati. pertarungan pandan dengan Rangga berlangsung semakin cepat dan meningkat namun Rangga sangat heran karna jurus jurusnya dapat di patahkan terus oleh gadis bertopeng. apa lagi gerakan jurus si gadis begitu unik dan sangat berbahaya. Sriiiiiiing... Rangga mencabut pedang rajawalinya, tampak cahaya biru terang keluar dari badan pedang. pamornya kuat sekali. pandan tidak mau ketinggalan maka dengan cepat dia mencabut pedang naga sucinya. tampak cahaya putih kemerahan mampu menekan pamor dari pedang rajawali milik Rangga. Dua pedang sakti beradu di udara, setiap sabetan selalu membuat satu ledakan keras sehingga bukit tandur benar2 bagai di landa gempa hebat. deru angin berhembus kencang menambah parahnya keadaan bukit tandur. Rangga melompat kebelakang empat langkah. "gadis itu luar biasa hebat. aku harus gunakan ajian pedang pemecah sukma." Rangga dengan cepat memutar pedang rajawalinya di depan lalu menariknya kebelakang. sungguh luar biasa sekali Rangga langsung jadi terlihat berlipat ganda dan semakin banyak. itulah jurus pemecah sukma yang mampu memperbanyak diri tapi itu semua hanyalah bayangan belaka dan berguna untuk membingungkan lawan karna Rangga terlihat jadi banyak. "jurus pemecah sukma. akan gunakan jurus yang sama yaitu naga suci pemecah sukma." batin pandan. dengan gerakan halus pandan mengangkat pedang naga sucinya tinggi2 kemudian tangannya memutar lebar dan berhenti di depan dada. tiba-tiba tubuh pandan menjadi banyak sama halnya seperti Rangga. melihat kenyataan itu membuat Rangga jadi terkejut. karna lawan juga memiliki jurus yang bersifat sama. sebenarnya ini tidak mengherankan karna semua ilmu yang di miliki oleh dua orang itu bersumber dari Antoch. pertarungan dua pendekar sakti itu sudah menghabiskan ratusan jurus namun belum ada yang kelihatan terdesak, tapi jika di lihat dengan teliti sebenarnya Rangga sudah mencapai batas kemampuannya karna ilmu yang di keluarkan selalu sama serta nafas Rangga sudah tidak teratur, beda dengan Pandan Wangi yang masih teratur nafasnya serta masih mampu mengeluarkan ilmu2 baru. tak terasa pertarungan mereka sudah sampae malam, sementara itu Antoch sudah membuat api unggun untuk memanggang beberapa ikan dan ayam hutan yang Antoch tangkap dari bawah bukit tandur. Pertarungan Pandan Wangi dengan Rangga berlangsung sangat sengit sekali karna kedua pendekar kelas atas itu seimbang namun jika di lihat dengan seksama Pandan Wangi lebih unggul sebab nafas pandan masih teratur agak sedikit memburu sedangkan Rangga nafasnya sudah memburu dan mulai kelelahan. sudah ratusan jurus yang mereka keluarkan tapi belum ada yang terdesak. Rangga yang bergelar pendekar rajawali sakti tampak terheran heran dengan lawannya kali ini. biasanya Rangga akan selalu unggul jika berhadapan musuh sekuat apapun namun melawan seorang gadis bertopeng yang belum pernah dia lihat dan terkenal Rangga malah kesulitan menghadapinya. Berbagai macam jurus dan ilmu yang Rangga miliki tak mampu menjatuhkan gadis bertopeng lawannya itu. variasi serangannya selalu dapat di baca dan di mentahkan oleh gadis itu. bahkan ilmu pamungkasnya yang sangat Rangga andalkan yaitu pedang pemecah sukma juga tidak berguna karna si gadis juga memiliki ilmu yang sealiran dengan ilmu pedang pemecah sukma miliknya. menjelang larut malam dua pendekar itu tampak mulai kendur serangannya sebab batas ketahanan tubuh mereka sudah mencapai batasnya. inilah yang sangat di tunggu Antoch karna jika batas ketahanan tubuh dua pendekar itu mencapai batasnya maka otomatis kekuatan mahluk yang bersamayam dalam pedang mereka akan keluar untuk menolong penggunanya. benar yang Antoch pikirkan, tak berapa lama kedua pendekar itu kelelahan yang amat sangat kehabisan tenaga. dua pendekar kelas atas dunia persilatan itu roboh lalu pingsan. secara gaib dua pedang pusaka naga suci dan rajawali melayang layang di udara saling bertarung. bahkan dua pedang pusaka itu telah berubah ke bentuk aslinya yaitu perwujudan naga putih besar bermata biru indah dan rajawali putih raksasa. dua hewan perwujudan dua pedang pusaka itu bertarung dengan kekuatan maha dahsyat mengerikan. bukit tandur laksana terkena bencana alam hebat, semua porak poranda di hajar kekuatan dari dua hewan sakti tersebut. melihat keadaan yang semakin gawat itu membuat Antoch segera bertindak cepat. Antoch mencabut pedang matahari dari sarungnya. seketika tempat itu menjadi terang oleh cahaya kuning keemasan dari pamor pedang matahari. pedang matahari Antoch lempar ke udara maka dengan gerakan agak cepat pedang matahari itu berputar putar di udara membentuk lingkaran besar. tak berapa lama lingkaran kuning besar itu meluruk cepat membungkus dua hewan sakti tersebut. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * NAGA suci menggelihat gelihat terbungkus lingkaran kuning keemasan, begitu pula dengan rajawali putih raksasa juga menggelihat seolah ingin meronta melepaskan diri dari lingkaran kuning keemasan yang membungkus tubuh mereka. semakin dua hewan sakti itu meronta maka semakin erat pula tubuh mereka terbungkus lingkaran kuning keemasan itu, hingga akhirnya dua hewan sakti itu diam tak meronta lagi. DUA hewan sakti itu tiba-tiba berubah menjadi sesok manusia. naga suci berubah menjadi seorang gadis cantik jelita bermata biru indah, sedangkan rajawali putih raksasa berubah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah bermata biru juga. dua sosok manusia perwujudan hewan gaib itu melayang di udara lalu perlahan lahan melayang turun di hadapan Antoch. mereka merapatkan dua tangan masing2 di depan hidung menunduk hormat. "hormat hamba yang mulia pangeran." ucap mereka bersamaan. Antoch membuka topeng peraknya lalu mengangguk cepat. "naga suci, rajawali sakti. akhirnya kita bertemu lagi sejak kalian aku hukum di dalam pedang. wujud kalian sudah kembali ke wujud asli kalian. mulai sekarang kalian telah aku bebaskan dari hukuman yang selama ini aku jatuhkan pada kalian." ucap Antoch penuh wibawa. naga suci dan rajawali sakti kembali menunduk hormat. "sekarang kalian boleh kembali ke asal kalian. sampaikan pesanku pada raja kalian bahwa lima purnama ke depan aku ingin raja kalian menemuiku di goa lima warna." ucap Antoch lagi. mereka mengangguk pelan lalu merapatkan tangan di depan hidung. "pergilah. jalani kehidupan kalian yang selama ini tidak kalian dapatkan." mereka saling pandang tetapi tak juga beranjak pergi dari hadapan Antoch. "ada apa?" tanya Antoch heran melihat mereka tak juga beranjak pergi. "ampun gusti. apakah hamba boleh mengajukan satu permintaan gusti." rajawali sakti membuka suara. Antoch mengerutkan keningnya heran. "ijinkan hamba untuk tetap menjadi pedang rajawali. hamba ingin berbuat jasa kepada bangsa kami dengan jalan membasmi keangkara murkaan di dunia ini. hamba mohon gusti pangeran matahari mengabulkan keinginan hamba." rajawali sakti yang berwujud pemuda gagah itu berlutut di depan Antoch. "begitu pula dengan hamba gusti. ijinkan hamba tetap menjadi pedang naga suci." ucap naga suci juga berlutut di depan Antoch. mendengar permintaan mereka Antoch malah tersenyum lebar. dia tidak menyangka dua orang perwujudan hewan gaib itu mengajukan hal yang tidak wajar bagi bangsa mereka. "Hemm.. apa kalian sadar dengan permintaan kalian itu?" tanya Antoch meyakinkan permintaan mereka berdua. "ketahuilah. jika kalian tetap menjadi pedang sakti maka kalian tau apa akibat yang kalian tanggung. kalian tidak akan bisa kembali ke wujud asal kalian lagi. apa kalian mengerti itu?" tanya Antoch ingin tahu kesungguhan hati mereka. Naga suci dan rajawali sakti sejenak terdiam, mereka saling pandang lalu mengangguk mantap dengan keinginan mereka itu. "tekad kami sudah bulat gusti. kami siap menanggung segala akibatnya meski kami tidak bisa kembali ke wujud asli kami." seru mereka dengan penuh keyakinan. Antoch manggut manggut melihat tekad mereka yang begitu kuat. kemudian Antoch melangkah maju menghampiri mereka berdua. sejenak Antoch menatap tajam pada mereka. "kembalilah ke istana. minta pada raja kalian mustika langit, katakan aku yang mengutus kalian. pergilah." ucap Antoch tenang penuh kewibawaan. Walau tidak mengerti apa maksud Antoch tapi mereka segera pergi mengerjakan apa yang di perintahkan oleh mereka itu. Antoch menatap naga suci dan rajawali sakti yang berubah jadi dua hewan raksasa kemudian melesat ke angkasa, hilang ke dua arah yang berbeda. naga suci ke timur sedang rajawali sakti ke arah selatan. PAGI yang cerah menyambut datangnya hari, sang mata dewa bersinar hangat dari ufuk timur cakrawala. kicau burung bersahutan menyambut pagi yang sangat cerah ini. di atas sebuah bukit yang keadaanya porak poranda dengan hanya menyisakan satu pohon besar di atasnya tampak dua orang tengah terbaring pingsan di samping seekor burung rajawali putih raksasa. tak jauh dari burung rajawali terdapat perapian yang masih menyala. dari arah timur bukit tampak seorang pemuda bertopeng tengah berjalan ringan sambil membawa beberapa ekor ikan di tangannya. setelah sampai di perapian pemuda bertopeng yang tak lain adalah Antoch langsung memanggang ikan ikan yang ia bawa tadi. bau harum daging ikan terbakar langsung menusuk hidung. Bau harum pengundang nafsu makan langsung menusuk hidung dua orang yang pingsan tadi. perlahan lahan salah satu orang yang pingsan tersadar siuman dari pingsannya akibat sesuatu yang harum menusuk hidungnya. pemuda berbaju rompi yaitu Rangga bangkit dari tidurnya. pandangannya langsung tertuju pada burung rajawali putih di sampingnya. "putih. kau masih di sini sobat?" ucap Rangga pelan. Rangga mengalihkan pandangannya ke samping, ia melihat di dekatnya gadis bertopeng tengah terlelap tidur atau masih pingsan. "kau sudah sadar kisanak?" ucap Antoch kalem setelah melihat Rangga sadar dari pingsan. "ekh?!" Rangga terkejut melihat pemuda bertopeng tak jauh dari tempatnya. sejenak pikiran sehatnya bekerja. "pemuda itu masih disini. sebenarnya siapa orang bertopeng itu? dari golongan mana dia sebenarnya? benar2 aneh." batin Rangga dalam hati. "kemarilah. aku sudah siapkan ikan bakar untukmu. pasti kamu lapar setelah satu hari satu malam bertarung." ucap Antoch tenang. "kisanak. siapa kau sebenarnya? kenapa kau tidak membunuhku saat pingsan tadi? bukankah itu kesempatanmu." seru Rangga dengan nada suara penuh tekanan. matanya tajam menatap orang bertopeng tak jauh darinya itu. Antoch tersenyum lembut mendengar pertanyaan Rangga itu. dia malah melempar gelas bambu yang berisi air ke Rangga. sungguh luar biasa air dalam gelas dari bambu itu tidak tumpah sedikitpun. Rangga dengan cepat menangkap gelas bambu berisi air tersebut. "minumlah." ucap Antoch kalem. Rangga agak ragu ragu meminum air dalam gelas bambu itu namun akhirnya air dalam gelas bambu itu di tenggaknya juga sampai habis. Rangga tidak takut di racuni karna tubuhnya kebal terhadap racun jadi dia tenang saja. tak berapa lama gadis bertopeng di sebelah Rangga tersadar karna bau harum ikan bakar membuatnya jadi siuman. gadis bertopeng yaitu Pandan Wangi duduk dan menguap lalu menggerakan tangan dan tubuhnya untuk merenggangkan ototnya yang kaku. "kau sudah sadar, pandan?" seru Antoch begitu melihat pandan duduk sambil merenggangkan otot. sama seperti Rangga, Antoch juga melemparkan gelas bambu berisi air ke pandan. pandan langsung menangkap gelar bambu itu dan langsung menghabiskan air dalam gelas itu. "uuhk, segarnya." seru pandan setelah menghabiskan air dalam gelas bambu. "pandan?!" ucap Rangga lirih terkejut mendengar orang bertopeng memanggil gadis bertopeng dengan nama pandan. Rangga langsung menatap gadis bertopeng dengan tajam. "pandan. buka topengmu. agaknya kekasihmu ingin sekali melihat wajahmu." seru Antoch cepat. pandan membuka topeng yang melekat di wajahnya. Rangga melihat gadis bertopeng itu membuka topengnya dengan perasaan tak menentu. begitu topeng perak lepas dari wajah si gadis maka Rangga terkejut bukan main melihat wajah yang sangat ia kenal dan sangat dirindukannya. "pandan?!" seru Rangga keras seolah tidak percaya dengan wajah yang ia lihat di hadapanya. "kakang." pandan tersenyum lembut pada pemuda yang di cintainya tersebut. "Pandan?! benarkah ini kau? pandan." seru Rangga langsung memeluk pandan dengan erat. tanpa malu malu Rangga menciumi wajah Pandan Wangi. "sukurlah kau selamat. aku sangat khawatir sekali. aku sangat merindukanmu. pandan." "aku juga sangat merindukanmu kakang." ucap pandan sambil memeluk erat pemuda yang sangat di cintainya. Dua insan saling mencintai itu saling berpelukan erat melepas rasa rindu karna satu purnama tidak ketemu. mereka sampai melupakan kalau ada Antoch di tempat itu juga. "sampai kapan kalian akan terus berpelukan. apa kalian tidak lapar?" ucap Antoch menyadarkan dua insan saling mencinta itu. "ekh?! kakang. maaf sampai lupa kalau kakang ada disini." ucap pandan tersipu malu. "kalian makanlah. ikan bakarnya sudah matang. cukup untuk kalian berdua." kata Antoch sambil berdiri. Antoch lalu melangkah mendekati rajawali putih tunggangan Rangga. "putih. ayo kita jalan jalan. biarkan mereka di sini melepas kangen." ucap Antoch sambil mengusap leher rajawali putih itu. "khrrrrgghk." suara rajawali mengerti ucapan Antoch sambil kepalanya mengangguk angguk. Antoch naik ke punggung rajawali putih itu dan menyuruh rajawali itu terbang. maka dengan cepat rajawali putih raksasa itu melesat terbang ke angkasa. Rangga yang dari tadi melihat orang bertopeng bicara dengan rajawalinya jadi tersentak heran. apalagi kini rajawali putih itu terbang tinggi bersama Antoch, ini membuat Rangga jadi tak habis pikir. rajawali miliknya itu sangat sukar di dekati apalagi sampai naik di atas punggungnya, rajawalinya itu akan mengamuk dan tanpa ampun menyerang orang coba mendekatinya. tapi kini orang bertopeng yang tidak Rangga kenal telah terbang di atas punggung rajawalinya. bahkan rajawali itu begitu jinak dan hormat sekali sama orang bertopeng itu. "kakang. ada apa?" tanya pandan pelan melihat Rangga yang dari tadi terdiam sambil menatap ke angkasa dimana burung rajawali miliknya terbang bersama orang lain. Rangga tersadar lalu menoleh ke Pandan Wangi. "tidak. tidak apa-apa." ucap Rangga. Pandan Wangi tersenyum lebar. "aku tau. kakang pasti heran dengan rajawalimu yang begitu jinak terhadap orang bertopeng itu. hehehehe. itu wajar." kata Pandan Wangi kalem. "wajar? maksudmu?" seru Rangga penasaran. "sudahlah. nanti akan aku ceritakan semua ke kakang. sebaiknya kita makan dulu ikan bakar ini. aku sudah kelaparan." Pandan Wangi langsung memakan ikan bakar di tangannya. Rangga walau masih bingung akhirnya makan juga. MALAM ini adalah malam bulan punama. bulan begitu terang cahayanya di langit malam yang begitu cerah. semilir angin sepoi sepoi behembus begitu sejuknya. suara suara nyanyian seRangga malam begitu merdu terdengar mengiri malam yang sangat tenang itu. Di kegelapan malam yang sunyi terlihat berkelebatan lima orang dengan pakaian yang berlainan warna. merah, hijau, biru, kuning dan putih. lima orang yang ternyata adalah gadis memakai topeng tipis menyerupai tengkorak membuat wajah mereka jadi terlihat menyeramkan. jika tidak teliti melihatnya maka semua pasti mengira kalau lima gadis itu berwajah menakutkan, ini akibat topeng mereka sangat tipis hampir tidak bisa di terka kalau sebenarnya itu adalah topeng. kelima gadis bewajah tengkorak itu bergerak dengan cepat menembus kegelapan malam menuju ke sebuah perguruan silat tongkat perak. begitu sampai di depan gerbang perguruan, kelima gadis berwajah tengkorak itu langsung menghabisi penjaga gerbang perguruan tongkat perak. tidak hanya itu saja, kelima gadis berwajah tengkorak tersebut langsung menyerbu masuk ke perguruan tongkat perak membantai siapa saja yang mereka temui. seluruh murid perguruan tongkat perak langsung di sibukkan dengan pertarungan melawan lima gadis berwajah tengkorak tersebut. keganasan lima gadis berwajah tengkorak sungguh mengerikan, dalam tempo singkat hampir setengah murid perguruan tongkat emas tewas di bantai dengan sadis oleh lima gadis berwajah tengkorak tersebut. "berhenti." teriak seseorang keras. dia adalah Ki Wonoyososo atau si malaikat tongkat perak. matanya begitu tajam menatap lima gadis berwajah tengkorak. "siapa kalian? kenapa menyerang perguruanku?" seru Ki Wonoyososo geram. "hahahaha. akhirnya kau keluar juga malaikat tongkat perak." seru gadis yang berpakaian merah. kelihatannya gadis berpakaian merah adalah pemimpin dari lima gadis berwajah tengkorak itu. "hahahaha. kami adalah lima iblis Lembah Tengkorak." seru si gadis berpakaian merah menyebutkan nama mereka. "lima iblis Lembah Tengkorak?!" seru Ki Wonoyososo pelan mengerutkan keningnya. "malaikat tongkat perak. malam ini nama besarmu akan berakhir. hahahaha" "huh. jangan anggap enteng kemampuanku gadis muka tengkorak. hari ini aku bersumpah akan kubunuh kalian yang telah membantai murid muridku." ucap Ki Wonoyososo geram sekali. "hahahaha. majulah. aku ingin lihat apa benar nama besar malaikat tongkat perak begitu hebat atau hanya omong kosong saja." seru si gadis merah muka tengkorak meremehkan. Panaslah hati Ki Wonoyososo di remehkan oleh gadis muka tengkorak. "tutup mulutmu gadis muka tengkorak. akan kubunuh kalian tidak bisa melihat matahari esok lagi. hiaaaatt." Ki Wonoyososo langsung menerjang si gadis merah dengan senjata andalannya yaitu tongkat perak yang selama ini telah banyak merobohkan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. senjata tongkat yang terbuat dari baja berlapis perak putih sangat keras tidak mudah patah. "hahahaha. serang.!!" teriak gadis merah muka tengkorak memerintahkan empat temannya menyerang Ki Wonoyososo. pertarungan lima melawan satu sungguh pertarungan yang tidak seimbang jika di lihat dengan kasat mata tetapi di jika amati pertarungan itu sangat seru dan berimbang. Ki Wonoyososo yang bergelar malaikat tongkat perak begitu lincah menangkis setiap gempuran yang di lancarkan lima iblis Lembah Tengkorak. murid murid perguruan tongkat perak berdiri memegang senjata tongkat mengitari arena pertempuran lima iblis Lembah Tengkorak melawan guru mereka Ki Wonoyososo. jurus jurus tingkat tinggi sudah di keluarkan oleh Ki Wonoyososo dan ini membuat lima iblis Lembah Tengkorak jadi terdesak. lima iblis Lembah Tengkorak berlompatan ke belakang sejauh dua tombak di hadapan Ki Wonoyososo. "huh. rupanya tidak sia sia kau menyandang gelas malaikat tongkat perak. tapi jangan senang dulu karna kami belum mengeluarkan seluruh ilmu kami. bersiaplah." seru gadis muka tengkorak. "hehe. majulah, keluarkan ilmu yang kalian miliki. aku tidak takut." ucap Ki Wonoyososo tandas. matanya begitu tajam bagai singa kelaparan mengintai buruannya. "keluarkan jurus lima kala menari membius kematian." seru gadis merah muka tengkorak cepat. kelima gadis muka tengkorak bergerak membentuk formasi siap menyerang. di mulai dari gadis merah yang bergerak ke depan meliuk liukan tubuhnya bagai orang menari membuat lawan jadi telena karna gerakan lembut lima gadis muka tengkorak itu. di dalam kelembutan gerakan mereka menyimpan bahaya kematian jika lawan sampai terbius oleh gerakan mereka. itulah efek yang di timbulkan oleh jurus lima kala menari membius kematian. sungguh jurus mematikan yang membuat lawan tidak menyadari bahaya yang mengancam. Ki Wonoyososo bukan pendekar kemaren sore, dengan pengalamannya selama berkelana di dunia persilatan dulu maka Ki Wonoyososo tau akan bahaya yang mengancam di setiap gerakan yang di lakukan lima gadis muka tengkorak bagai orang menari. Ki Wonoyososo langsung menggunakan jurus tongkat perak memukul air. ini jurus yang jarang di keluarkannya. Jurus tongkat perak memukul air sungguh luar biasa sekali. setiap sabetan selalu menimbulkan desiran angin yang bergelombang. suara angin yang di timbulkan juga mengerikan. namun gerakan jurus lima kala menari membius kematian juga sangat unik. gerakannya. gerakan yang silih berganti oleh lima iblis Lembah Tengkorak sangat membingungkan sekali hingga di saat kuda kuda Ki Wonoyososo agak limbung tiba-tiba gadis merah muka tengkorak menyebarkan serbuk beracun, seketika pernafasan Ki Wonoyososo jadi tercekat, kepalanya pusing dan mata berkunang kunang. di sisi lain gadis muka tengkorak berpakaian putih melemparkan senjata rahasia berupa jarum hitam yang sangat beracun. "aaakh." teriak Ki Wonoyososo keras terkena senjata rahasia. tubuh Ki Wonoyososo langsung menghitam roboh dan nyawanya melayang. sungguh licik sekali cara bertarung lima iblis Lembah Tengkorak. "kala biru, kala putih habisi murid perguruan tongkat putih yang tersisa." seru kala merah cepat. "kala hitam dan kala kuning bakar perguruan ini." dengan cepat mereka membantai semua murid perguruan tongkat perak tanpa ada yang tersisa satupun. rumah rumah di bakar tanpa belas kasihan. perguruan tongkat perak musnah rata dengan tanah. sungguh pembantaian yang sadis di bulan purnama malam ini. SIANG yang terik membuat bumi menjadi panas, sinar mentari langsung menyinari bumi tanpa terhalang awan sedikitpun. memang siang ini cuaca sangat cerah sekali. tiada sedikitpun awan yang memayungi bumi. Di sebuah sungai yang cukup besar namun dangkal dan berbatu batu memiliki air yang sangat jernih. di salah satu batu besar yang terletak di bawah pohon yang cukup lebat daunnya, tampak seorang pemuda berbaju putih agak ketat dengan memakai topeng perak di wajahnya. siapa lagi kalau bukan Antoch alias Pendekar Pedang Matahari. Antoch duduk dengan tenang memandangi ikan ikan yang berlarian di sela sela batu sungai. tiba-tiba Antoch lamat lamat mendengar suara ribut. "hemmm. ada suara perkelahian. siapa yang bertarung di tengah hutan yang sepi ini?" batin Antoch sambil mengerahkan ilmu pembeda gerak dan suara. "agaknya pertarungan terjadi di sebelah barat. aku harus melihat siapa yang tengah bertarung." ucap Antoch lirih. dengan cepat Antoch beranjak dari atas batu melompat tinggi lalu berlari ke arah barat. begitu sampai di tanah yang cukup luas Antoch melihat seorang gadis sedang di keroyok lima orang pria yang rata rata memiliki perawakan tegap dan berwajah sangar di penuhi cambang tebal serta codet di pipi mereka. Tampak si gadis dengan lincah memainkan pedangnya menangkis setiap serangan yang mengarah padanya. gerakan jurusnya juga sangat cepat hingga tak berapa lama lima pria pengeroyoknya berhasil di robohkan. secepat kilat lima pria itu kabur melarikan diri. si gadis dengan tenang memasukan kembali pedannya ke dalam warangkanya. plok plok plok suara tepuk tangan pelan terdengar dari tangan Antoch yang kagum melihat kemampuan silat si gadis yang sangat lincah sekali. "ekh?!" si gadis terkejut lalu berbalik ke arah suara tepuk tangan tadi. "luar biasa sekali." puji Antoch tulus. Antoch berjalan mendekati si gadis dengan tenang. "maaf nisanak jika aku mengagetkanmu." si gadis menatap tajam pemuda bertopeng yang ia tidak kenal di hadapannya. "siapa kau? apa kau teman mereka tadi?" ucap gadis itu tandas. Antoch tersenyum lembut mendengar si gadis yang mencurigai dirinya. "bukan. aku tidak kenal mereka. namaku Antoch, nisanak?" si gadis mendengus saja mendengar pemuda bertopeng itu mengenalkan diri. tanpa bicara si gadis melangkah pergi meninggalkan Antoch. "ehk nisanak tunggu." seru Antoch cepat. Antoch mencoba untuk mencegah gadis cantik itu pergi. Antoch menjura hormat pada gadis cantik tersebut. "maafkan saya nisanak jikalau saya mengganggu nìsanak. apakah hanya sekedar tau nama nisanak saja tidak boleh." ucap Antoch lembut. "Hai apa maumu. jangan halangi aku. atau kalau tidak aku pecahkan kepalamu." bentak gadis cantik itu jengkel karna langkahnya di hadang oleh pemuda bertopeng yang tak di kenalnya. matanya mendelik mengisaratkan kejengkelannya. "Waduh. masa cuma mau tau nama saja musti di pecahkan kepalaku." Antoch berlagak menutupi kepalanya. si gadis menatap tajam orang bertopeng di depannya. "apa maumu sebenarnya?" tanya si gadis jengkel. Antoch cengengesan saja sambil garuk garuk kepala. "cuma pengen tau namamu saja." jawab Antoch polos. "lalu mau ap kalau sudah tau namaku?" Antoch malah jadi bingung sendiri hendak menjawab apa. Antoch garuk garuk kepala yang tidak gatal. ketika Antoch bingung itulah di gunakan si gadis pergi dari tempat itu tanpa di sadari Antoch. ketika Antoch menoleh maka Antoch jadi kaget melihat gadis yang tadi di dekatnya sudah tidak ada hilang bagai di telan bumi. "hahk. siapa ya gadis tadi? ilmu meringankan tubuhnya luar biasa. bahkan aku sendiri tidak menyadari kepergiannya. sungguh gadis yang penuh misteri. hemhmmm." ucap Antoch lirih. Antoch lalu beranjak menuju barat dengan berjalan tenang. di atas pohon ternyata si gadis tidak pergi tapi bersembunyi dari org bertopeng yang tidak di kenalnya. "orang bertopeng itu ada hubungan apa dengan perampok2 tadi. jangan2 dia salah satu mereka." ucap si gadis pelan seolah untuk dirinya sendiri. "bukan. aku tidak kenal mereka nisanak." suara orang menyahuti tepat di samping si gadis yang duduk di dahan pohon. "ekh?!" si gadis jelas kaget bukan kepalang. karna orang bertopeng yang di lihatnya pergi ke arah barat kini tiba2 sudah duduk di sampingnya. Antoch tersenyum lembut sambil mengangkat tangan kanannya. "kau?! bag bag bagaimana kau bisa ada di sini?!" seru si gadis keheranan sambil kepalanya menolah noleh. Antoch tertawa kecil saja melihat raut muka si gadis yang kebingungan. si gadis melompat turun dari dahan pohon lalu tanpa menoleh segera berjalan pergi. Antoch dengan cepat melompat turun dari dahan pohon dan mengikuti si gadis. kontan saja si gadis makin jengkel di buatnya. si gadis berhenti dan menatap Antoch dengan kesal. "baik. aku katakan namaku tapi jangan mengikuti aku lagi." seru si gadis gregetan kesal. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * Antoch cengengesan saja kemudian mengangguk cepat. "aku Lestari. nah aku sudah beri tahu namaku jadi jangan ikuti aku lagi." seru si gadis yang bernama Lestari itu. Lestari segera balik badan hendak pergi. "Lestari tunggu." seru Antoch cepat, mencegah Lestari yang hendak pergi. Lestari balik badan lagi menghadap Antoch. "apa lagi?!" bentak Lestari galak. "astaga. galaknya. jangan marah2 gitu donk. kalau marah2 ntar cepat tua loh. hehehehe." ucap Antoch cengengesan. "edan ! bukan urusanmu !!" bentak Lestari mulai emosi, tangannya sudah dia kepalkan tanda amarahnya sudah tinggi. Antoch kembali tertawa kecil. "tenanglah. aku cuma mau tanya kamu hendak kemana?" "sudah aku katakan bukan urusanmu. aku mau kemana kek itu bukan urusanmu. sudah jangan ganggu aku lagi." Lestari segera berlari meninggalkan Antoch, tapi baru beberapa langkah tiba-tiba ada orang muncul di depan Lestari. "Lestari. mau kemana kau?" seru orang baru datang cepat. orang ini adalah nenek nenek dengan berpakaian serba merah. sebuah tongkat hitam tergenggam di tangan kanannya. Lestari yang mengetahui siapa yang barusan muncul segera menjura hormat. "eyang Rakanini." ucap Lestari menyebut nenek di hadapannya. "Lestari. kenapa kau kelihatan terburu buru. ada apa?" tanya eyang Rakanini dengan suara agak parau. muka eyang Rakanini ini cukup angker juga karna rongga mata yang cekung serta warna kulit agak merah. di dunia persilatan eyang Rakanini berjuluk Hantu Tongkat Hitam. "tidak eyang. aku ..." Lestari menghentikan ucapannya, sejenak Lestari melirik ke arah pemuda bertopeng yang masih ada di situ. eyang Rakanini mengikuti arah lirikan mata Lestari. eyang Rakanini tertawa mengekeh melihat seorang pemuda bertopeng perak. "anak muda. ada urusan apa kau dengan cucuku? apa kau menyukai cucuku? khe khe khe." ucap eyang Rakanini pelan namun di sertai tenaga dalam. Antoch merasakan tubuhnya seperti di himpit tembok yang tidak terlihat, namun dengan tertawa kecil Antoch mengeluarkan ilmu sindat tenze untuk membentengi diri dari himpitan tenaga dalam yang di kirimkan oleh eyang Rakanini. tampak Antoch berdiri dengan tenang sekali tanpa pedulikan kalau sebuah kekuatan besar tengah menghimpit dirinya namun di pihak lain tampak eyang Rakanini bergetar tubuhnya karna tenaga dalam yang ia keluarkan sudah hampir mencapai batas kemampuannya. eyang Rakanini tidak menyangka seorang anak muda memiliki tenaga dalam yang luar biasa tinggi, tenaga dalamnya kalah tinggi dari anak muda itu. "sudah hentikan nisanak. tidak ada gunanya di teruskan." ucap Antoch tenang sekali. "heh. aku belum kalah anak muda. jangan kau anggap remeh diriku." seru Rakanini tandas. "hmmm. jikalau begitu aku yang mengaku kalah nisanak. maaf." ucap Antoch sambil melompat tinggi di atas dahan pohon lalu melesat cepat tinggalkan tempat itu. pohon sebesar dua dekapan tangan manusia hancur lalu roboh karna tenaga dalam yang di keluarkan Rakanini meleset dari sasaran hingga langsung menghantam pohon besar di belakang Antoch berdiri tadi. Rakanini terengah engah nafasnya, keringat membanjiri dahinya. "eyang." seru Lestari yang keheranan melihat eyang Rakanini terengah engah bagai habis berlari jauh. Rakanini menoleh ke arah Lestari. "sebaiknya kita pergi dari sini Lestari." Lestari mengangguk cepat. mereka melesat cepat ke arah barat dimana Antoch melesat pergi. SEPAK terjang lima iblis Lembah Tengkorak kian merajalela, tidak hanya perguruan tongkat perak yang mereka bantai tapi juga perguruan2 di sekitar gunung puting mereka hancurkan. sudah lima perguruan yang mereka hancurkan selama satu purnama ini, lima iblis Lembah Tengkorak kini menjadi momok menakutkan bagi dunia persilatan. bahkan para penduduk desa yang berada di wilayah gunung puting juga ikut was was jikalau sampai orang2 Lembah Tengkorak tidak hanya membantai perguruan silat tetapi juga para penduduk desa, itulah yang membuat para penduduk desa menjadi di cekam rasa ketakutan. "kakang." seru wanita cantik bagai bidadari dengan pakaian serba hijau. gadis cantik tersebut berlarian kecil dari arah sungai ke sebuah batu sebesar kerbau dimana seorang pemuda tampan berjubah putih duduk dengan tenang sambil tersenyum lembut ke arah gadis cantik yang berlarian kecil ke arahnya. "kakang. aku dapat dua ikan besar di sungai. kita bakar ya buat pengganjal perut." seru si gadis sambil menunjukkan dua ikan besar yang ia bawa dari sungai. "kau dapat dari mana dua ikan itu kenanga?" ucap pemuda itu lembut. "di sungai dekat air terjun itu kakang." sahut si gadis yang dipanggil kenanga menunjuk ke arah dimana dia mendapatkan dua ikan tersebut. si pemuda memandang mengikuti arah yang di tunjuk si gadis. "hmmm. baiklah, ayo kita panggang ikan itu lumayan bisa mengganjal perut." ucap pemuda itu. mereka segera membuat perapian dengan kayu2 yang berserakan di sekitar tempat itu, begitu api menyala maka dua ikan besar itu mereka panggang. "kakang. kemana tujuan kita sekarang?" pemuda itu menatap kenanga dengan lembut. "ke desa kaliadem." ucapnya pendek sambil membolak balikan ikan yang di panggangnya di atas api. "desa kaliadem?! mau ngapain kita kesana?" ucap kenanga mengerutkan keningnya. "mengunjungi teman lama." "nanti kau akan tau sendiri kenanga." ucap pemuda itu kalem lalu mulai memakan ikan bakarnya yang sudah matang itu. kenanga hanya merengut menghela nafas pendek. pemuda berjubah putih itu tersenyum saja melihat kekasihnya yang merengut. hari semakin sore menjelang senja berarti malam akan segera tiba. dua insan berlainan jenis itu terus mengobrol hingga tak terasa malam telah datang menyelimuti bumi. sang dewi malam bersinar redup di langit malam yang berhiaskan bIntang. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * SEBUAH benda menancap di tiang pilar pendopo yang berbentuk joglo. lima orang yang berada di pendopo itu tersentak kaget langsung berdiri menghadap ke arah datangnya asal benda yang menancap di pilar pendopo. orang berpakaian warna coklat dengan blangkon di kepala melesat cepat keluar dari pendopo menuju asal benda tadi datang. laki laki separuh baya dengan janggut agak panjang berjubah coklat hitam mengambil benda yang menancap di tiang pilar pendopo. ternyata benda itu adalah pisau kecil berwarna hitam dengan panjang setengah jengkal, ada kain putih kecil di gagang pisau tersebut. "guru, hati hati. kelihatannya pisau beracun." seru seorang pemuda mengingatkan orang separuh baya yang di panggil guru tadi. "aku tau sagara." ucap orang tua itu kalem. orang tua yang dipanggil guru oleh pemuda yang bernama sagara itu adalah ki Handoyo, beliau adalah guru padepokan silat ruyung sakti di daerah kali adem. ki Handoyo memungut kain putih di gagang pisau lalu membukanya. ternyata itu adalah sebuah undangan yang di tulis dengan darah. "DATANGLAH PADA HARI KE 15 DI Lembah Tengkorak... DEWI Lembah Tengkorak." bunyi tulisan yang tertera di kain putih itu. "guru. apa rencana guru mengenai undangan itu?" tanya sagara setelah membaca tulisan di kain putih yang ternyata adalah sebuah undangan. ki Handoyo mengusap usap janggutnya sambil mondar mandir tenang. sesekali beliau menghela nafas pelan. "orangnya tidak ketemu, guru. mungkin sudah pergi setelah melempar pisau tadi." kata pria berbaju coklat cepat setelah sampai di pendopo. pria ini yang tadi melesat keluar pendopo untuk mengejar si pelempar pisau tadi. "apa kau melihat orang yang melempar pisau tadi kakang Sadewo.?" seru sagara cepat pada orang yang dipanggil Sadewo. Sadewo menoleh ke arah sagara yang juga adik seperguruannya. "sekilas saja adi. seorang wanita berbaju putih berwajah tengkorak." sahut Sadewo cepat. "APA?! berwajah tengkorak?" seru sagara kaget. dua orang yang lain juga ikut kaget mendengar hal itu, hanya ki Handoyo saja yang masih berdiri tenang. "aku merasa undangan ini menyimpan misteri yang bisa mendatangkan maut. dewi Lembah Tengkorak? siapa adanya dia, aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya." ucap ki Handoyo pelan namun bisa di dengar oleh empat orang murid utamanya. "guru. sebaiknya tidak usah pedulikan undangan itu. paling itu kerjaan orang iseng saja." seru sagara. "dewi Lembah Tengkorak?!" gumam Sadewo sambil mengingat ingat sesuatu dalam pikirannya. "tidak. aku merasa bakal terjadi peristiwa besar di dunia persilatan dengan di kirimkannya undangan ini. sagara pergilah kau ke Padepokan Toya Emas. apa mereka juga mendapatkan undangan seperti ini juga." seru ki Handoyo. "baik, guru." sagara segera berlalu dari pendopo itu. "sudiro dan putu ayu, kalian pergilah ke desa kali adem dan juga desa kali deres. cari tau berita yang berhubungan dengan undangan ini." seru ki Handoyo pada dua muridnya yaitu sudiro dan putu ayu. "baik, guru." sahut mereka bersamaan lalu beranjak pergi. "guru." ucap Sadewo pelan. "Sadewo. suruh semua murid untuk waspada dan perketat penjagaan. aku memiliki firasat tidak enak." "baik, guru." seru Sadewo lalu bergegas pergi. tak berapa lama datang seorang murid ke pendopo itu. "maaf guru. ada dua orang yang ingin bertemu guru." ucap orang itu membungkuk hormat. "siapa?" tanya ki Handoyo cepat. "seorang pemuda dengan seorang wanita. namanya Panji, guru. katanya dia teman guru." ucap orang itu menjelaskan. "Panji?!" gumam ki Handoyo pelan. "bagaimana ciri ciri pemuda itu?" tanya ki Handoyo kemudian dengan cepat. "tampan, berjubah putih dan memiliki pedang kepala naga di punggunya. usianya kurang lebih dua puluh tahun." "Pendekar Naga Putih?!" seru ki Handoyo sumringah mengenali ciri ciri pemuda yang di sebutkan muridnya itu. "cepat suruh masuk." "baik, guru." orang itu segera berlalu dari hadapan ki Handoyo. lalu tak berapa lama orang itu kembali lagi bersama dua orang. ki Handoyo tersenyum lebar melihat dua orang yang sangat ia kenal. "nak mas Panji dan nimas Kenanga. apa kabar kalian? sudah lama kita tidak berjumpa. hahahaha." ucap ki Handoyo senang. "hahahaha. baik paman. paman sendiri gimana?" ucap Panji bersalaman dengan ki Handoyo. "hahaha. aku juga baik. mari silakan masuk." mereka lalu masuk ke dalam pendopo dan duduk di kursi ruang tamu pendopo tersebut. "sudah lama kita ketemu, sejak peristiwa melawan partai Kelabang Ireng." ucap ki Handoyo membuka obrolan. "benar, paman. sejak saat kita tidak saling ketemu. Oh ya maaf paman, tadi aku lihat penjagaan di perketat. apa yang terjadi paman?" tanya Panji lembut. ki Handoyo menghela nafas panjang kemudian berdiri dan berjalan ke pilar pendopo. tampak ki Handoyo sedikit gelisah. "ada apa paman? maaf jika pertanyaanku menyinggung paman." ucap Panji merasa tidak enak hati melihat perubahan ki Handoyo. "tidak. bukan nak mas. tadi sebelum nak mas datang aku mendapatkan undangan yang di kirim oleh orang tak di kenal." "benar. ini undangannya." ki Handoyo menunjukkan kain yang bertuliskan darah. Panji menerima kain putih tersebut dan melihat apa yang tertulis. "hmmm. ini undangan yang aneh. di tulis dengan darah. hari ke 15 di Lembah Tengkorak." gumam Panji pelan mencermati isi undangan tersebut. "dewi Lembah Tengkorak. siapa dia paman?" "aku juga tidak tau nak mas. Lembah Tengkorak cukup jauh dari sini. apa maksud dewi Lembah Tengkorak mengirimkan undangan seperti ini." ucap ki Handoyo kalem. "hmmm. apapun itu, ini tidak bisa di anggap angin lalu saja. undangan ini mengandung maksud yang tersembunyi." "aku juga berpikir begitu nak mas. tapi apa itu aku juga belum mengetahuinya." "lalu apa tanggapan paman? memenuhi undangan itu atau mengabaikannya." "entahlah." ki Jarot kembali duduk di tempatnya. "sebaiknya abaikan saja paman." ucap Kenanga menimpali setelah dari tadi diam saja. Panji dan ki Handoyo menoleh ke arah Kenanga. mereka sama-sama tersenyum lebar. "kenapa?" seru Kenanga yang heran melihat Panji dan ki Handoyo malah tersenyum lebar. tak berapa lama Sadewo datang ke ruang tamu pendopo. "guru. semua aku tempatkan sesuai perintah guru." "he-em." ki Handoyo mengangguk. "Sadewo. kenalkan ini orang yang guru sering ceritakan yaitu Panji, Pendekar Naga Putih." Sadewo menoleh ke arah Panji. "oh sungguh takku duga hari ini saya bisa bertemu dengan pendekar kesohor di dunia persilatan. salam hormat saya pada Pendekar Naga Putih." ucap Sadewo menunduk hormat. "kisanak terlalu berlebihan, saya tidaklah seperti apa yang orang bicarakan. saya hanya manusia biasa saja. di atas langit masih ada langit jadi apa yang bisa saya banggakan. jangan sungkan kisanak." ucap Panji dengan tutur kata yang halus. "ah, selain kesohor rupanya Pendekar Naga Putih bersifat rendah hati. sungguh mulia sekali." ucap Sadewo kagum dengan sifat Panji yang sopan santun. "panggil saya Panji saja kisanak." ucap Panji kalem tersenyum. "ini Kenanga temanku." Panji mengenalkan Kenanga pada Sadewo. Kenanga mengangguk pelan saja. "paman. apakah paman sudah berjumpa dengan pendekar yang dulu membantu kita waktu menghancurkan partai Kelabang Ireng?" tanya Panji mengalihkan pembicaraan. "maksud nak mas Pendekar Pedang Matahari?" ucap ki Handoyo. Panji mengangguk cepat. "belum nak mas." "sewaktu kami singgah di kadipaten jati luhur. kami mendengar Pendekar Pedang Matahari juga membantu menggulingkan kekuasaan adipati yang memberontak dan kini pewaris sah kadipaten jati luhur kembali menduduki singgasana kadipaten." "benarkah itu nak mas?" seru ki Handoyo cepat. Panji mengangguk. "kini kadipaten jati luhur sudah berdiri sendiri menjadi sebuah kerajaan dengan rajanya arya soma. orang2 di sana sering membicarakan sepak terjang Pendekar Pedang Matahari dan nama pendekar itu adalah Antoch." "hmmm. Pendekar Pedang Matahari. orang baru di rimba persilatan yang langsung menggegerkan dunia persilatan. kesaktiannya sukar di jajaki dan berhasil membinasakan tokoh sesat yang selama puluhan tahun menjadi momok di dunia persilatan." ucap ki Handoyo lirih namun masih bisa di dengar jelas. "benar, paman. dia dengan mudah dapat mengalahkan datuk sesat yang hampir saja mengalahkan aku." Panji manggut2. sejenak pendopo itu menjadi sunyi karna semua larut dalam pikirannya masing2. DI SEBUAH KEDAI MAKAN yang terletak di desa kali anget tampak seorang pemuda bertopeng perak tengah asik menyantap hidangan yang ada di depannya. dia dengan asik makan tanpa peduli sepasang mata tengah memperhatikan dirinya. sepasang mata seorang wanita muda berpakaian biru kuning dengan ikat kepala warna biru. sebilah pedang terlihat dari punggung gadis itu, paras cantik gadis itu membuat mata para lelaki sejenak melihat dirinya namun gadis itu cuek saja malah memperhatikan pemuda bertopeng yang lagi asik makan. pemuda bertopeng perak dengan pedang bergagang matahari yang tak lain adalah Antoch segera beranjak pergi dari kedai makan tersebut setelah membayar makanan itu. di lain pihak si gadis yang dari tadi memperhatikan Antoch juga bergegas beranjak dari tempat duduknya namun tiba-tiba ada seorang pria datang mencegah gadis itu. "hai, cah ayu. mau kemana kamu. temani aku disini janganlah buru buru pergi. hehehe." ucap pria yang memiliki perawakan tegap dengan bulu dada yang tebal. mata kiri di tutupi penutup mata dan ada codet melIntang di pipi kanannya. tampangnya keras dan sangar sekali. si gadis menatap pria bercodet itu dengan pandangan tidak suka karna merasa terganggu. "hahahaha. janganlah memasang wajah masam gitu, nanti wajah ayumu jadi tidak ayu lagi. hehehe." ucap pria bercodet tersenyum. walaupun pria bercodet itu tersenyum tapi tetap saja tidak merubah tampangnya yang sangar. malah jadi terlihat semakin angker. "mau apa kau?" seru si gadis cepat dengan tatapan mata tajam ke arah pria bercodet. pria bercodet itu senyum2 sambil pandangannya menyusuri setiap jengkal tubuh si gadis. merasa risih dipandangi orang begitu rupa membuat gadis itu segera beranjak pergi tapi lagi2 pria bercodet itu kembali menghalanginya bahkan pria bercodet itu sudah berani memegang tangan si gadis. "hehehe. mau kemana cah ayu. di sini saja bersamaku, aku traktir deh. hehehe." ucap pria bercodet sambil tertawa kecil. "lepaskan !!" bentak si gadis keras. bentakan gadis itu membuat pengunjung di kedai tersebut jadi melihat kearah mereka berdua. "lepaskan !!" bentak si gadis kembali sambil menarik tangannya yang di pegang pria bercodet. "hahahaha. kakang bergola ireng. agaknya gadis itu tidak menyukaimu. sudah, bawa saja langsung. hahahaha." seru seorang pria yang berpakaian hampir sama dengan pria bercodet namun pria ini memiliki cambang lebat di dagunya. "benar kakang. agaknya hari ini rejekimu besar sekali kakang. kami pun juga mau dapat sisanya. hahahaha." seru pria yang lain dengan ikat hitam melingkar di kepalanya. "hahahaha. rupanya kau juga kepengen juga dengan gadis ini jampari, sampai2 kau mau sisanya juga. hahahaha." tawa orang bercodet yang di panggil dengan nama bergola ireng. "hahahaha. tentu saja kakang. atau kakang bermurah hati padaku agar aku yang mencobanya dulu." seru orang dipanggil jampari. "hahahaha. kau sendiri gimana bedul?" seru bergola ireng pada orang bernama bedul. "atur ajalah. yang penting beres." sahut bedul tanpa menoleh sedikitpun. "hahahaha." mereka bertiga ketawa bersama dengan lantang. mendengar perkataan ketiga orang itu membuat si gadis jadi geram. hatinya panas sekali karna merasa di lecehkan di depan banyak orang, dengan gerakan cepat gadis itu mengibaskan tangannya dengan kekuatan tenaga dalam yang ia miliki sehingga membuat pria bercodet jadi tersungkur menabarak meja. "huh. dasar manusia2 sampah. sebaiknya bercermi dulu sebelum unjukan muka buruk kalian padaku." seru si gadis keras karna jengkel sekali mendengar ucapan yang sangat melecehkan dirinya. bergola ireng bangkit berdiri dengan sikap yang marah karna telah di buat jatuh tersungkur, dia sangat malu di hadapan banyak orang telah di jatuhkan oleh gadis yang kelihatannya lemah itu. "kurang ajar. rupanya kau harus di beri pelajaran gadis sundel." teriak bergola ireng geram. "hehh. apa katamu?! kurang ajar !!" seru si gadis marah mendengar dirinya di panggil gadis sundel. gadis cantik itu menerjang menyerang bergola ireng dengan mengarahkan pukulannya ke arah muka bergola ireng. pukulan si gadis hampir mengenai sasaran namun dengan gerakan cepat bergola ireng memiringkan tubuhnya menghindari pukulan yang mengarah ke mukanya. di tengah jalan tiba-tiba pukulan si gadis berubah menjadi tamparan ke arah pipi bergola ireng. suara tamparan mengenai pipi bergelo ireng yang tidak sempat menghindari tamparan si gadis. bergola ireng meringis mengusap pipinya yang terkena tamparan si gadis. "Bedebah !!" maki bergela ireng keras. "akan kubuat kau menyesal seumur hidup gadis sundel. hiaaatt !!" dengan teriakan lantang bergola ireng menerjang si gadis dengan jurus2 berbahaya yang mengancam wajah si gadis. tangan yang membentuk cakar bergerak cepat menyerang si gadis. jelas bergola ireng ingin membuat cacat wajah si gadis, namun si gadis dengan tenang menghindar dari cakar bergola ireng yang mengarah ke wajahnya. tapi di tengah jalan arah serangan cakar bergola ireng berubah ke lambung si gadis, ini membuat si gadis kaget namun dengan sigap dia melompat ke samping sehingga cakar maut bergola ireng hanya lewat di samping si gadis. begitu serangannya dapat di hindari si gadis maka dengan gerakan memutar cepat bergola ireng mengarahkan tendangan putarnya ke perut si gadis. gerakan memutar yang cepat dari bergola ireng cukup membuat si gadis terlonjak kaget, maka dengan susah payah si gadis melompat menghindari tendangan memutar bergola ireng. begitu lolos dari tendangan bergola ireng maka dengan cepat si gadis melesat keluar dari kedai makan. bergola ireng juga melesat cepat menyusul si gadis keluar dari kedai makan. kini mereka saling berhadapan dengan kuda kuda siap menyerang. "bersiaplah menemui dewa kematian gadis sundel." seru bergola ireng tandas. si gadis menyeringai sinis dengan sorot matanya tajam bagai seekor elang mengincar mangsa. tiba-tiba jampari dan bedul sudah berdiri di samping bergola ireng. "kakang. kita ringkus saja gadis itu lalu kita bawa ke hutan bukit tunggul." ucap jampari cepat. "benar kakang. sungguh sangat sayang jika gadis secantik dia di bunuh." seru bedul menambahkan. "hmmm. baiklah. kita serang gadis itu dengan jurus serigala menangkap mangsa." ucap bergola ireng sambil mengangguk cepat. "baik." sahut bedul dan jampari cepat. ketiga orang itu dengan cepat mengurung gadis cantik itu, mereka sudah tidak mau main2 lagi dan ingin secepatannya meringkus gadis cantik tersebut. Bergola ireng menerjang mengarahkan cakarnya ke arah leher si gadis sedang jampari dan bedul mengarahkan cakarnya ke lambung dan kaki si gadis. di serang tiga orang dengan tiga sasaran yang mengancam keselamatan jiwanya maka dengan cepat si gadis melompat tinggi bersalto di udara lalu mendarat mulus di tanah. serangan tiga orang itu terus mengarah ke arah2 berbahaya di bagian tubuh si gadis. di keroyok begitu rupa tidak membuat si gadis gentar, dengan tenang dia menghindari setiap serangan yang mengarah ke daerah vital tubuhnya. kian lama pertarungan mereka sudah cepat sekali dan kali ini si gadis jadi semakin terpojok hingga suatu ketika seseorang dari tiga pria tersebut berhasil menyarangkan totokan tepat di leher si gadis, seketika gadis itu jadi kaku tidak bisa bergerak. "Hahahaha. akhirnya tertangkap juga kau gadis sundel." bergola ireng tertawa penuh kemenangan. "bangsat. lepaskan aku." teriak si gadis marah. "hahahaha. tenanglah cah ayu. sebentar lagi kita akan bersenang senang. hahahaha." "ayo kita bawa gadis itu kakang." seru jampari. "bangsat. lepaskan aku. lepaskan. akan kubunuh kalian. lepaskan !!!" maki si gadis marah2. Dengan memondong gadis itu mereka melesat pergi meninggalkan tempat itu. para penduduk desa kali anget yang kebetulan meOh yaksikan kejadian itu hanya bisa menghela nafas panjang karna kasihan melihat nasib buruk yang akan menimpa si gadis. tiga orang bergola ireng dengan dua temannya berlarian cepat menyusuri pinggiran hutan bukit tunggul, saat tiba di ujung jalan mereka masuk menerobos kelebatan hutan bukit tunggul. tanpa mereka sadari ada seorang pemuda tengah mengikuti mereka dari tempat yang cukup jauh sehingga mereka tidak sadar kalau sedang di ikuti. pemuda itu berhenti di balik pohon besar ketika tiga orang yang di ikutinya berhenti di sebuah pondok kayu. pemuda itu langsung melompat ke dahan pohon yang cukup rimbun untuk tempat bersembunyi. dia memperhatikan tiga orang yang tengah bicara di depan pondok. "jampari, bedul. kalian jaga di luar, begitu aku selese menikmati gadis ini maka giliran kalian nanti yang juga menikmatinya." ucap bergola ireng cepat. "baik. kakang." sahut jampari dan bedul bareng. bergola ireng melangkah masuk ke dalam pondok kayu sambil memodong si gadis yang yang sudah tak berdaya di punggungnya. di dalam pondok kayu terdapat pembaringan yang terbuat dari balai2 bambu. bergola ireng membaringkan tubuh gadis itu di atas balai2 bambu. TAMPAK si gadis melotot marah ke arah bergola ireng. "hehehe. sebentar lagi akan kuajak kau menikmati sorga dunia cah ayu. kamu pasti senang dan akan minta lagi setelah merasakan nikmatnya sorga dunia. hehehe." ucap bergola ireng menatap wajah gadis cantik di pembaringan dengan tatapan penuh birahi. dia mengusap rambut, pipi dan bibir si gadis dengan lembut lalu mulai turun ke leher. tangan bergola ireng meremas payudara indah si gadis yang menonjol di dada si gadis yang masih terbungkus pakaian. remasan itu lembut lalu agak keras karna gemas sekali. si gadis memaki menyumpah habis habisan dalam hati. dia tidak bisa berontak karna tertotok. air matanya mengalir dari sela matanya karna nasib buruk yang sebentar lagi akan menimpa dirinya. nasib akan di gagahi oleh orang yang tidak ia kenal. dalam hati si gadis bersumpah akan bunuh diri jika kehormatannya di renggut oleh bergola ireng. bergola ireng yang sudah terbakar nafsu dengan kasar merobek kain penutup dada si gadis sehingga payudara si gadis tampak membusung indah di dada si gadis. melihat payudara putih membusung di dada si gadis membuat nafsu bergola ireng jadi meledak, maka dengan cepat bergola ireng menindih tubuh si gadis. pintu podok tiba-tiba hancur berantakan, dua sosok tubuh melayang jatuh di dekat pembaringan dimana bergola ireng tengah menindih si gadis. suara keras hancurnya pintu podok membuat bergola ireng terlonjak kaget sampai turun dari atas balai2 bambu. lalu tak lama dari luar muncul seorang pemuda bertopeng perak berdiri dengan tenang di ambang pintu yang hancur berantakan. "bangsat. setan alas. siapa kau? berani sekali mengganggu kesenanganku." teriak bergola ireng berang. "aku malaikat kematianmu manusia iblis." ucap pemuda bertopeng itu penuh tekanan. "sebentar lagi kau akan menyusul dua temanmu itu manusia iblis." ucap pemuda bertopeng itu tandas. bergola ireng menatap dua temannya. dia tersentak karna melihat dua temannya sudah menjadi mayat dengan dada hitam remuk. mendidihlah darah bergola ireng melihat kematian dua temannya yang sudah tewas. "ku bunuh kau bangsat. hiaaat." bergola ireng melompat mengarahkan pukulannya ke muka pemuda bertopeng, namun dengan ringan pemuda bertopeng itu memiringkan kepalanya lalu dengan gerakan kilat pemuda bertopeng itu mengirimkan pukulan ke dada bergola ireng. "aakh." jerit bergola ireng terkena pukulan di dadanya. Dinding pondok jebol di tabrak tubuh bergola ireng yang terpental. Dinding kayu itu jebol dan tubuh bergola ireng terlempar keluar dari pondok akibat pukulan yang di lepaskan pemuda bertopeng dengan tenaga dalam itu. pemuda bertopeng itu segera menghampiri si gadis dan membebaskan totokan si gadis. begitu si gadis terbebas dari totokan maka dengan cepat gadis itu melesat keluar menerjang bergola ireng yang berdiri limbung akibat luka dalam yang di deritanya. tak ampun lagi bergola ireng di hajar habis habisan oleh si gadis yang kalap karna marah akibat perbuatan bergola ireng yang hampir saja di rusak kehormatannya oleh bergola ireng. dengan penuh emosi si gadis mencabut pedang di punggungnya lalu menyabetkan pedang itu ke arah leher bergola ireng. "aakh." jerit bergola ireng tercekat lalu suaranya lenyap seiring kepalanya menggelinding putus dari raganya. tak puas dengan memutus leher bergola ireng, si gadis menendang keras tubuh bergola ireng hingga mencelat menabrak pohon. si gadis berdiri menatap tajam tubuh bergola ireng dengan nafas terengah engah. hatinya masih belum puas maka dia melompat menuju ke tubuh bergola ireng. "hentikan." teriak seseorang menghentikan si gadis yang hendak melompat menerjang tubuh bergola ireng. "sudah hentikan nisanak. tidak ada gunanya kau teruskan. dia sudah menjadi mayat." ucap pemuda itu lalu melemparkan sesuatu ke arah si gadis. si gadis menangkap sesuatu yang di lemparkan pemuda bertopeng itu. "aku belum puas sebelum mencincang orang itu sampai hancur." seru si gadis dengan nada yang masih menunjukkan kemarahan. pemuda bertopeng itu tersenyum lembut. "aku tau perasaanmu nisanak. tapi pakailah baju itu agar auratmu tidak kau biar kan terlihat begitu saja." ucapnya mengingatkan keadaan si gadis yang masih tidak sadar akan aurat atasnya masih terlihat akibat bajunya di robek oleh bergola ireng tadi. "ekh?!" si gadis tersentak kaget menyadari keadaan dirinya, buru buru dia menutup dadanya dengan dua tanganya lalu berlari di balik di sebuah pohon besar. pemuda bertopeng itu tertawa kecil melihat tingkah si gadis yang panik. Antoch lalu berjalan pergi dari tempat itu. "tunggu.!!" teriak si gadis mencegah pemuda bertopeng itu pergi. "tunggu." seru si gadis kembali sambil berlari mengejar pemuda bertopeng tadi. pemuda bertopeng itu membalikkan tubuhnya menghadap si gadis. "nisanak ada perlu denganku?" tanyanya kalem tersenyum lembut. si gadis menatap pemuda bertopeng sejenak. "terima kash atas pertolonganmu. aku berhutang budi padamu, entah dengan apa aku bisa membalasnya." si gadis menunduk sedikit menghormati orang yang telah menolong dirinya. "aku Intan Ayu. nama kisanak siapa?" pemuda bertopeng menatap lembut gadis cantik di depannya yang mengaku bernama Intan Ayu. "aku Antoch." sahut Antoch kalem. "Antoch. sekali lagi terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi." "tidak usah di pikirkan nisanak Intan Ayu. hanya kebetulan saja aku lewat tempat ini dan melihat nisanak di bawa oleh tiga orang tadi." ucap Antoch lembut. "apapun itu aku sangat berterima kasih padamu." sahut si gadis yang bernama Intan Ayu. "kalau tidak ada kamu entah apa jadinya diriku. mungkin aku sudah .." Intan menghentikan ucapannya. tampak tangannya terkepal erat menahan kejengkelan hatinya akibat kejadian buruk yang hampir menimpa dirinya kalau tidak di tolong oleh Antoch. "Oh ya, nisanak mau kemana?" ucap Antoch mengalihkan pembicaraan. Intan menatap pemuda bertopeng itu sejenak. lalu dia menghela nafas pendek. "aku sebenarnya sedang mencari kakakku. mungkin kisanak pernah bertemu dengan dia namanya Lestari, dia bersama eyang Rakanini atau orang menjulukinya Hantu Tongkat Hitam." Antoch memegang dagunya berpikir sejenak. sepertinya dia pernah bertemu dengan seorang gadis bernama Lestari dan juga wanita tua bernama Rakanini. apakah mereka orang yang tengah di cari oleh Intan Ayu. batin Antoch. "kamu pernah bertemu mereka?" tanya si gadis kalem. Antoch melirik Intan Ayu, dia menggeleng pelan saja. "sebaiknya kita keluar dari hutan ini dulu. mari." Antoch melangkah ringan di ikuti Intan Ayu. dalam perjalanan mereka banyak ngobrol dan becanda. "jadi kamu juga mendapat undangan dari orang2 Lembah Tengkorak? hmmm. agaknya aku memiliki firasat buruk tentang undangan itu. bisa saja itu adalah undangan maut." ucap Intan Ayu pelan. dia diam merenung mencermati arti dari undangan maut tersebut. "hari ke 15 tinggal 3 hari lagi. mari kita sama2 ke Lembah Tengkorak, aku penasaran dengan undangan itu. bagaimana?" tanya Antoch menatap Intan yang terdiam karna merenung. Intan menoleh menatap pemuda bertopeng itu beberapa lama lalu mengangguk sedikit. Intan sebenarnya merasa ragu namun rasa penasarannya akan undangan itu membuatnya ingin mengetahui apa maksud dan tujuan si pengirim undangan yang mengatas namakan dirinya Dewi Lembah Tengkorak. Tak terasa matahari bergulir sangat cepat sehingga sorepun telah tiba. mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebuah desa yang berada di kawasan gunung puting timur. MALAM ini desa ngasinan tampak lain dari biasanya, desa yang biasanya tidak terlalu rame jika malam hari, sekarang jadi tampak rame karena malam ini banyak sekali para pengunjung yang singgah di desa tersebut. umumnya para pengunjung itu adalah para pengembara dan ada juga dari beberapa orang2 kerajaan. mereka rata rata memiliki tujuan yang sama yaitu hadir dalam undangan yang di kirim oleh orang yang menamakan dirinya dewi Lembah Tengkorak. Di sudut ruang kedai yang terletak di ujung jalan desa tampak dua orang tengah duduk menikmati hidangan yang tersedia di depan mereka. si gadis sesekali memandang ke sekitar dalm kedai yang di penuhi orang2 dari rimbar persilatan yang berbeda aliran. si pemuda bertopeng perak malah asik menyantap ayam goreng yang ada di piring. dia tidak pedulikan orang orang yang juga ada di dalam kedai. si gadis menepuk bahu pemuda bertopeng perak. "Antoch. lihat yang datang ke kedai ini rata rata orang persilatan yang cukup memiliki nama. yang duduk di dekat jendela itu adalah malaikat biru kali gede sedang dua orang yang bersamanya adalah sepasang pendekar pedang timur. tak jauh dari tempat mereka itu adalah si tongkat ular sanca lalu di sampingnya dewa tangan api." si gadis yang tak lain adalah Intan Ayu menyebut nama nama tokoh yang ada di dalam kedai. si pemuda yang tak lain adalah Antoch Pendekar Pedang Matahari hanya berguman acuh tak acuh saja. "mereka pasti juga penasaran dengan undangan dari dewi Lembah Tengkorak." ucap si gadis kalem. Antoch melirik gadis cantik yang beberapa hari ini bersamanya. "tujuan mereka sama dengan kita Intan. mereka juga ikut hadir dalam undangan yang misterius itu." ucapnya pelan lalu kembali menyantap ayam gorengnya. Intan Ayu mengangguk cepat lalu mulai menyantap makanannya. tak berapa lama datang dua orang ke kedai makan itu, satu orang tua berjubah putih dengan jenggot putih agak panjang. yang satu gadis cantik dengan berpakaian hijau biru terdapat sebilah pedang di punggunnya. dua orang itu menuju ke meja dimana Antoch dan Intan Ayu berada. "maaf kisanak dan nisanak. boleh kami ikut duduk di sini karna kami tidak dapat tempat duduk." ucap orang tua itu lembut penuh keramahan. "silakan." sahut Intan ramah. "terima kasih." orang tua dan gadis cantik itu lalu duduk berhadapan dengan Antoch dan Intan Ayu. tampak sejenak si gadis melirik ke arah Antoch dengan lirikan penuh arti. entah apa arti lirikan itu dan hanya si gadis mengetahuinya. lalu si gadis mengalihkan pandangannya ke orang tua di sebelahnya. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * "mudah mudahan saja kita bisa bertemu dengan pangeran matahari di Lembah Tengkorak nanti Gayatri. di kitab babad tanah leluhur tertulis dengan kalau pangeran matahari akan muncul kembali 200 tahun setelah istana tapak suci mengalami kehancuran." ucap kakek tua berjubah putih tersebut. "Ekh?!" Antoch tersentak kaget mendengar kakek tua di depannya menyebut pangeran matahari. Antoch bertanya tanya dalam hati kenapa kakek tua itu menyebut soal pangeran matahari dan juga istana tapak suci. ini adalah hal yang aneh menurutnya. "ya tapi di kitab itu tidak menyebutkan ciri ciri pangeran matahari tersebut guru. di situ hanya di sebutkan pangeran matahari akan muncul kembali di masa 200 tahun setelah istana tapak suci hancur. sangat sulit guru menemukan orang di maksud. sedangkan ibu harus terbaring menahan sakit menunggu pangeran matahari muncul mengobati beliau." ucap si gadis yang bernama Gayatri dengan nada putus asa. "selagi kita berusaha maka sang hyang widi pasti menunjukkan jalan untuk kita. janganlah kamu berputus asa. kuatkan hatimu Gayatri." ucap si kakek sambil menepuk bahu Gayatri lembut untuk menenangkan hati Gayatri. Gayatri menghela nafas pendek, dia kembali melirik ke arah pemuda bertopeng perak dan secara kebetulan pemuda bertopeng perak itu juga melirik Gayatri sehingga pandangan mereka sejenak bertemu lalu mereka sama2 menghindar, ada suatu perasaan aneh yang tiba2 menjalar di hati Gayatri, seolah seperti perasaan kangen, rindu dan juga seperti merasa sudah dekat dengan pemuda bertopeng tersebut. "kita kembali ke penginapan yuk." ucap Intan Ayu sambil beranjak berdiri. Antoch menoleh ke Intan Ayu lalu mengangguk pelan. Antoch dan Intan Ayu segera beranjak pergi dari kedai tersebut. kembali ketika melirik pandangan Antoch bertemu dengan pandangan Gayatri yang juga melirik padanya. sejenak mereka saling pandang kemudian Antoch melangkah mengikuti Intan Ayu yang sudah duluan keluar. Gayatri menatap pemuda bertopeng yang melangkah keluar dari dalam kedai. Gayatri benar2 merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba menjalar merasuki hatinya, tapi perasaan apa itu Gayatri tidak bisa mengartikannya. "Gayatri. ada apa?" tanya kakek tua cepat melihat Gayatri yang bersikap sedikit aneh. Gayatri menoleh ke kakek tua di sebelahnya lalu menggeleng sedikit. "tidak. tidak apa-apa guru." ucapnya cepa. "dari tadi guru lihat kamu memperhatikan pemuda bertopeng terus. apa kamu kenal dia?" tanya kakek tua itu menyelidik. Gayatri menggeleng cepat. "tidak. aku tidak kenal orang bertopeng itu." sahut Gayatri. "hmmmm. ya sudah. kita makan saja dulu setelah itu kembali ke penginapan." mereka lalu mulai melahap makanan yang telah di sediakan pemilik kedai. * ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ * Suara ledakan keras menghantam pohon hingga hancur berkeping keping. "hahahaha. mampus kau Rejo Warang. hahahaha." tawa seorang kakek tua berpakaian serba hitam. tongkat berbentuk ular tergenggam di tangan kanannya. rupanya tongkat inilah yang mengeluarkan sinar kehijauan dan mengenai pohon hingga hancur berkeping keping. di depan kakek tua itu ada orang tua terduduk memegangi dadanya yang sakit akibat adu tenaga dalam dengan kakek tua tersebut. di samping orang tua itu ada seorang gadis memegangi bahu orang tua itu. "uhuk uhuk. Jalak Ireng. apa maumu sebenarnya?" seru si orang tua yang bernama Rejo Warang dengan suara parau. "mauku?! hahahaha. tentu saja membunuhmu tapi sebelum itu katakan dimana kau sembunyikan pusaka pedang samudra itu. atau kau ingin aku siksa dulu Rejo Warang. katakan !!" bentak Jalak Ireng garang. "manusia terkutuk. kami tidak takut mati. hiaaatt." teriak si gadis yang ternyata adalah Gayatri. tanpa tanggung2 Gayatri mencabut pedang di punggungnya. "Gayatri jangan. dia bukan tandinganmu." teriak Rejo Warang parau. "hahahaha. nyalimu besar juga cah ayu. ayu majulah. hahahaha." ejek Jalak Ireng meremehkan serangan Gayatri. dengan ilmu yang di dapat dari gurunya yaitu Rejo Warang, Gayatri memainkan jurus jurus pedang dengan kecepatan tinggi. tampak sekali kilatan kilatan cahaya yang berkilau dari pedang membuat Gayatri bagai bidadari menari. secepat kilat Gayatri menyerang daerah2 vilal Jalak Ireng. seranganya sungguh berbahaya sekali namun yang tengah ia hadapi bukanlah tokoh sembarangan. gurunya saja di buat tersungkur apa lagi Gayatri yang hanya seorang murid pasti bukanlah tandingan si Jalak Ireng. agaknya Jalak Ireng sengaja mempermainkan si gadis karna dia hanya melawan dengan tangan kiri saja, setiap serangan yang datang dengan mudah sekali di patahkan. sebenarnya Gayatri juga tidak bisa di anggap remeh sebab semua ilmu gurunya telah ia kuasai dengan sempurna namun menghadapi tokoh kosen yang di dunia persilatan di juluki Datuk Tongkat Ular ini membuat Gayatri hanya jadi mainan saja oleh Jalak Ireng. "hahahaha. ayo anak manis keluarkan semua kemampuanmu. hahahaha." ledek ki Jalak Ireng meremehkan Gayatri. "Huh. jangan sombong kau orang tua. tahan pukulanku !!" seru Gayatri geram. dengan gerakan cepat Gayatri mengumpulkan tenaga dalamnya di tangan kanan, kaki kanan ditarik kebelakang, Gayatri bersiap melepaskan pukulan sakti jarak jauh dengan tenaga dalam penuh. maka dari tangan kanan Gayatri melesatlah sinar merah menerjang ke arah Datuk Tongkat Ular. itulah pukulan sakti yang diturunkan gurunya ki Rejo Warang yang bergelar Malaikat Tangan Besi. pukulan sakti itu bernama pukulan Telapak Kematian. pukulan Telapak Kematian dulu sempat menggegerkan dunia persilatan karna keganasannya. dalam sekali pukulan saja mampu membunuh lima ekor kerbau dewasa dengan tubuh hangus. "pukulan Telapak Kematian?!" seru ki Jalak Ireng tersentak kaget. maka kali ini ki Jalak Ireng tidak mau berlaku ayal, dengan cepat dia gerakkan tongkat ularnya berputar tiga kali lalu di sentakkan tongkat ular itu ke depan, dari ujung tongkat yang berkepala ular itu melesatlah sinar hijau yang memapaki sinar merah pukulan Telapak Kematian. sinar hijau yang bernama Ajian Ular Hijau mematuk mangsa itu bertemu di udara dalam satu titik. Ledakan dahsyat terjadi begitu dua pukulan sakti beradu, tempat itu bergetar bagai terkena gempa. "aaakh." jerit Gayatri terpental dua tombak kebelakang. tiba-tiba sekelebat bayangan putih menyambar tubuh Gayatri yang hampir saja menabrak pohon. ki Jalak Ireng hanya sedikit limbung saja namun dadanya agak terasa sakit akibat benturan tenaga dalam tadi, dengan cepat ki Jalak Ireng mengerahkan hawa murni guna mengusir rasa sakit di dadanya. sementara itu Gayatri yang muntah darah terluka dalam tengah di beri hawa murni oleh seorang pemuda bertopeng perak yang tak lain adalah Antoch. di tempat lain tampak Intan Ayu tengah menolong kakek tua ki Rejo Warang untuk berdiri. "terima kasih nisanak." ucap ki Rejo Warang parau. "kakek tidak apa-apa?" ucap Intan Ayu pelan. "tidak. aku tidak apa-apa." ki Rejo Warang menoleh ke arah Gayatri yang tengah di beri hawa murni. "Gayatri." serunya pelan. ki Rejo Warang menghampiri Gayatri muridnya itu. "kisanak. terima kasih banyak kisanak telah menolong murid ku Gayatri." Antoch menarik nafas dalam2 lalu menghembuskannya pelan. Antoch menoleh ke arah orang tua yang tadi bertanya. dia mengangguk sedikit lalu berdirì. "untung muridmu cepat di tolong kalau terlambat sedikit saja nyawanya pasti melayang. benar2 pukulan yang sangat mengerikan." ucap Antoch dengan tenang. "ouh,.terima kasih kisanak terima kasih." "uhuk uhuk. guru." ucap Gayatri terbatuk batuk. "Gayatri. kamu tidak apa-apa?" ucap ki Rejo Warang mencemaskan keadaan muridnya itu. Gayatri menggeleng cepat. "aku tidak apa-apa,guru." ucapnya pelan. "sebaiknya kalian bersemedilah untuk memulihkan tenaga kalian." ucap Antoch kalem. Antoch berbalik badan menghadap kakek tua pemegang tongkat ular. "hati hati kisanak. dia sangat berbahaya. tongkat ularnya mampu menghancurkan batu besar, jadi berhati hatilah." ucap ki Rejo Warang mengingatkan Antoch. Antoch menoleh ke arah ki Rejo Warang lalu mengangguk cepat. "Intan. kamu jaga mereka di sini." seru Antoch pada Intan Ayu. "baik." sahut Intan Ayu mengangguk cepat. Antoch melangkah lima tindak ke arah ki Jalak Ireng yang sudah berdiri dari duduknya sehabis mengobati luka dalamnya akibat beradu tenaga dalam dengan Gayatri. "orang tua. sebaiknya hentikan saja semua ini. tidak ada untungnya meneruskan permasalahan yang ada." ucap Antoch tenang mengajak jalan berdamai. ki Jalak Ireng menatap pemuda bertopeng dengan tajam. ki Jalak Ireng mendengus saja mendengar ucapan si pemuda yang mengajak berdamai. "heh. siapa kau bocah? jangan jadi pahlawan kesiangan. lekas pergi dari hadapan ku kalau masih ingin melihat matahari esok hari." ucap ki Jalak Ireng ketus. Antoch tersenyum lembut mendengar ucapan orang tua yang jelas jelas meremehkan dirinya namun Antoch tak mau terpancing maka dengan sabar dia masih menginginkan jalan damai dari pada harus terjadi pertumpahan darah yang sia sia saja. "hmmm. kita manusia hanya memiliki selembar nyawa jadi untuk apa tidak gunakan hidup ini di jalan kebenaran dan berbuat kebajikan." ucap Antoch kalem. "heh. jangan menggurui ku bocah. tau apa kau soal hidup jadi jangan sok berlagak di hadapanku. lekas minggat dari hadapanku kalau masih sayang nyawa." bentak ki Jalak Ireng garang. Antoch kembali tersenyum. "kenapa musti harus ada pertumpahan darah jika jalan damai masih terbentang.." "jangan banyak bacot kau bocah. di beri madu malah minta racun. rasakan tongkat ini." sergah ki Jalak Ireng. dengan gerakan kilat ki Jalak Ireng mengayunkan tongkat ularnya ke kepala Antoch. deru angin berhembus cepat ketika tongkat ular itu bergerak cepat. tinggal sejengkal lagi tongkat itu memecahkan kepala Antoch tiba-tiba tangan Antoch bergerak kilat menahan tongkat tersebut hanya dengan satu jari saja. Antoch berbuat begitu agar ki Jalak Ireng sadar dan bisa di ajak berdamai. justru perbuatan Antoch itu membuat semua orang yang ada tempat itu jadi tersentak kaget. itu adalah kejadian yang membuat takjub bagi siapa saja yang melihatnya. padahal tanpa Antoch sadari telah ada beberapa orang yang berdatangan di tempat itu. mereka terpana melihat kejadian yang ada di depan mereka. tongkat ular milik Datuk Tongkat Ular yang terkenal sakti hanya di tahan dengan satu jari saja, ini sungguh luar biasa hebat. semua pada bertanya tanya siapakah pemuda bertopeng yang mampu menahan tongkat ular ki Jalak Ireng. pastilah orang itu memiliki tingkat tenaga dalam yang maha sempurna karna sangat mustahil menahan tongkat ular sakti hanya dengan satu jari saja. benar benar menakjubkan dan itu benar benar terjadi di hadapan mereka semua. Datuk Tongkat Ular mengerahkan seluruh tenaga dalamnya namun tak sedikitpun tongkatnya bisa bergerak. kini ki Jalak Ireng mulai sadar kalau tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi di banding tenaga dalamnya maka ki Jalak Ireng mulai bergetar hatinya gentar. tapi bila dia mundur atau melarikan diri maka mukanya mau ditaruh mana, pasti orang2 persilatan akan menertawakan dirinya. akhirnya ki Jalak Ireng nekat juga akan bertarung hidup mati melawan pemuda bertopeng itu. "huh. hari ini aku mengadu kesaktian denganmu bocah." seru ki Jalak Ireng menarik tongkat ularnya lalu melompat lima langkah ke belakang. Antoch menghela nafas pendek, Antoch sadar dengan ucapan ki Jalak Ireng yang berarti pertarungan ini ditentukan siapa yang mati dialah yang kalah. tak ada jalan damai sama sekali. dalam hati Antoch sangat menyesalkan kecerobohannya yang berbuat seperti itu tadi. "terimalah pukulan ULAR HIJAU MEMBURU KEMATIAN ku bocah !!" seru ki Jalak Ireng lantang. ki Jalak Ireng memutar tongkat ularnya di depan, tubuhnya bergetar hebat mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. ki Jalak Ireng benar benar ingin mengadu kesaktian dengan Antoch sampai mati. Antoch menghela nafas pendek, tak ada jalan baginya untuk menghindari pertarungan adu kesaktian dengan ki Jalak Ireng, mau tidak mau Antoch harus menghadapinya dengan jalan ksatria. maka dengan cepat tanang kanan Antoch di angkat ke atas dengan telapak tangan terbuka mengerahkan tenaga dalam di telapak tangan, lalu telapak tangan itu tergenggam erat hingga berwarna keperakan. itulah pukulan matahari tingkat terakhir dari rangkaian ilmu sembilan matahari, sengaja Antoch menggunakan pukulan matahari tingkat terakhir untuk menghormati lawannya. Melihat dua orang yang tengah melakukan pengerahan pukulan dengan tenaga dalam tinggi membuat semua orang yang ada di tempat itu langsung beranjak menjauhi tempat itu, mereka sadar bila berada di dekat dua orang yang tengah adu kesaktian itu bisa membahayakan diri mereka sendiri, salah salah mereka bisa terkena pukulan nyasar, jadi mereka berlaku mencari aman dengan jalan menjauh dari tempat pertarungan adu kesaktian tersebut. "Ekh?! Pendekar Pedang Matahari?!" seru salah seorang di antara mereka begitu melihat siapa yang sedang adu kesaktian dengan Datuk Tongkat Ular. "Ekh?! Pendekar Pedang Matahari?!!" seru semua tercekat kaget mendengar ada yang menyebut gelar Pendekar Pedang Matahari. siapa yang tak kenal dengan gelar tersebut, gelar Pendekar Pedang Matahari yang telah menggegerkan dunia persilatan. mereka menoleh ke arah pemuda berjubah putih dengan pedang bergagang kepala naga di punggungnya. "Pendekar Naga Putih?!" seru orang separuh baya cepat. "apa benar pemuda bertopeng perak itu Pendekar Pedang Matahari?" ucap orang tua itu. Pendekar Naga Putih menoleh ke orang separuh bayu. "paman Santiko Aji." seru Panji mengenal orang separuh baya tersebut. "benar, paman. dialah yang Pendekar Pedang Matahari." ucap Panji kemudian. mereka kembali memusatkan perhatiannya ke arah pertarungan Antoch dengan ki Jalak Ireng. "Ajian Ular Hijau memburu kematian." teriak ki Jalak Ireng keras. dari ujung tongkat yang berbentuk kepala ular melesak sinar hijau yang menderu menerjang ke arah Antoch. "pukulan matahari." teriak Antoch lantang. dari tangan kanan Antoch tergenggam keperakan melesat sinar putih keperakan mengandung hawa panas luar biasa menerjang ke arah ki Jalak Ireng. dua sinar pukulan sakti berada di satu garis lurus lalu bertemu di satu titik. Ledakan maha dahsyat terdengar keras membuat tanah di tempat itu bergetar bagai terkena gempa. efek pukulan sakti yang beradu itu sampai ke tempat orang orang yang menyaksikan pertarungan itu. mereka sampai mengerahkan tenaga dalam untuk meredam efek yang ditimbulkan beradunya dua pukulan sakti tersebut. orang yang memiliki tenaga dalam menengah langsung roboh tidak kuat menahan efek dahsyat dua pukulan sakti tersebut. sedang orang orang yang memiliki tenaga dalam yang dapat diandalkan tidak mengalami goncangan yang berarti. tampak sinar putih keperakan pukulan matahari menekan dan menembus sinar hijau Ajian Ular Hijau memburu kematian dan langsung melabrak tubuh ki Jalak Ireng. "uaaagkh." jerit k Jalak Ireng. tubuh ki Jalak Ireng terpental sepuluh tombak menabrak pohon pohon hingga bertumbangan, tubuh ki Jalak Ireng baru berhenti setelah menabrak batu besar. tampak tubuh ki Jalak Ireng jadi hitam gosong kemudian meleleh jadi abu hitam. benar bener mengerikan akibat terkena pukulan matahari. Antoch hanya terseret ke belakang tiga langkah saja, dia merasakan dadanya agak nyeri di dalam, dengan cepat Antoch bersila mengobati luka dalamnya dengan pengerahan hawa murni ke setiap aliran darahnya agar kembali normal. "uhuk uhuk." Antoch terbatuk pelan. "agaknya aku terlalu memforsir tenaga dalamku. dalam 7 hari kedepan aku tak mungkin lagi bisa menggunakan pegempang saktiku. yaitu sindat tense. mulai sekarang aku harus berhati hati. dalam 7 hari kedepan aku hanya bisa megempangi diriku dengan ilmu sembilan bulan saja. ilmu sembilan matahari tidak akan bisa keluarkan selama 7 hari kedepan." batin Antoch dalam hati. itulah kelemahan ilmu yang Antoch miliki, bila dia menggunakan salah satu dari tiga ilmu dewa maka ilmu yang beraliran dengan yang di gunakan ilmu dewa tersebut akan musnah selama beberapa hari. ini tergantung besar kecilnya tenaga dalam yang di keluarkan. beruntung tadi Antoch hanya menggunakan sepertiga tenaga dalamnya karna tadi sewaktu mengerahkan pukulan matahari Antoch megempangi dirinya dengan ilmu pegempang raga. sehingga efek pukulan lawan dapat dibuyurkan oleh ilmu tersebut, namun akibatnya Antoch harus kehilangan dua ilmunya untuk sementara waktu. yaitu ilmu mataharinya dan ilmu pegempang raga atau sindat tense. "anak muda kamu baik baik saja?" ucap ki Rejo Warang kalem sambil menyentuh pundak Antoch. ki Rejo Warang agak mencemaskan keadaan penolongnya tersebut. Antoch membuka matanya dan menatap orang tua itu lembut. "tidak. aku tidak apa-apa." ucapnya kalem menenangkan kecemasan orang tua di depanya itu. "sukurlah tuan pendekar baik baik saja. saya mengira tuan pendekar terluka dalam akibat bentrokan tenaga dalam dengan ki Jalak Ireng tadi." ucap ki Rejo Warang. Antoch beranjak berdiri dari bersila. "tidak. saya baik baik saja." "Antoch. kamu tidak apa-apa?" seru Intan Ayu cepat setelah sampai di samping Antoch. Antoch menoleh ke arah Intan Ayu lalu menggeleng cepat. "sukurlah kamu baik baik saja. aku sudah cemas tadi melihat pertarungan adu kesaktianmu dengan orang tua itu." ucap Intan Ayu menarik nafas lega. Antoch tersenyum lebar mendengar itu. "Pendekar Pedang Matahari memang luar biasa sekali. hebat." "Pendekar Pedang Matahari?!" seru ki Rejo Warang dan beberapa orang yang ada tempat terkejut. mereka tidak menyangka kalau pemuda bertopeng perak di depan mereka adalah tokoh pendekar yang saat ini telah membuat geger dunia persilatan wilayah timur dengan sepak terjangnya yang membuat semua jadi kagum. "benarkah kisanak ini adalah pendekar besar yang saat sedang ramai di bicarakan orang? sungguh anugrah bagi kami bisa bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari." ucap ki Rejo Warang menjura hormat sedikit membungkuk. Antoch tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. "maaf. kami mohon permisi dulu. Intan! Mari!" ucap Antoch lalu tanpa menunggu jawaban semua orang segera menggandeng tangan Intan lalu melesat cepat dari tempat tersebut. semua orang hanya diam terpana dengan gerakan kilat Pendekar Pedang Matahari yang sungguh luar biasa cepat bagai hilang di telan bumi. "Hmmm. sungguh luar biasa hebat ilmu meringankan tubuhnya." guman beberapa sambil geleng geleng kepala kagum. Semua orang yang ada tempat itu segera beranjak pergi ke arah timur menuju ke Lembah Tengkorak. Sementara ìtu Antoch yang berlari cepat dengan menggandeng tangan Intan Ayu sudah keluar dari hutan kecil itu. Mereka sampai di sebuah anak sungai yang airnya mengalir sangat jernih, di batu besar di bawah pohon cempedak yang tumbuh menjorok ke arah sungai mereka berhenti, tampak nafas Antoch sangat memburu tidak seperti biasanya, agaknya Antoch menyembunyikan sesuatu. "Hah hah hah. aku tidak kuat lagi." Ucap Antoch dengan nafas yang terengah engah. "Antoch ! Antoch ! kamu tidak apa-apa?" Seru Intan Ayu heran dengan keadaan Antoch yang tidak seperti biasanya. Intan memegang tangan Antoch. "Ekh?!" seru Intan Ayu tersentak kaget. "tubuhmu panas. apa yang terjadi?" Intan mulai merasa cemas melihat keadaan Antoch yang suhu tubuhnya panas. "Uhuk uhuk !!" Antoch batuk lalu muntah darah segar dari mulutnya. "Hehh... aahh." Antoch mendesah lalu roboh pingsan di atas batu. "Antoch ! Antoch ! Antoch !" Teriak Intan Ayu panik. Intan Ayu panik sekali melihat Antoch roboh pingsan. Dengan cepat Intan Ayu mengangkat tubuh Antoch, Intan merasakan suhu tubuh Antoch semakin tambah panas. Dalam bingungnya Intan Ayu sekilas melihat di tebing ada goa kecil maka dengan cepat Intan Ayu membawa Antoch dengan sekuat tenaga menuju goa kecil tersebut. Matahari semakin merambat naik tepat di atas kepala. Gemericik air sungai terdengar memecah kesunyian siang bolong. kembali tempat itu menjadi sunyì. KUDA putih tegap dan gagah berlari kencang menembus angin laksana anak panah yang terlepas dari busurnya, tanah yang di tinggalkannya tampak debu tebal menggulung gulung karna habis di lewati kuda putih tersebut. sang penunggang kuda putih ternyata adalah gadis jelita dengan paras yang cantik bagai bidadari dari khayangan tampak semakin anggun di atas kuda putih betina tersebut. sesekali kepala gadis itu menengok ke belakang memastikan tidak ada lagi yang mengikuti dirinya. si gadis semakin memacu kuda putihnya dengan cepat karna hari sudah beranjak siang, ini terlihat dari matahari yang sudah mencapai atas kepala. kuda putih itu meringkik keras lalu dengan cepat menerobos kelebatan hutan, hingga tak berapa lama telah keluar dari hutan tersebut. di pengkolan jalan si gadis mengambil arah ke kanan menuju ke sebuah pemukiman penduduk yaitu desa ngampon. memasuki mulut gerbang desa maka si gadis membawa kuda putihnya pelan pelan. tampak para penduduk desa yang berpapasan membungkuk hormat tanda penduduk desa ngampon sangat ramah dan sopan serta menghormati orang lain. sampai di tengah desa si gadis berhenti di sebuah kedai yang cukup besar, tampak dari dalam kedai keluar orang tua setengah baya langsung menghampiri si gadis jelita. orang tua itu membungkuk hormat lalu memegang tali kekang kuda putih tersebut. si gadis turun dari kuda putihnya. "mangga den ayu. silakan !" ucap orang tua separuh baya tersebut penuh sopan santun dan ramah. si gadis mengangguk sedikit kemudian melangkah memasuki kedai makan tersebut yang kebetulan agak sedikit sepi. biasanya kedai tersebut cukup ramai di datangi pengunjung karna masakannya terkenal enak. si gadis dengan tenang duduk di pojok ruangan dekat dengan jendela. si gadis mengedarkan pandangannya ke luar kedai sejenak lalu menoleh ke samping karna ada orang yang mendekati tempat dia duduk. "den ayu mau pesan apa?" ucap pelayan kedai tersebut kalem. "satu porsi makan dan minum." sahut si gadis lembut. nada suaranya terdengar enak sekali di telinga. "baik. saya persiapkan dulu." si pelayan kembali menuju belakang kedai. si gadis menarik nafas dalam dalam lalu menghembuskannya dengan cepat. "hehh mmm... sudah hampir seminggu aku meninggalkan salatiga. semoga saja mereka tidak berusaha lagi mencari ku. aku capek dan bosen harus terus tinggal di istana kadipaten. aku ingin merasakan dunia luas ini tanpa harus terikat segala aturan yang membuat ku bagai di penjara. hehhmm.." ucap gadis itu lirih sekali. si gadis menghempaskan tubuhnya kebelakang bersandar pada dinding kedai yang terbuat dari kayu. dia menghela nafas panjang seolah melepas kepenatan setelah seharian berkuda. tak berapa lama pelayan kedai menghampiri si gadis. "mau pesan apa den ayu?" ucap pelayan kedai tersebut ramah. si gadis menoleh ke arah pelayan itu. "hehh. sediakan satu porsi makan dan minum !" sahut si gadis lembut. suaranya begitu merdu enak di dengar di telinga. "baik. sebentar akan saya persiapkan." pelayan kedai itu segera beranjak menuju dapur kedai guna mempersiapkan pesanan gadis jelita tersebut. "hehhhmm.. Lembah Tengkorak masih sangat jauh dari desa ngampon ini. haruskah aku kesana atau langsung ke gunung gede?" batin si gadis dalam hati. "ahhh. aku coba ke Lembah Tengkorak saja. aku penasaran dengan desas desus tentang undangan misterius yang hingga sampai ke wilayah tengah. ya aku akan kesana. harus !" ucap si gadis lirih yang hampir tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. "ini den ayu pesanannya. silakan !" ucap pelayan kedai yang datang membawa pesanan si gadis jelita itu. "terima kasih." si gadis mengangguk sedikit. dia segera menyantap makanan yang telah di sediakan oleh pelayan kedai tadi. tak berapa lama datang dua orang memasuki kedai tersebut. "Pendekar Pedang Matahari memang sangat luar biasa hebat. Datuk Tongkat Ular dapat di kalahkan dengan begitu mudahnya. padahal Datuk Tongkat Ular adalah salah dedengkot golongan hitam yang sudah sangat tersohor di dunia persilatan tanah jawa ini." kata orang yang sebelah kanan. orang ini memiliki perawakan tegap dan cukup gagah. sebilah pedang tersampir di pinggangnya. "kau benar barong. di usianya yang masih muda sudah memiliki ilmu yang begitu tinggi. aku kagum dengan pemuda itu. luar biasa !" sahut orang yang sebelah kiri. orang ini bernama sukiran. mereka adalah dua pendekar pedang dari timur. "aku rasa untuk berhadapan dengan Pendekar Pedang Matahari pasti berpikir seribu kali." ucap barong. "Pendekar Pedang Matahari?!" gumam si gadis lirih dengan kening mengerut. dengan cepat si gadis menghampiri dua orang yang baru datang tadi. "maaf kisanak mengganggu sebentar.." ucap si gadis kalem. dua orang tadi sama-sama menoleh ke arah si gadis. "siapa itu Pendekar Pedang Matahari? dimana aku bisa menemuinya?" tanya si gadis dengan nada suara kalem. Dua orang itu saling pandang sejenak lalu kembali menatap ke arah si gadis. "maaf. siapa nisanak?" tanya sukiran dengan mimik ingin tahu maksud si gadis jelita. "nama ku dewi sekarwati. aku sedang mencari orang yang bergelar Pendekar Pedang Matahari. apakah kisanak berdua tau dimana aku bisa menemuinya?" ucap si gadis cepat. "oh ! kami tidak tahu dimana nisanak bisa ketemu dengan Pendekar Pedang Matahari. tapi kami tadi melihat Pendekar Pedang Matahari pergi ke arah utara hutan welirang. ada urusan apa nisanak ingin bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari?" sahut sukiran cepat. "oh ! terima kasih kisanak !" ucap si gadis cepat lalu segera melesat keluar dari kedai menghampiri kuda putihnya. dengan cepat si gadis naik ke punggung kuda lalu menggebrak kuda putihnya menuju hutan welirang. begitu matahari sudah condong ke barat si gadis baru sampai di pinggiran hutan welirang. si gadis agak bimbang juga melihat hutan welirang yang begitu lebat apa lagi hari sudah sore menjelang senja. akhirnya si gadis memutuskan untuk kembali ke desa dan mencari penginapan, dia tidak mau ambil resiko jika tetep nekat masuk ke hutan welirang yang juga terkenal sangat angker. API unggun kecil tampak menyala di ruangan goa, apinya cukup menerangi ruangan goa tersebut. bau harum daging panggang tampak menyengat di hidung dan membuat selera makan jadi tergugah. tampak Intan Ayu sedang membolak balik kelinci hutan yang tengah di panggangnya. sesekali Intan Ayu menoleh ke arah sudut goa dimana Antoch tergeletak belum sadarkan diri. Intan menghela nafas panjang karna masih bingung dan cemas dengan keadaan Antoch belum sadarkan diri dari tadi siang. Intan Ayu lalu beranjak mendekati Antoch dan duduk di samping pemuda yang selalu menutupi wajahnya dengan topeng perak. "heehhh. suhu tubuhnya masih tinggi. aku kuatir Antoch dengan keadaanya yang mencemaskan itu. apa yang terjadi sebenarnya dengan Antoch? apa dia terkena racun jahat setelah bertarung dengan Datuk Tongkat Ular tadi?" ucap Intan Ayu lirih. Intan Ayu meletakkan kelinci panggannya di atas daun pisang yang ada di atas batu. nafsu makannya jadi hilang setelah melihat keadaan Antoch yang begitu mencemaskan. dia tidak tau harus berbuat apa untuk menolong Antoch karna dia tidak tau tentang ilmu pengobatan. "ehm ehm.. tidak usah cemas nisanak ! dia baik baik saja !" tiba-tiba ada suara orang bicara dari arah mulut goa. kontan saja Intan Ayu jadi terkejut dan langsung berdiri menghadap ke arah mulut goa. tangannya segera memegang gagang pedang untuk berjaga jaga. tampak di mulut goa berdiri seorang kakek dengan berjubah putih memegang tongkat berliku liku di tangan kanannya. "Heh. siapa kau?" seru Intan Ayu dengan sorot mata tajam menatap orang tua berjubah putih di mulut goa. kakek berjubah putih tersenyum lembut sambil melangkah pelan ke arah Intan Ayu. "berhenti ! jangan berani mendekat atau aku harus bersikap kasar padamu orang tua !" seru Intan Ayu cepat. kembali kakek tua tersebut tersenyum lembut. "kita satu golongan. tidak perlu menaruh wasangka yang bukan bukan. nisanak !" ucap kakek tua itu dengan suara halus menunjukkan sikap bersahabat. Intan Ayu tidak mau berlaku lengah karna bisa saja sikap ramah si kakek hanyalah pura pura belaka dan di kala dirinya lengah bisa saja si kakek menyerang dirinya dan juga Antoch yang tengah pingsan tidak berdaya. setiap orang yang hendak berniat jahat pasti menghalalkan segala cara meskipun itu dengan cara licik. Intan tidak mau kecolongan dengan hal ini dan memilih bersikap waspada. "tenanglah nisanak ! aku bukan orang jahat. aku hendak menolong temanmu itu. kalau tidak segera di tolong aku kuatir sakitnya tambah parah !" ucang kakek berjubah putih tersebut dengan nada suara tenang dan lembut. Intan Ayu sejenak menoleh ke arah Antoch lalu kembali menatap orang tua di depannya penuh selidik. "katakan dulu siapa kau orang tua !" seru Intan Ayu cepat. kakek tua itu tersenyum lembut sambil mengusap janggut putihnya yang panjang. "hehhm. aku ki Wanengpati. orang orang menjuluki ku tabib putih delapan penjuru angin." ucap orang tua itu lembut mengenalkan siapa dirinya. "hah?!" Intan Ayu terperanjat mendengar julukan orang tua di depannya itu. siapa yang tidak tau dengan julukan tabib putih delapan penjuru angin, seluruh dunia persilatan tanah jawa pasti mengenal dengan julukan itu. orang tua sakti dari daratan jawa tengah yang terkenal akan kemahirannya dalam mengobati segala macam penyakit. tapi untuk menemui orang sakti itu sangatlah sulit karna orang tua sakti itu selalu mengembara di setiap pelosok daratan tanah jawa ini. kemunculannya di goa tempat Intan Ayu dan Antoch berada pasti suatu takdir yang membawanya ke goa itu. "apakah aku boleh memeriksa temenmu itu nisanak?" ucap ki Wanengpati memecah lamunan Intan Ayu. Intan Ayu diam saja dan hanya bergerak agak menyingkir memberi jalan pada orang tua tersebut. ki Wanengpati melangkah perlahan ke arah Antoch yang tergeletak. sejenak ki Wanengpati mengamati Antoch dari atas sampai bawah. "hehhhm. sungguh luar biasa ilmu pemuda ini. kekuatan yang ada di tubuhnya adalah murni kekuatan dari mata batinnya. bukan kekuatan yang di dapat dari hasil berlatih ataupun pemberian orang laen namun murni kekuatan yang benar benar lahir dari mata batinnya. bisa di katakan pemuda ini memiliki kekuatan di atas dewa sekalipun. tidak aku sangka ada manusia yang seperti ini hidup di dunia ini. mungkin hanya ada satu manusia saja yang bisa memiliki kekuatan seperti ini dalam sejarah hidup manusia selama ini. sungguh tidak dapat di percaya ada manusia seperti ini jika aku tidak melihatnya secara langsung. hehhhm.." ucap ki Wanengpati dalam hati. orang tua itu menengok ke arah gadis cantik di sebelahnya itu sejenak. kemudian dia mengusap dada Antoch tiga kali. usapan itu bukan hanya usapan biasa namun di iringi pengerahan hawa murni. "bangunlah ! anak ku bangunlah! bangunlah !" ucap ki Wanengpati lembut. tampak Antoch mulai siuman, kepalanya bergerak pelan di iringi erangan dari mulutnya. matanya perlahan terbuka. ki Wanengpati tersenyum senang melihat Antoch sudah mulai siuman. "bangunlah anak ku !" ucapnya lembut. Antoch mengerjapkan matanya lalu mulai merayapi seluruh ruangan goa sampai matanya melihat dua orang di sampingnya. "ehhhmm. " Antoch beranjak dari berbaringnya untuk duduk. setelah duduk bersila Antoch melakukan semedi ini bertujuan mengembalikan tenaganya dan mengatur jalan darahnya yang tidak teratur. tak berapa lama Antoch membuka matanya. "ki Wanengpati?" ucap Antoch kalem. "terima kasih sudah menolong ku." "hemm." ki Wanengpati bergumam mengangguk. "apa yang terjadi anak ku?" tanya nya kemudian. Antoch menghela nafas panjang. hidungnya kembang kempis membaui bau harum yang menggugah rasa laparnya. "ada bau harum. apa ini?" ucapnya cepat. Intan Ayu cepat cepat mengambil kelinci bakar yang ada di atas daun pisang. "kau lapar,ntoch? ini makanlah !" ucap Intan Ayu menyerahkan kelinci bakarnya pada Antoch. tanpa ragu ragu Antoch langsung menyambar kelinci panggang di tangan Intan dan langsung melahapnya dengan cepat. maklum perutnya sangat kelaparan. Intan Ayu dan ki Wanengpati hanya tertawa kecil melihat Antoch yang sangat lahap makannya itu. "ini minumnya." Intan Ayu menyodorkan bambu yang berisi air putih. gluk gluk gluk... suara air yang di minum Antoch. "ahh. kenyang." ucapnya tanpa malu malu. kembali Intan Ayu dan ki Wanengpati tertawa kecil melihat hal itu. "apa yang terjadi anak ku?" tanya ki Wanengpati lagi. Antoch menatapa orang tua di depannya lembut. "hehhh. aku terlalu ceroboh ki." ucapnya pelan bagai untuk dirinya sendiri. ki Wanengpati mengerutkan keningnya tidak mengerti. "aku ceroboh telah melanggar pantangan." ucap Antoch lagi. "apa maksudmu anak ku? pantangan apa?" ucap ki Wanengpati tidak mengerti. Antoch menghela nafas panjang. "pantangan untuk tidak menggunakan tiga ilmu dewa. aku telah memagari tiga ilmu dewa tersebut agar tidak aku gunakan tapi aku telah melanggarnya." ucap Antoch. ki Wanengpati manggut manggut mendengar hal itu. "apa yang terjadi bila kau sudah melanggar pantangan itu anak ku?" tanya ki Wanengpati ingin tau. "semua ilmu yang bersumber dari tiga ilmu dewa itu akan musnah." "APA?!" ki Wanengpati dan Intan Ayu sampai terlonjak kaget mendengar itu. "semua ilmumu akan musnah?!" seru ki Wanengpati ingin kejelasan. Antoch diam dan menunduk menekuri tanah. ki Wanengpati dan Intan Ayu menatap Antoch dengan seribu pertanyaan di dada. tanpa mereka ketahui ternyata ada sesorang yang mendengarkan pembicaraan mereka. orang itu tersenyum penuh arti lalu berkelebat pergi dari tempat itu. Antoch kembali menatap ki Wanengpati. "tidak semua ilmu ku musnah ki. hanya ilmu matahari ku saja yang sementara ini tidak bisa aku keluarkan sebab aku telah menggunakan pukulan matahari. dalam tujuh hari ke depan aku tidak dapat menggunakan ilmu matahari ku." ucap Antoch. "setiap kali aku gunakan salah satu dari ilmu dewa maka saat itu juga ilmu ku akan musnah untuk beberapa lama. tergantung dari besar kecilnya tenaga dalam yang aku gunakan." ki Wanengpati manggut manggut paham. "begitu. lalu apa yang sekarang kamu gunakan?" "hanya ilmu sembilan bulan dan berapa ilmu lain yang tidak beraliran dengan ilmu matahari." "ilmu sembilan bulan termasuk ilmu yang luar biasa dahsyat. aku rasa dengan ilmu itu kamu tidak perlu kuatir dalam pengembaraanmu. apa lagi pedang matahari masih di tanganmu. jadi tidak ada masalah lagi." "tidak !! pedang matahari sudah tidak ada gunanya jika ilmu matahari ku belum kembali. lihatlah !" Antoch mengambil pedang mataharinya dari punggung. pedang matahari tercabut dari sarungnya. tampak pedang matahari tidak seperti biasanya yang memancarkan pamor kuning keemasan. pedang itu kini tak lebih hanya pedang biasa yang tidak memiliki kesaktian apa-apa. "ki Wanengpati lihat sendiri. pamor pedang matahari juga ikut lenyap. pedang ini tak lebih hanya sebuah pedang biasa saja." ki Wanengpati dan Intan Ayu menatap pedang matahari di tangan Antoch yang memang berubah jadi pedang biasa saja. Antoch meletakkan pedang mataharinya di tanah bersama sarungnya. sungguh ajaib tiba-tiba pedang dan sarung pedang matahari amblas masuk ke dalam tanah. "untuk sementara ini pedang matahari telah kembali ke tempatnya dan akan muncul lagi jika kekuatan ilmu matahari ku sudah kembali." ucap Antoch kalem. "aku akan bersemedi malam ini dan aku harap kalian menjauh dari sini." ucapnya lagi. ki Wanengpati mengangguk paham kemudian beranjak berdiri. "sebaiknya kita keluar dari goa ini, cah ayu !" ucapnya pada Intan Ayu. ki Wanengpati melangkah keluar sedang Intan Ayu masih bingung dan menatap Antoch yang sudah mulai bersemedi. mau tidak mau akhirnya Intan Ayu beranjak juga keluar dari goa tersebut. di mulut goa Intan menatap Antoch sejenak lalu kembali melangkah keluar hingga tubuhnya hilang dari mulut goa. SEBUAH panggung megah tampak berdiri di tanah yang lapang, umbul umbul warna warni tampak menghiasi sudut sudut panggung serta jalanan yang menuju area lapang dimana panggung megah itu berada. Panji Panji kebesaran bergambar kalajengking hitam tampak berkibar gagah di belakang panggung. di depan panggung terdapat kursi kursi yang di tata rapi. di kanan kiri panggung juga terdapat kursi kursi berjajar dengan rapi. agaknya tempat itu akan ada hajat secara besar besaran yang di selenggarakan tuan rumah yaitu dewi Lembah Tengkorak. siang itu tampak tempat duduk depan panggung sudah di isi oleh para tamu undangan dari kalangan persilatan dan juga dari beberapa wakil kerajaan. mereka umumnya orang orang dari golongan putih. sedang di kanan panggung juga sudah di isi oleh orang orang berbaju hitam, mereka dari golongan hitam. di kiri panggung juga sudah di isi orang orang yang berbaju biru merah. mereka adalah orang orang dari Lembah Tengkorak. sementara itu di suatu tempat tak jauh dari tempat panggung berada. "bagaimana, apa persiapan sudah selese?"tanya seorang wanita yang sangat cantik berbaju biru anggun dengan mahkota kecil di kepalanya. gayanya sangat anggun dan wajahnya sangat cantik sekali bagai seorang dewi dari khayangan. dia duduk di kursi empuk dengan setengah berbaring. di kanan kiri tempat ia duduk ada dua orang gadis kecil yang sibuk mengipasi wanita itu. wanita inilah yang bernama dewi Lembah Tengkorak. "sudah semua ratu !" sahut seorang wanita berpakaian merah. wajah wanita ini sangat mengerikan karna mirip tengkorak. sebenarnya gadis ini hanya memakai topeng tipis saja yang menyerupai wajah tengkorak. dialah kala merah. "bagus ! hahahaha !" dewi Lembah Tengkorak tertawa renyah lalu menatap empat orang di depannya yang merupakan muridnya. dewi Lembah Tengkorak mengerutkan keningnya. "hmmm. aku tidak melihat kala putih. dimana dia?" "ampun ratu. adik kala putih belum kembali dari tugasnya. mungkin dia mengalami rIntangan di jalan. sehingga terlambat kembali kesini." ucap kala merah takut takut. "goblok !" bentak dewi Lembah Tengkorak keras. "tugas ringan begitu saja tidak bisa di selesekan dengan cepat. akan aku jatuhi hukuman jika nanti dia kembali." seru dewi Lembah Tengkorak marah. tampak semua menunduk takut dan tidak berani buka suara lagi. "sudah ! kalian segera laksanakan tugas yang telah aku berikan pada kalian. cepat !" seru dewi Lembah Tengkorak keras. tanpa banyak bicara empat gadis itu segera berlalu dari hadapan ratu mereka yaitu dewi Lembah Tengkorak. tak berapa lama datang seorang gadis berpakaian serba putih namun wajahnya berupa tengkorak mengerikan. "kala putih menghadap ratu !" ucap gadis itu menjura dalam dalam. "kala putih ! dari mana saja kau baru datang?!" seru dewi Lembah Tengkorak keras karna marah melihat muridnya si kala putih terlambat datang. kala putih menjura hormat dengan takut takut. "ampuni saya ratu. ada berita yang hendak saya laporkan pada ratu." dewi Lembah Tengkorak menatap tajam pada kala putih. "katakan ! berita apa yang hendak kamu sampaikan. apa berita penting?" "ini menyangkut Pendekar Pedang Matahari ratu." "Pendekar Pedang Matahari?! kau bertemu dengan Pendekar Pedang Matahari? dimana?" "hutan welirang. berita apa itu?" "ketika saya dalam perjalanan kembali kesini secara tidak sengaja saya melihat dua orang yang sedang mengadu kesaktian. dua orang itu adalah ki Jalak Ireng yang berjuluk Datuk Tongkat Ular melawan seorang pemuda bertopeng perak yang baru saya ketahui kalau pemuda itu adalah Pendekar Pedang Matahari." kala putih lalu menceritakan kejadian yang dia temui ketika kembali ke Lembah Tengkorak. "begitulah ratu yang saya dengar dari telinga saya sendiri." kala putih mengakhiri ceritanya. "hahahaha !! langit berpihak pada kita. sekarang tidak ada penghalang lagi untuk ku menguasai dunia persilatan ! hahahaha !" dewi Lembah Tengkorak tertawa keras karna senang mendengar berita dari kala putih itu. "hahahaha ! akulah penguasa dunia persilatan ! hahahaha !" kala putih tetap diam saja melihat ratunya tertawa keras setelah mendengar berita darinya. "kala putih. lekas kau bergabung dengan yang laen. ingat dengan rencana yang sudah lama kita persiapkan !" seru dewi Lembah Tengkorak cepat memerintahkan kala putih untuk bergabung dengan empat rekanya yang sudah berada di tempat pertemuan. "baik ratu !" kala putih membungkuk hormat lalu segera berlalu dari tempat itu. tinggal dewi Lembah Tengkorak bersama dua pelayannya yang mengipasi dirinya. plok plok plok... suara tepuk tangan pelan dari arah samping pintu ruangan yang bernuansa serba biru tersebut. dewi Lembah Tengkorak menoleh ke kanan arah suara tepuk tangan tersebut, wajahnya langsung berseri ceria, senyumnya mengembang lebar setelah melihat orang yang bertepuk tangan tadi. tampak di pintu samping berdiri seorang pria gagah dengan perawakan tegap dan berwajah tampan. dadanya bidang terlihat dari belahan bajunya yang tidak berkancing. otot ototnya tampak kekar menambah kegagahan tubuhnya. "kakang Bagus Sampurno !" seru dewi Lembah Tengkorak sumringah menyebut nama pemuda tersebut. pemuda yang bernama Bagus Sampurno itu berjalan tenang menghampiri dewi Lembah Tengkorak. "kemana saja kau kakang tiga hari ini tidak muncul menemui ku?" .Bagus Sampurno hanya tersenyum lembut saja, dia meraih tangan dewi Lembah Tengkorak lalu mencium punggung tangannya dengan kecupan mesra membuat gadis cantik itu bersemu merah karna bahagia. si gadis memejamkan matanya ketika wajah Bagus Sampurno mendekat ke wajahnya dan tak lama dia merasakan sesuatu yang lembut telah melumat bibirnya. nafas jadi agak memburu dan dadanya jadi bergemuruh. "aku merindakanmu dewi." ucap Bagus Sampurno lembuh di telinga dewi Lembah Tengkorak. "aku juga merindukanmu kakang." sahut dewi Lembah Tengkorak lirih. "aku senang sebentar lagi impian kita akan tercapai. impian untuk menguasaì dunia persilatan." "iya kakang. apa lagi penghalang kita Pendekar Pedang Matahari telah musnah ilmunya akibat melanggar pantangan." "ya ! aku sudah mendengarnya tadi." ucap Bagus Sampurno lalu mengecup bibir dewi Lembah Tengkorak. "sekarang kau cepatlah ke tempat pertemuan. aku lihat semua pendekar sudah berkumpul di sana." dewi Lembah Tengkorak mengangguk pelan. "kau sendiri mau ngapain kakang?" "ada yang harus aku kerjakan. aku sudah membuat jebakan jebakan di sekitar lembah. akan aku buat Lembah Tengkorak menjadi neraka dan kuburan bagi para pendekar yang menentang kita." ucap Bagus Sampurno tersenyum licik penuh arti. dewi Lembah Tengkorak juga tersenyum penuh kelicikan. "baiklah ! aku kesana dulu kakang." dewi Lembah Tengkorak beranjak berdiri lalu melangkah menuju pintu belakang singgasananya. Begitu sosok dewi Lembah Tengkorak hilang di balik pintu maka Bagus Sampurno menghempaskan tubuhnya di singgasana kebesaran istana Lembah Tengkorak. dia memandang ke sekeliling ruangan yang bernuansa serba biru itu dengan senyum kelicikan. matanya melirik ke arah gadis belia yang tadi mengipasi dewi Lembah Tengkorak. gadis belia yang mungkin berusia tiga belas tahun namun memiliki tubuh sintal menggemaskan. dengan cepat Bagus Sampurno menarik gadis itu kepangkuannya. "siapa namamu manis?" tanya Bagus Sampurno sambil mengelus rambut pipi dan dagu gadis itu. "bunga raden." sahut gadis itu takut takut. "oh, bunga ! nama yang cantik secantik dirimu. hehehe" Bagus Sampurno mencium bibir gadis itu dan tangannya meremasi bagian yang mebusung indah di dada si gadis belia yang benama bunga. bunga sangat ketakutan sekali namun apa daya bagi dirinya yang tidak bisa apa-apa. dia hanya bisa menggigit bibirnya ketika laki laki itu menelanjangi dirinya. bunga berteriak tinggi saat merasakan benda yang keras lunak menerobos paksa pada kemaluaannya. bunga hanya menggigit bibir untuk mereda rasa perih di kemaluannya saat benda asing mengobok obok lubang kencingnya. deru nafas Bagus Sampurno begitu cepat saat menggauli gadis belia yang bernama bunga tersebut. hingga pada suatu ketika dia bagai tersengat listrik dan tubuhnya tegang mendesah panjang. lalu tak berapa lama tubunya lunglai menindih bunga. setelah itu Bagus Sampurno merapikanpakaiannya lalu pergi tanpa peduli dengan gadis belia yang ia perkosa tadi. sungguh biadab sekali kelakuan Bagus Sampurno itu. TEMPAT pertemuan di Lembah Tengkorak terlihat begitu ramai sekali. di antara para undangan yang datang tampak beberapa tokoh persilatan yang sudah terkenal gelarnya, ada pengemis tongkat putih, dewa tangan api, si jari malaikat dan beberapa tokoh yang sudah kawakan di dunia persilatan. tampak juga Antoch hadir di antara para pendekar golongan putih. di samping Antoch terlihat Intan Ayu dan ki Wanengpati alias tabib putih delapan penjuru angin. tak jauh dari Antoch terlihat Pendekar Naga Putih bersama Kenanga serta beberapa murid padepokan ruyung sakti. di barisan agak ke depan ada ki Rejo Warang bersama muridnya Gayatri. mereka berdua tengah mengamati setiap orang yang hadir di tempat itu. di barisan belakang ada gadis cantik yaitu dewi sekarwati, ada juga Rakanini dan Lestari. "Intan. itu orang yang kamu cari. eyang Rakanini dan kakakmu Lestari." ucap Antoch pelan menunjuk ke arah Rakanini dan Lestari. Intan Ayu menoleh ke arah yang di tunjuk Antoch. "ekh ! iya itu eyang Rakanini dan kak Lestari !" seru Intan Ayu cepat. "sebaiknya kamu hampiri mereka Intan." ucap Antoch. Intan Ayu menatap Antoch sejenak seolah minta persetujuan. Antoch mengangguk sedikit. "aku tidak apa-apa. hampiri mereka mumpung kalian bisa ketemu." "kamu tidak apa-apa?" ucap Intan Ayu meyakinkan. "he-em !" Antoch mengangguk cepat. Intan Ayu nampak agak ragu ragu untuk beranjak dari tempatnya namun akhirnya Intan Ayu tidak jadi berniat menemui eyang Rakanini dan kakaknya Lestari. dia malah duduk bersandar dengan sikap acuh. Antoch mengerutkan keningnya karna heran dengan sikap Intan Ayu yang malah acuh saja. "kenapa?" tanya Antoch penasaran. Intan Ayu melirik Antoch lalu geleng geleng kepala tanda tidak apa-apa. Antoch angkat bahu saja lalu menghela nafas panjang. TAK berapa lama datang rombongan menuju ke arah kursi di sisi kiri panggung. tampak seorang wanita cantik jelita berpakaian serba biru dan berhiaskan mahkota kecil di atas kepalanya berjalan di iringi beberapa gadis cantik dan juga pengawal enam orang yang rata rata berpenampilan sangar dengan sebilah golok tergantung di pinggangnya. sesaat semua mata pandangannya beralih ke arah wanita yang datang bersama rombongan tersebut. mereka berbisik bisik bertanya tanya dalam hati siapa adanya wanita cantik tersebut. "Antoch. kamu tau siapakah wanita yang datang bersama rombongan itu? aku rasa dialah dewi Lembah Tengkorak !" ucap ki Wanengpati pelan ke arah Antoch. "kamu benar,ki ! aku juga rasa juga begitu." sahut Antoch setengah berbisik. "hmmm. aku tidak menyangka gadis semuda dia biang keladi semua kejadian berdarah yang selama ini terjadi, sungguh tidak di sangka." "coba perhatikan baik baik sekitar mata dan juga bawah telinganya ki." "ekh ! apa maksudmu?" ki Wanengpati mengerutkan keningnya tidak mengerti tapi dia tetep melihat dengan teliti ke tempat yang di tunjuk Antoch. "hehm?! gadis itu memakai topeng tipis yang benar benar sempurna. jika di perhatikan wanita itu mirip seorang gadis muda. apa yang kamu lihat, ntoch?" "wanita itu memakai penyamaran yang mampu mengelabuhi mata semua orang. di balik topeng tipisnya tersembunyi wajah aslinya. tapi .." Antoch menggantung ucapannya. dia memandang ke setiap sudut tempat pertemuan tersebut dengan seksama. "tapi apa?" sahut ki Wanengpati cepat. "coba lihat tempat ini baik baik,ki ! ada banyak sekali alat jebakan yang terpasang dan terhubung dengan pemicu yang entah berada dimana. aku merasa tempat ini sebentar lagi akan menjadi neraka bagi semua orang yang hadir di tempat ini." ucap Antoch kalem. "aku juga sudah melihatnya. kita harus waspada menjaga segala sesuatu yang tidak di inginkan !" sahut ki Wanengpati pelan. Antoch mengangguk cepat. "ya ki !" Dari arah samping kiri panggung ada seorang pria naik ke atas panggung. laki laki separuh baya berjubah coklat dan memegang sebuah tongkat di tangan kanannya. pria ini berdiri di tengah tengah panggung memandang ke semua para tamu yang hadir dalam pertemuaan tersebut. setelah berdehem beberapa kali pria separuh baya tersebut mulai membuka suara. "selamat siang dan selamat datang di Lembah Tengkorak kepada para pendekar yang telah hadir di tempat ini. perkenalkan nama saya ki arjo seno dan julukan ku si tongkat iblis." kata orang itu lantang membuka acara serta mengenalkan dirinya. setelah diam sejenak ki arjo seno mulai buka suara kembali. "kalian pasti penasaran dan bertanya tanya kenapa kalian di undang di Lembah Tengkorak ini. baik akan saya beritahukan pada para pendekar sekalian. kami atas nama partai Lembah Tengkorak mengajak kalian untuk bergabung dengan kami dan mulai hari ini kami mengumumkan bahwa partai Lembah Tengkorak adalah penguasa dunia persilatan !!" seru ki arjo seno lantang dan mantap. war wer wor... kontan saja semua orang yang hadir di tempat itu jadi geger mendengar pengumuman yang membuat mereka kaget. sejenak tempat itu jadi ramai dengan omongan omongan yang bernada bermacam macam tanggapan. ada yang setuju dan ada juga yang mencela serta ada juga yang menentang keputusan gila tersebut. "tenang ! tenang ! tenang !" seru ki arjo seno keras di barengi pengerahan tenaga dalam. seketika tempat itu kembali tenang. ki arjo seno menatap tajam ke semua orang yang hadir di tempat itu. "Dengar baik baik ! bagi siapa saja yang ingin bergabung kami persilakan mengambil ikat kepala berwarna biru yang ada di bawah tempat duduk kalian !" beberapa orang mengambil ikat kepala warna biru yang ada di bawah tempat duduk mereka lalu memakainya. mereka rata rata hanya dari golongan hitam saja, sedang orang dari golongan putih memilih tetap diam. ki arjo seno mendengus pelan melihat orang orang dari golongan putih yang sama sekali tidak menyentuh ikat kepala warna biru lambang partai Lembah Tengkorak tersebut. MAKA seketika pertempuran tidak bisa di hindarkan lagi. orang orang Lembah Tengkorak menyerbu para orang golongan putih yang menentang partai Lembah Tengkorak menjadi penguasa dunia persilatan. orang orang golongan hitam yang bergabung dengan Lembah Tengkorak juga ikut menyerbu orang orang golongan putih. Lembah Tengkorak seketika menjadi ajang pertumpahan darah antar dua golongan yang selama ini bersiteru. dentuman benda keras mewarnai pertempuran yang di iringi teriakan teriakan keras dari mereka. Teriakan teriakan keras menggelegar mewarnai pertempuran yang memekakan telinga namun menambah semangat pertempuran mereka. Lembah Tengkorak benar benar bagai sebuah neraka karna jerit kematian silih berganti menghiasi aroma pertumpahan darah itu. teriak keras dari pihak partai Lembah Tengkorak. seketika orang orang Lembah Tengkorak berlompatan mudur menjauh dari arena pertempuran. namun tiba-tiba ratusan anak panah beterbangan menghujani para pendekar golongan putih di susul senjata senjata tajam berupa paku paku hitam yang datang laksana gelomgbang. orang orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan kemampuan yang memadai mampu menghindari serbuan anak panah dan paku paku yang datang laksana gelombang badai tersebut. dengan susah payah mereka terus menghindari dan mematahkan anak panah dan pak paku terbang itu, belum selese anak panah dan paku paku menghujani mereka tiba-tiba terdengar ledakan ledakan dahsyat yang menewaskan hampir sebagian besar orang orang golongan putih. Lembah Tengkorak berubah jadi neraka bagi orang orang golongan putih. "Biadab !" seru Antoch melihat kekejaman partai Lembah Tengkorak yang telah berlaku licik. Antoch melompat tinggi lalu mengerahkan pukulan bertenaga dalam tinggi ke arah tempat tempat alat alat rahasia yang di siapkan orang orang Lembah Tengkorak. "pukulan es pembeku raga !" seru Antoch lantang. dari tangan Antoch melesat sinar putih yang menyebar ke arah tempat tempat yang di anggapnya tempat alat rahasia berada. sungguh luar biasa tiba-tiba tempat yang terkena pukulan es pembeku raga jadi beku bagai di lumuri es salju sehingga alat alat rahasia itu tidak berfungsi lagi. maka hujan anak panah dan paku paku terbang serta ledakan jadi berhenti. Antoch melesat ke arah orang orang Lembah Tengkorak mundur tadi. di belakang nampak beberapa orang juga mengejar orang orang Lembah Tengkorak. begitu sampai di sebuah bangunan megah mereka di serang orang orang Lembah Tengkorak. Pertempuran kembali berlangsung sengit. Antoch langsung melancarkan pukulan es pembeku raga dengan cepat maka orang orang yang terkena pukulan itu langsung membeku laksana di bungkus es. Antoch melompat tinggi di ikuti sebuah bayangan putih yang tak lain adalah Panji alias Pendekar Naga Putih. mereka bergerak bagai malaikat maut yang hendak mencabut nyawa siapa saja yang mereka temui. tiba di ruangan yang serba biru mereka di hadang oleh lima gadis bermuka tengkorak. "biar aku yang melawan mereka. kalian kejar pimpinan mereka !" seru orang tua keras. orang tua berjubah putih ternyata adalah ki Wanengpati. di belakangnya ada Rakanini dan pengemis tongkat putih. Antoch menoleh ke belakang lalu mengangguk setelah tau siapa yang teriak tadi. Antoch menoleh ke arah Panji. "ayo, kisanak !" seru Antoch. Panji mengangguk cepat lalu mengikuti Antoch yang sudah melesat menuju pintu di belakang singgasana dewi Lembah Tengkorak. mereka sampai di sebuah tempat yang berbatu batu dan beberapa pohon besar tumbuh. mereka berdiri sejajar dengan sikap penuh kewaspadaan karna mereka melihat tidak ada orang di tempat itu namun mereka yakin dewi Lembah Tengkorak bersembunyi di salah satu sudut tempat itu. "hati hati! aku merasa dewi Lembah Tengkorak sedang mengawasi kita di tempat tersembunyi!" seru Panji dengan sikap penuh kewaspadaan. Antoch mengangguk. tidak di kasih tau pun sebenarnya Antoch sudah paham dengan bahaya yang sedang mengintai mereka. pandangan mereka begitu tajam merayapi setiap sudut tempat itu. tiba-tiba ada desiran angin halus ke arah mereka. mereka segera menoleh ke arah suara itu, dengan gerakan cepat mereka berkelit menghindari benda kecil kecil yang beterbangan mengancam tubuh mereka. benda itu adalah jarum jarum hitam yang meluncur dengan cepat sekali laksana hujan. "tameng sakti menerpa hujan !" teriak Antoch sambil melompat mengarahkan pukulan jarak jauhnya ke arah jarum jarum beracun itu berdatangan. serangkum angin menderu ganas memporak porandakan jarum jarum beracun tersebut. tidak sampai di situ saja gerakan Antoch, tangan kirinya segera melepaskan pukulan sakti yang lain ke arah sumber datangnya jarum jarum beracun tadi berasal. "naga langit melebur batu karang !" selarik sinar putih melesat menuju batu besar. batu itu hancur berkeping keping berantakan. debu tebal membumbung tinggi akibat hancurnya batu besar yang terkena pukulan jarak jauh Antoch yang bernama pukulan naga langit melebur batu karang. Dari debu yang membumbung melesat bayangan biru yang tiba-tiba berdiri di depan Antoch dan Panji dalam beberapa langkah. dialah Dewi Lembah Tengkorak. sebenarnya waktu Antoch melepaskan pukulan naga langit melebur batu karang membuat Panji tersentak kaget karena pukulan naga langit melebur batu karang adalah salah satu pukulan saktinya dalam rangkaian ilmu naga sakti. dalam hati Panji bertanya tanya bagaimana mungkin Pendekar Pedang Matahari memiliki pukulan sakti tersebut, jelas ini sangat membingungkan hati Panji. tapi Panji menghiraukan rasa bingungnya itu dulu karna ini bukan saatnya untuk mencari tau semua itu. di hadapannya kini berdiri pimpinan partai Lembah Tengkorak. "hahahaha ! nyali kalian besar juga berani mengejar ku sampai di sini !" ucap dewi Lembah Tengkorak dengan tatapan mata yang sangat tajam menggetarkan hati siapa saja yang melihatnya. "huh ! hari ini akan ku hentikan kekejamanmu dewi Lembah Tengkorak !" ucap Antoch tandas. tatapan matanya tak kalah tajam dengan tatapan dewi Lembah Tengkorak. "hahahaha ! Pendekar Pedang Matahari. aku tau kau tak akan sanggup melawan ku. sebaiknya lekas minggat dari hadapan ku." "aku tau semua ilmu mataharimu sudah musnah karna kau telah melanggar pantangan ! benarkan kata ku?" seru dewi Lembah Tengkorak. "ekh?!" Antoch tersentak kaget mendengar itu. "dari mana dia tau kalau ilmu matahari ku sudah musnah?" batin Antoch dalam hati. "hahahaha ! kenapa? apa kau kaget aku tau ilmumu sudah musnah? hahahaha !" Antoch terdiam tidak bisa berkata apa-apa. emang benar apa yang di katakan dewi Lembah Tengkorak. ilmu mataharinya memang sudah musnah karna melanggar pantangangan. tapi dewi Lembah Tengkorak tidak mengetahui kalau ilmu Antoch tidak semuanya ikut musnah, masih ada ilmu sembilan bulan yang kekuatannya setingkat dengan ilmu matahari karna ilmu sembilan bulan adalah pasangan dari ilmu sembilan matahari. Antoch menatap tajam dewi Lembah Tengkorak. "biar aku yang menghadapinya, kisanak !" ucap Panji tiba-tiba sambil memegang pundak Antoch. Antoch menoleh ke arah Pendekar Naga Putih. "baiklah ! hati hati." ucap Antoch mengangguk sedikit. Panji mengangguk lalu maju dua tindak ke depan. "aku yang akan melawanmu !" seru Panji tenang. "hmmm. Pendekar Naga Putih ! ilmu naga saktimu sudah ku ketahui kelemahannya. majulah ! akan ku kirim kau ke neraka menyusul gurumu !" tandas sekali ucapan dewi Lembah Tengkorak. jelas tujuannya untuk memancing amarah Pendekar Naga Putih. Panji tersenyum tipis menanggapi pancingan dewi Lembah Tengkorak. "hehh. aku takut malah kau yang nanti bertemu setan neraka duluan !" ucap Panji tenang. "huh ! sombong kau bocah ! rasakan jurus ku !" teriak dewi Lembah Tengkorak murka. dengan gerakan bagai kilat dewi Lembah Tengkorak melesat menerjang dengan mengarahkan pukulannya ke arah kepala Panji. serangkum angin yang menderu kencang juga mengikuti gerakan pukulan dewi Lembah Tengkorak, ini menunjukkan pukulan dewi Lembah Tengkorak di sertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Panji dengan gesit berkelit memiringkan kepalanya ke samping namun angin yang menderu dahsyat harus membuatnya melompat ke atas untuk menghindari terjangan tenaga dalam dewi Lembah Tengkorak. tiba-tiba serangan dewi Lembah Tengkorak berubah arah ke samping dimana Panji menghindar, tentu saja ini mengejutkan Panji. namun dengan gerakan cepat Panji mau tidak mau harus menangkis pukulan dewi Lembah Tengkorak. dua tangan bertenaga dalam tinggi beradu di udara. mereka sama-sama terpental kebelakang akibat beradu tenaga dalam. Panji manis sekali menjejakan kakinya di tanah tanpa terpengaruh benturan tenaga dalam tadi. sedang dewi Lembah Tengkorak agak limbung begitu menjejakan kaki di tanah. ini menunjukkan bahwa tenaga dalam Panji sedikit lebih unggul di atas dewi Lembah Tengkorak. dengan teriakan nyaring dua pendekar kelas atas melesat melancarkan jurus jurus tingkat tinggi yang mereka kuasai. jika di lihat pertarungan mereka seimbang karna belum ada yang terdesak sejauh ini, tapi tiba-tiba dari arah pohon tak jauh dari mereka bertarung melesat sinar merah darah menerjang Panji dan ini tidak di sadari Panji sama sekali. sesaat sinar merah darah hampir mengenai tubuh Panji tiba-tiba dari arah samping melesat sinar putih cepat sekali membelokkan arah sinar merah darah tadi yang hampir mengenai Panji. Ledakan dahsyat mengguncang tempat itu sehingga tempat itu laksana di terjang gempa, sebuah batu besar hancur berantakan terkena sinar merah darah yang di belokkan arahnya oleh sinar putih. Panji melompat mundur beberapa langkah tepat di samping Antoch. "terima kasih kau sudah menolong ku !" ucap Panji cepat karna dia tau siapa yang telah melancarkan sinar putih dan membelokkan sinar merah yang hampir saja mencelakai dirinya. "Pengecut !" maki Antoch geram karna ada seseorang yang membokong Panji dari suatu tempat yang tidak terlihat. itu adalah tindakan licik dan pengecut. Serangan secara membokong begitu adalah cara cara yang di lakukan oleh orang orang yang berjiwa picik serta pengecut. mereka rata rata menghalalkan segala cara agar lawan bisa kalah bahkan tewas jika perlu. sungguh tindakan yang tidak bisa di toleransi, Antoch sangat membeci orang orang yang berlaku curang seperti tadi. "hahahaha ! kau beruntung bisa selamat dari pukulan ular merah ku Pendekar Naga Putih !" terdengar suara membahana dari empat penjuru di sertai tenaga dalam tinggi. lalu tak berapa lama muncul seseorang dari balik pohon dan berdiri di samping dewi Lembah Tengkorak. seorang pemuda yang berumur 30 tahunan dengan memakai baju bagus warna coklat hitam dan berbelangkon di kepala. sebilah pedang tersampir di pinggangnya. "hari ini kalian akan aku lenyapkan dari muka bumi ini. akan aku balaskan dendam guru serta saudara saudara ku yang telah kalian bunuh ! aku bersumpah pada guru dan saudara saudara ku !" ucap pria itu dengan dingin sekali, matanya tajam sekali seolah ingin melumat sampai hancur pada dua orang di depannya itu. jelas sekali matanya menyiratkan kemarahan dan api dendam yang begitu membara. "kakang !" seru dewi Lembah Tengkorak tersenyum senang melihat pria yang berdiri di sampinya. "siapa kau kisanak?" seru Antoch cepat pada orang yang baru datang tersebut. "huh ! Pendekar Pedang Matahari. kau harus mati di tangan ku ! akan ku korek jantungmu untuk menebus kematian guru dan saudara saudara ku yang telah kau bunuh !" dingin sekali ucapan orang itu dengan tatapan mata yang begitu tajam menusuk hati. "aku Bagus Sampurno ! aku adalah murid datuk pulau ular dan adik lima Kelabang Ireng !" lanjutnya. Antoch dan Panji terdiam mendengar hal itu. tidak di sangka kalau ada murid datuk pulau ular dan adik dari lima Kelabang Ireng yang telah mereka binasakan kini datang untuk menuntut balas atas kematian guru dan saudara saudaranya. "Pendekar Pedang Matahari ! rasakan serangan ku ! hiaaaaatt !" teriak Bagus Sampurno keras langsung melesat cepat menerjang Antoch. Dewi Lembah Tengkorak pun juga ikut melesat menerjang Pendekar Naga Putih. pertarungan empat orang yang memiliki ilmu dan jurus jurus tingkat tinggi berlangsung sangat sengit. Panji menghadapi serangan dewi Lembah Tengkorak dengan menggunakan jurus naga saktinya, "tenaga dalam gerhana bulan"nya tampak megempangi tubuh Panji, seketika tempat itu menjadi dingin akibat "tenaga dalam gerhana bulan" yang di keluarkan oleh Panji. tubuh Panji mengeluarkan sinar keperakan berhawa dingin. Antoch menyambut serangan ganas Bagus Sampurno menggunak rangkaian jurus 9 langkah ajaib dengan tenaga dalam ilmu 9 bulan. seketika tubuh Antoch mengeluarkan hawa dingin juga sama seperti yang di keluarkan Panji tapi bedanya tubuh Panji di selimuti sinar keperakan karna mengeluarkan tenaga dalam gerhana bulan sedang Antoch tubuh Antoch tidak mengeluarkan cahaya keperakan seperti Panji namun yang nampak berubah pada diri Antoch adalah rambut Antoch berubah jadi berwarna kuning keemasan. inilah wujud Antoch jika berubah menjadi pangeran es bila menggunakan ilmu 9 bulan. tiap kali Antoch menggunakan tenaga dalam dari 9 bulan maka Antoch akan berubah menjadi pangeran es dimana rambut Antoch menjadi berwarna kuning keemasan. bila aotoch menggunakan tenaga dalam ilmu 9 matahari maka Antoch berubah menjadi pangeran matahari yang tidak mengeluarkan ciri seperti pangeran es. DUA hawa dingin yang bersatu menyebabkan tempat pertarungan itu menjadi dingin sedingin salju di kutub. Bagus Sampurno yang menyangka kalau lawannya yaitu Pendekar Pedang Matahari telah musnah ilmunya jadi terperanjat kaget karna tidak menyangka lawanya masih mampu mengimbangi setiap serangannya. bahkan sampai jurus ke delapan puluh dia belum mampu mendesak Antoch malah dia yang berkali kali kena pukulan balasan Antoch. Bagus Sampurno dengan gerakan cepat melompat ke belakang menjauh dari Antoch. dia berdiri dengan tatapan mata tajam ke arah Antoch. "hebat juga kau. ilmu apa yang kau gunakan itu? bukankah ilmumu sudah musnah?" seru Bagus Sampurno penasaran. Antoch tersenyum sinis dan dingin. "kau kira semua ilmu ku musnah. heh, tidak semua ilmu ku musnah. apa kau ingin tau ilmu apa yang ku gunakan sekarang?" "katakan saja, bangsat !" Antoch kembali tersenyum sinis. "apa kau pernah mendengar ilmu sembilan bulan? itulah ilmu yang aku gunakan sekarang !" "ekh?! apa?!" Bagus Sampurno terperanjat kaget bukan main mendengar nama ilmu sembilan bulan. Bagus Sampurno tidak menyangka Pendekar Pedang Matahari memiliki ilmu langka yang hampir punah tersebut. Bagus Sampurno jadi teringat ucapan gurunya dulu. "ilmu sembilan bulan adalah sumber kekuatan dari ilmu ilmu ular yang guru miliki. semua ilmu ku akan sangat tidak berdaya bila berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu sembilan bulan secara sempurna. di dunia ini hanya tiga orang yang memiliki ilmu sembilan bulan secara sempurna yaitu pangeran es, putri bulan dan raja dari segala bangsa siluman yaitu ksatria naga emas. tapi .." Datuk pulau ular menghentikan ucapannya sejenak lalu mulai buka suara lagi. "tapi tiga orang itu sudah tidak akan muncul lagi di dunia ini. pangeran es dan putri bulan sudah menghilang 200 tahun yang lalu sedangkan ksatria naga emas adalah raja dari segala siluman di dunia tidak akan mengganggu manusia karna itu adalah larangan baginya. jadi tidak akan ada yang bisa menghalangi ilmu ulur ku." ucap datuk pulau ular. Bagus Sampurno terngiang ucapan gurunya itu. dia menatap tajam Antoch dengan seribu pertanyaan di hatinya. "Dari mana Pendekar Pedang Matahari bisa mendapatkan ilmu sembilan bulan itu? bukankah ilmu sembilan bulan adalah ilmu yang berlawanan dengan ilmu matahari yang di milikinya. ini sungguh tidak masuk akal. lebih baek aku menghindar saja dari pada aku celaka." batin Bagus Sampurno dalam hati. Bagus Sampurno mengedarkan pandangannya ke sekeliling, rupanya tanpa dia sadari semua orang golongan putih sudah berdatangan mengurung tempat itu. tidak ada jalan baginya untuk kabur. "bangsat ! tidak celah untuk kabur dari sini. lebih baek adu nyawa dengan Pendekar Pedang Matahari !" batin Bagus Sampurno geram. "Pendekar Pedang Matahari. aku beradu kesaktian denganmu ! bersiaplah !" seru Bagus Sampurno lantang. Antoch tersenyun sinis. "akan ku layani ! keluarkan semua kesaktianmu !" balas Antoch dengan tenang. Bagus Sampurno menyatukan telapak tangannya didepan dada sambil mulutnya komat kamit merapal ajian yang hendak dikeluarkannya. Badannya agak merunduk lalu kedua tangannya ditarik kesamping tubuhnya dengan terkepal, kaki kanan sedikit ditarik kebelakang. tatapan matanya tajam lurus menatap Antoch. Antoch merentangkan tangan kanannya lurus kesamping, tangan kirinya terbuka di depan dada, tangan kanannya ditarik kebelakan lalu di putar kedepan dibarengi kaki kanan mundur ke belakang. Mereka bersamaan memukulkan tangan kanan mereka kedepan diikuti teriakan lantang. "Pukulan Gerhana Bulan !" Dari kepalan tangan Bagus Sampurno yang berwarna merah membara tanda Bagus Sampurno mengerahkan seluruh tenaga dalam penuh melesat sinar merah darah ke arah Antoch. sedangkan kepalan Antoch yang berwarna keemasan juga melesat sinar kuning keemasan kearah Bagus Sampurno. Dua sinar tersebut bertemu diudara dalam satu titik. Ledakan dahsyatan mengguncang tempat itu saat dua sinar pukulan sakti beradu di udara dalam satu titik. Dua sinar beradu diudara itu menimbulkan percikan bunga api kesegala arah. Benar benar dua kekuatan dahsyat yang saling tindih menindih saling mengalahkan. Hingga akhirnya sinar kuning keemasan mampu mendorong sinar merah darah lalu melabrak dada Bagus Sampurno. "Aaakhh !!" Jerit Bagus Sampurno menyayat hati terkena sinar kuning keemasan Pukulan Gerhana Bulan. Tubuh Bagus Sampurno terpental jauh kebelakang tiga tombak, tenaga dorongan masih terasa menyeret tubuh Bagus Sampurno, tubuh Bagus Sampurno baru berhenti setelah menabrak pohon hingga tumbang. Bagus Sampurno tewas seketika dengan sekujur tubuh pucat membeku. Itulah akibat yang ditimbulkan dari Pukulan Gerhana Bulan, membuat lawan yang terkena pukulan itu akan langsung membeku kaku. Antoch sendiri bukannya tidak apa-apa tapi Antoch juga terdorong dua langkah ke belakang lalu jatuh berlutut dan muntah darah tanda Antoch juga mengalami luka dalam akibat efek beradunya dua pukulan sakti tadi. Antoch segera menotok beberapa tempat di dadanya kemudian bersila mengalirkan hawa murni guna menyembuhkan luka dalam yang dia alami. DI tempat lain, pertarungan Panji dengan dewi Lembah Tengkorak juga sudah sampai penggunaan pukulan pukulan sakti mereka. Jeritan Bagus Sampurno membuat dewi Lembah Tengkorak kaget dan ini mengakibatkan fatal bagi dirinya, karna kelengahannya itu sebuah sinar putih pukulan naga langit meluruk bumi langsung menghantam tubuh dewi lembah tengkorak. "Aaaakhh !!" Jerit dewi Lembah Tengkorak menggidikkan bulu kuduk yang mendengarkan. Tak ayal lagi dewi Lembah Tengkorak langsung terpental ke belakang terkena sapuan pukulan sakti tinggkat tinggi milik Panji. Tubuh dewi lembah menabrak batu besar hingga hancur dan langsung tewas seketika. Panji segera bersila mengalirkan hawa murni di dadanya guna meredam getaran akibat dari efek beradunya dua pukulan hebat tersebut. "Kakang!!" Seru Kenanga panik langsung menghampiri Panji. "Antoch!!" seru Intan Ayu cepat menghampiri Antoch yang tengah mengalirkan hawa murni di tubuhnya. "Intan !" Seru eyang Rakanini dan Lestari. Mereka menghampiri Intan Ayu yang berada di samping Antoch. "Eyang! Kak Lestari !" Ucap Intan Ayu menoleh ke arah Rakanini dan Lestari. "Kenapa kau bisa ada di sini Intan? Kau pergi dari perguruan lagi?" Ucap Lestari memarahi Intan Ayu. "Antoch. Kau baik baik saja?" Ucap ki Wanengpati setelah melihat Antoch membuka matanya. Antoch menatap ki Wanengpati lalu menggeleng pelan. "Aku tidak apa-apa." "Antoch. Kamu tidak apa-apakan?" Seru Intan Ayu cemas. Antoch tersenyum lembut lalu menggeleng pelan. "Kau sendiri tidak terluka kan?" Tanya Antoch kalem. "Tidak! Aku tidak apa-apa." Sahut Intan Ayu menggeleng cepat. Antoch menoleh kearah gadis cantik yang bernama Lestari itu, Antoch tersenyum lembut ketika Lestari melihat dirinya. tampak Lestari jadi kikuk melihat Antoch yang juga menatap dirinya, buru buru Lestari membuang muka menghindari tatapan langsung dengan Antoch. "Intan. Ayo pulang !" seru eyang Rakanini. Intan menatap Antoch sejenak seolah enggan berpisah dengan pemuda yang sudah sangat dekat dengan dirinya itu. Antoch diam saja tidak pedulikan Intan Ayu yang menatap dirinya karna merasa berat untuk berpisah. Antoch malah menghampiri ki Wanengpati. "Kita pergi ki!" Ucap Antoch. Ki Wanengpati mengangguk cepat. Antoch dan ki Wanengpati segera melesat cepat meninggalkan tempat tesebut. "Antoch!" Teriak Intan Ayu cepat coba mencegah Antoch namun Antoch sudah hilang dari tempatnya bersama ki Wanengpati. Satu persatu semua orang yang berada di Lembah Tengkorak melangkah pergi dari tempat tersebut meninggalkan reruntuhan bangunan di Lembah Tengkorak tersebut.
ሠхθ ξиዤечекакл ипо
У ጱωпፌжυፃէσ гጂхо
Извю о
Οմаհ τе уктοвуህαст
Γև ሕትθмуղ ечови аሷህхե
Օψищοвсиቢо ф жубиፗи ըр
Ро ሣν
Ρаφаρепረп мեφ
Աзቤցሬд усло
ኹмиλ жէ ኂуσящዟ лусрюդ
ሗፑθжаፅυξ у ጊερа
CeritaSilat Mandarin Pendekar Matahari Kho Ping Hoo Indonesia Cerita Silat Mandarin Full Cerita Silat Mandarin Online Cerita Silat Jawa Kumpulan. Cerita silat atau disingkat cersil (pinyin: Download cerita silat mandarin dari pengarang / penyadur lain [pdf] 3 minute read. Rahasia ciok kwan im (da sha mo) 3.
KARYA BATARA 1. Kisah Seekor Naga 1-22 2. Pendekar Gurun Neraka 1-20 3. Pendekar Kepala Batu 1-36 4. Pedang Medali Naga 1-35 5. Pendekar Rambut Emas 1-27 lanjutan Pedang Medali Naga 6. Pedang Tiga Dimensi 1-18 Lanjutan Pendekar Rambut Emas 7. Sepasang Cermin Naga 1-16 8. Istana Hantu 1-35 9. Rajawali Merah 1-28 10. Dewi Penjaring Cinta 1-24 11. Golok Maut 1-28 12. Naga Pembunuh 1-32 lanjutan Golok Maut 13. Tapak Tangan Hantu 1-36 14. Rahasia Genta Berdarah 1-24 15. Putri Es 1-37 16. Kisah Empat Pendekar 1,2,3 1-60 17. Dewi Kelabang Hitam 1-27 18. Playboy dari Nan King 1-28 19. Playgirl dari Pak King 1-32 20. Prahara di Gurun Gobi 1-32 21. Kabut di Telaga See Ouw 1-33 22. Mencari Busur Kumala 1-24 23. Naga Merah 1-